Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

3. Kesabaran Aksa

Bian dan Era terlihat sedang bermain di depan panti sambil menunggu ayah Bian yang akan datang menjemput. Ini pertama kalinya Era akan bertemu dengan ayah Bian karena selama ini mereka tidak pernah bertatap muka. Era besyukur karena pada akhirnya Bian bisa kembali berkumpul bersama ayahnya. Jujur saja, pria kecil itu tampak kesepian dan selalu berhasil membohongi semua orang dengan keceriaannya.

"Nek, papa lama banget sih?" Bian tampak jenuh dengan permainannya. Dia sudah menunggu kedatangan ayahnya selama satu jam, dan pria itu belum juga muncul. Era yang melihat itu semakin kesal akan tingkah ayah Bian.

"Kayanya papamu kena macet, Bian. Sabar dulu ya," ucap Bu Ratna dari teras rumah.

"Bian udah ngantuk."

Era tersenyum dan mengelus kepala Bian sayang. Dia semakin prihatin dengan anak itu. Bian masih kecil, seharusnya dia bisa merasakan kasih sayang orang tuanya secara penuh. Jika seperti ini, apa bedanya Bian dengan dirinya? Mereka sama-sama tidak mendapatkan kasih sayang orang tua.

"Era!" panggilan dari Bu Asih membuat Era berdiri.

"Iya, Buk?"

"Minta tolong ke apotek ya, obatnya Rafi habis."

Mendengar itu, Era kembali masuk untuk bersiap. Kali ini dia tidak bisa menunggu Bian dijemput oleh ayahnya, padahal ingin sekali Era melihatnya. Setidaknya dia ingin memberi petuah yang dia pendam selama ini untuk tidak mengabaikan Bian lagi.

***

Di perjalanan, Era berdecak saat lagi-lagi dia terjebak macet di jalan yang dia lewati. Hari masih menjelang sore tapi kenapa jalanan begitu padat? Jarak panti ke apotek cukup lumayan jauh dan dia harus bergegas karena kondisi Rafi yang kembali demam.

"Ini orang-orang pada nganggur apa gimana sih? Kok pada di jalan semua," gerutu Era berusaha mencari cela untuk laju motornya.

"Eh, Buk! Kalau mau belok kiri jangan lampu kanan yang dinyalain!" teriak Era lagi saat dia terpaksa mengerem mendadak karena ulah pengendara di depannya.

Emang bener ya, kalo nyetir deket ibuk-ibuk bawaannya istighfar mulu.

Era masih menyetir dengan hati-hati. Dia masih berusaha mencari celah di antara mobil sampai akhirnya dia dikejutkan dengan suara klakson mobil. Era yang sedari tadi mencoba fokus mendadak terkejut dan hilang keseimbangan. Dia terjatuh dan menghantam mobil hitam di sampingnya.

"Bokong gue!" umpat Era saat dia sudah terduduk sempurna di atas jalan. Bahkan lengannya yang mengantam mobil tidak sesakit pantatnya yang mengantam panasnya aspal.

Semua orang mulai menatapnya bingung. Keadaan jalan yang macet membuat orang-orang tampak kesulitan membantu Era. Gadis itu masih meringis meratapi nasibnya. Bahkan dia tidak lagi memikirkan kondisi tubuhnya, dia semakin dibuat takut dengan mobil di sampingnya yang beset karena ulahnya.

Era menunduk saat pemilik mobil turun menghampirinya. Tanpa melihat, Era tahu jika pemilik mobil terdengar menghela nafas lelah.

"Kita bicarain di pinggir." Hanya kalimat itu yang Era dengar. Tampak begitu dingin dan membuatnya takut.

Kalo minta ganti rugi gimana nih? Masa jual ginjal beneran?

Dengan tertatih, Era berdiri untuk segera menepi. Dia tidak ingin karena ulahnya akan semakin membuat jalanan macet. Saat masih berusaha mengangkat motornya, sebuah tangan menggantikannya dan memarkirkan motornya di pinggir jalan. Dilihat dari punggungnya, pria itu adalah pemilik mobil yang Era rusak.

"Pak, saya minta maaf," ucap Era pelan saat sudah berada di belakang si pemilik mobil.

"Mobil saya beset, tanggung jawab kamu apa sekarang?"

Mata Era membulat saat pria di hadapannya berbalik. Dia sangat mengenal pria itu. Pria yang sudah dia nobatkan sebagai musuhnya.

"Pak Aksa!" teriak Era menutup mulutnya cepat.

"Ternyata kamu," gumam Aksa kembali menghela nafas lelah.

"Pak, maafin saya, Pak. Saya nggak sengaja. Tadi saya kaget makanya jatuh." Era berusaha meminta maaf dan menggenggam erat lengan Aksa.

"Nggak di sekolah nggak di luar, kenapa kamu hobi sekali buat keributan?" tanya Aksa sabar.

"Nggak kok, Pak. Saya cinta damai."

"Kamu liat mobil saya." Aksa menunjuk mobilnya yang penyok dan beset.

"Motor saya juga kena, Pak." Era mencoba membela diri.

"Itu bukan salah saya. Kalau mobil saya, itu jelas salah kamu."

Era menunduk dengan gelisah. Dia takut dengan pria di hadapannya. Sudah dua kali mereka bertemu dan semuanya terjadi dalam keadaan yang buruk. Era takut jika itu akan berpengaruh pada beasiswanya.

"Saya nggak punya uang, Pak." Era berucap lirih.

Mendengar itu, Aksa semakin menghela nafas kasar. Dia sudah dipusingkan dengan masalah kantor dan sekarang saat dia berniat untuk menjemput anaknya, ada kecelakaan kecil yang menimpanya.

Melihat gadis di depannya yang masih menunduk, Aksa mulai kebingungan. Dia serba salah sekarang. Ingin marah pun rasanya percuma karena gadis di depannya adalah gadis bebal yang suka melanggar aturan. Namun Aksa juga kasihan melihat Era yang tampak memprihatinkan dengan luka di tubuhnya.

"Ayo ikut saya," ajak Aksa pada akhirnya.

Era kembali mengangkat kepalanya terkejut. Dia melihat Aksa sudah berada di samping mobilnya dan menatapnya lekat.

"Pak, saya udah minta maaf. Jangan bawa saya ke kantor polisi." Era tampak merengek. Dia semakin ketakutan melihat raut wajah serius Aksa.

"Saya nggak ajak kamu ke kantor polisi. Lihat luka kamu, ayo ke rumah sakit."

Seolah diingatkan, seketika Era merasakan nyeri di tubuhnya. Dia baru sadar saat melihat ada luka beset dan memar di lengan dan kakinya.

"Saya nggak papa kok, Pak."

"Itu bisa infeksi. Cepet masuk!"

"Nggak mau, Pak!" Era berbicara sedikit keras, "Nanti utang saya makin banyak."

Mendengar itu, Aksa kembali mendekat ke arah Era dengan tangan yang dia masukkan ke saku celana. Aksa tidak bisa menebak isi kepala gadis di depannya dan dia juga tidak ingin berlama-lama dengan gadis pembuat ulah seperti Era. Dia melakukan ini hanya semata karena bentuk tanggung jawabanya sebagai pemilik sekolah. Dia harus mengayomi dan memberi contoh yang baik bukan?

"Katanya kamu nggak punya uang?"

Era memainkan kakinya resah, "Pak Aksa beneran minta ganti rugi? Saya nggak punya uang, Pak."

"Jangan melas kayak gitu. Saya nggak minta ganti rugi." Berat rasanya Aksa mengucapkan kalimat itu. Dia sebenarnya ingin memberikan pelajaran unuk Era tapi lagi-lagi dia tidak tega.

"Beneran, Pak? Makasih ya. Janji dulu sama saya." Era mengangkat tangannya untuk bersalaman.

"Jangan ngelunjak kamu." Aksa menempis tangan Era. Ternyata gadis di depannya memiliki watak yang luar biasa.

"Lagian kenapa kamu ada di sini? Seharusnya kamu ada di sekolah." Aksa bertanya dengan curiga. Dia semakin tahu akan sifat-sifat minus dari Era. Mulai dari suka melanggar aturan, membuat keributan, sampai yang terkahir suka bolos sekolah.

"Adik saya sakit, Pak. Saya yang jagain."

"Ke mana orang tua kamu?" tanya Aksa curiga.

"Ibu saya juga sibuk jagain adik saya yang lain. Beneran kok Pak, saya nggak bohong." Era mengangkat tangannya membentuk huruf V.

Aksa berhenti menggali informasi dan mencoba menerima alasan Era. Bisa kemungkin jika gadis itu telah berbohong tapi itu bukan urusan Aksa. Dia semakin bertanya-tanya, bagaimana bisa sekolahnya menerima murid ceroboh seperti Era. Ingatkan Aksa untuk melihat sepak terjang Era di sekolahnya. Dia ingin tahu seberapa banyak pelanggaran yang gadis itu lakukan selama hampir tiga tahun bersekolah.

"Kalau kamu nggak mau ke rumah sakit, terserah. Saya mau pergi." Aksa akhirnya memilih untu pergi. Dia harus segera menjemput Bian yang mungkin sudah marah karena keterlambatannya.

"Pak Aksa!" teriak Era menghentikan langkah Aksa yang akan masuk ke dalam mobil. "Makasih ya, Pak!" teriak Era lagi sambil melambaikan tangannya dengan senyuman lebar.

Melihat itu, Aksa menggeleng pelan dan berlalu masuk ke dalam mobil.

Dasar gadis bar-bar!

***

TBC

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel