Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

4. Ternyata Oh Ternyata

Bu Asih tampak berdiri di teras panti dengan khawatir. Hari sudah mulai gelap, tapi Era belum juga kembali ke rumah. Bukan obat Rafi yang dia pikirkan saat ini, tapi keberadaan Era. Menelepon pun percuma karena Era meninggalkan ponselnya di rumah. Kadang kecerobohan gadis itu membuat Bu Asih mengelus dada.

Saat akan berbalik masuk, sebuah motor terdengar memasuki halaman. Mata Bu Asih menyipit saat mendapati Era yang sudah datang. Akhirnya Bu Asih bisa menghela nafas lega, tapi itu tidak berlangsung lama saat dia melihat Era turun dari motor dengan tertatih.

"Era? Kamu kenapa, Nak?" tanya Bu Asih mendekat.

Era menatap Bu Asih dengan mata yang berkaca-kaca. Perlahan dia mendekat dengan kantung plastik yang berisikan obat Rafi. Meskipun tubuhnya terasa sakit semua, tapi dia tetap bertanggung jawab akan obat Rafi.

"Tangan kamu kenapa, Ra?" tanya Bu Asih sekali lagi.

Era merengek dan mulai menangis. "Kesenggol transformer, Buk. Badanku sakit semua."

"Transformer? Mobil maksud kamu?"

Era mengangguk sambil melihat lengan dan kakinya yang masih belum diobati.

"Pasti kamu yang nggak hati-hati. Terus gimana transformernya?"

"Penyok, Buk. Untung yang punya nggak minta ganti rugi."

Alis Bu Asih naik sebelah mendengar itu. "Bisa-bisanya dia nggak minta ganti rugi? Kalau itu Ibuk, udah pasti minta ganti rugi yang banyak. Apalagi kalau tau kamu yang rusakin."

"Ih, Ibuk! Sakit semua nih badanku."

Bu Asih tersenyum dan mengelus kepala Era sayang, "Ayo masuk, Ibuk obatin luka kamu."

***

Era menatap adiknya satu persatu yang terlihat sangat menikmati makan malam. Anggota panti memang tidak banyak dan hampir semuanya masih di bawah umur. Hanya dirinya yang sudah mempunyai KTP, maka dari itu dengan kesadaran diri dia bersedia membantu Bu Asih untuk membantu menjaga adik-adiknya. Era memang penghuni pertama di panti ini, oleh karena itu dia memiliki keistimewaan sendiri.

"Kamu nggak makan, Ra?" tanya Bu Asih menghampirinya.

"Nanti aja, Buk. Biar adik-adik makan dulu."

Bu Asih tersenyum mendengar itu. Tangannya meraih piring dan memberikannya pada Era. "Makan sekarang. Lauk masih banyak, nggak usah khawatirin adik-adikmu."

Era tersenyum dan mulai mengambil makannya. Tangan dan kakinya sudah berbalut perban dan plester setelah diobati oleh Bu Asih. Untung saja Bu Asih memiliki keahlian, jika tidak mungkin dia harus mengeluarkan uang untuk berobat ke klinik.

"Besok kamu nggak usah masuk sekolah dulu." Saran Bu asih.

Era dengan cepat menggeleng. "Nggak, Buk. Aku masuk aja besok. Penggantinya pak Wijaya serem."

"Kata siapa? Pak Aksa baik kok."

Era berbalik dengan alis yang bertaut. "Ibuk kok tau Pak Aksa?"

"Tadi kan Pak Aksa ke sini jemput Bian sama Bu Ratna."

Era menatap Bu Asih dengan was-was. Semoga apa yang dia pikirkan saat ini tidak benar adanya. "Pak Aksa dateng ke sini?"

"Iya. Dia papanya Bian."

Bagai tersengat listrik, tubuh Era mendadak berubah kaku. Dia menatap Bu Asih dengan rasa tidak percayanya. Ternyata pria yang dimusuhinya selama ini adalah anak dari pak Wijaya dan bu Ratna? Yang juga merupakan ayah Bian? Kenapa dia tidak mengetahui semuanya? Era pikir Aksa hanya orang luar yang menggantikan posisi pak Wijaya untuk mengurus sekolah.

Era telah salah berurusan dengan orang seperti Aksa.

"Mampus aku!" Era meremas piringnya dan berlari menuju kamar.

"Ra! Kamu kenapa?!" teriak Bu Asih.

"Habis aku, Buk!"

Era merasa bodoh karena sudah memberikan kesan buruk pada anak pak Wijaya yang sudah berbaik hati padanya selama ini.

***

Di sekolah, Era tidak terlihat semangat seperti biasanya. Bahkan teman-teman yang bertanya akan perban di tubuhnya tidak ia jawab. Entahlah, Era tidak memiliki selera untuk berbicara saat ini. Dia masih tidak percaya jika Aska adalah anak pak Wijaya. Bagaimana bisa orang sebaik pak Wijaya dan bu Ratna mempunyai anak yang menyebalkan dan memiliki tingkat disiplin yang tinggi sepertinya? Dan lebih parahnya Aksa adalah ayah Bian, pria kecil yang dia sayangi. Pantas saja Era tidak pernah bertemu dengan Aksa karena selama ini dia tinggal di luar kota untuk mengurus cabang perusahaan yang lain.

"Ra, kalo cuma diaduk mending mie ayamnya buat gue aja dah."

Era mengangkat kepalanya dan menatap Aldo. Tidak berniat protes, Era mendorong mangkoknya untuk pria itu. Apa yang dilakukan Era tidak lepas dari pandangan teman-temannya.

"Ra, lo kenapa? tanya Lala bingung, salah satu teman sekelasnya.

"Iya, Ra. Biasanya lo protes kalo gue minta makanan lo?" tanya Aldo. "Lo habis di-ruqyah ya?" Lanjutnya.

"Lah, kok lo duluan sih, Ra? Katanya mau bareng?" Lala dengan otak lemotnya ikut menyahut.

"Apaan sih? Emang lo pikir badan gue sarang iblis?" Era menggerutu dan menopang kepalanya di atas meja. Dia merasa lemas, kepalanya pusing dengan tubuh yang masih linu sana-sani.

"Lo kenapa sih? Ayo cerita sama gue." Kali ini Lala menarik tangan Era.

"Do, lo inget kan sama Pak Aksa?" tanya Era mengangkat wajahnya.

"Inget, kenapa?" tanya Aldo memakan mie ayam milik Era.

"Ternyata dia anaknya pak Wijaya. Dia juga bapaknya Bian."

"Serius lo?" Aldo terbatuk dan segera meminum tehnya.

"Anjrit! Pantes aja dia berani kasih hukuman, Ra. Gue pikir dia cuma pengganti sementara pak Wijaya."

"Gue juga mikir gitu, dan sialnya lagi gue udah penyokin mobil dia kemarin."

"Penyokin gimana?" tanya Lala bingung.

"Lo liat badan gue. Kemarin gue kecelakaan nabrak mobil pak Aksa."

"Serius? Terus gimana?"

Era mengusap wajahnya kasar. "Awalnya dia minta ganti rugi, tapi gue bilang nggak punya duit akhirnya nggak jadi. Tapi pas tau kalo dia anak pak Wijaya gue jadi takut."

"Takut gimana?" tanya Aldo bingung. "Bagus dong kalo nggak jadi minta ganti rugi."

"Nggak enak, Do. Gue dari kecil idup diurus sama pak Wijaya. Bisa-bisanya gue kurang ajar sama anaknya. Pasti pak Wijaya nangis liat tingkah gue di surga."

"Iya juga ya." Lala mengangguk paham. Dia mengerti akan posisi Era yang serba salah. "Ya udah, kalo gitu lo minta maaf."

"Ntar kalo disuruh ganti rugi beneran gimana? Bu Asih nggak tau kalo mobil pak Aksa yang gue tabrak."

"Ya jual ginjal lo." Aldo tertawa. Dia tampak bahagia di atas penderitaan Era.

"Lucu kali lo," gerutu Era melengos.

Era terdiam memikirkan saran yang diberikan Lala. Mau tidak mau dia memang harus meminta maaf. Bukan hanya untuk masalah mobil tapi untuk tingkahnya selama ini. Era tahu jika dia sudah kurang ajar.

Saat sedang asik melamun, Era merasakan ponselnya bergetar. Dahinya berkerut saat melihat nomor asing yang masuk ke whatsapp-nya.

"Gimana keadaan kamu?"

Isi pesan yang begitu singkat tanpa ada nama pengirim membuat Era semakin kebingungan.

"Ini siapa ya?" balas Era.

"Pak Aksa."

"Mampus!" Era berteriak saat tahu siapa yang mengirimkannya pesan saat ini. Tidak berniat membuat Aksa menunggu, Era segera mengetikkan balasan untuk pria itu.

"Keadaan saya udah baik kok, Pak. Saya juga udah masuk sekolah."

Era menatap ponselnya dengan was-was. Dia menunggu pesan balasan Aksa dengan jantung yang berdebar. Bahkan pertanyaan dari teman-temannya, Era hiraukan.

"Bagus kalau gitu. Saya cuma mau kasih tau kalau tugas karya tulis ilmiah kamu saya majukan jadi senin depan."

Era mengumpat dan meremas ponselnya kesal. Apa harus dia meminta maaf jika Aksa masih menyebalkan seperti ini? Bisa-bisanya dia memajukan deadline tugas sesuka hatinya. Bahkan Era belum memulainya sama sekali dan waktunya tinggal dua hari lagi.

Kalo kaya gini kayanya pak Aksa yang harus di-ruqyah.

***

TBC

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel