Bab 6 . Suaminya
Janji suci diucapkan oleh Leonel tanpa ada keraguan sedikitpun. Sebab, ia yakin tidak ada yang berubah walau statusnya berubah, sebab Jenna Ren yang menjadi istrinya.
Lima tahun, ya Jenna menjadi sekretarisnya yang paling lama. Sebelum Jenna, sekretaris sebelumnya hanya bertahan selama beberapa bulan saja. Tidak ada yang tahan dengan perangai dan tuntutan kerjanya yang tidak masuk akal. Hanya Jenna yang mampu bertahan, walau sudah dicaci maki karena kesalahan kerja yang sepele.
Namun, hal itu membuat Jenna menjadi sekretaris yang sempurna. Menyelesaikan pekerjaan dengan sempurna dan mengerti apa yang harus dilakukan, tanpa harus diberitahu.
Malam itu, malam di mana mereka bercinta, Leonel masih sadar akan apa yang terjadi. Awalnya, ia hanya penasaran apakah wanita polos itu pernah berciuman? Jadi, saat Jenna mendaratkan bibirnya dalam keadaan mabuk, Leo diam dan merasakan. Ternyata, bibir wanita itu begitu lembut dan hangat, mampu membangunkan hasratnya.
Semuanya menjadi sempurna, dengan kondisi Jenna yang masih perawan. Perawan di zaman ini amatlah langka. Hanya mereka yang benar-benar beruntung dapat mendapatkan kehormatan itu, kecuali memang ingin membelinya. Tentu tidak, Leo tidak pernah mempermasalahkan hal tersebut dengan deretan kekasihnya. Namun siapa sangka, ada wanita langka seperti itu tepat di sampingnya.
Hubungan seks tanpa pengaman, tentu beresiko menimbulkan kehamilan. Leo risau? Tidak, karena wanita itu bersih, belum pernah disentuh pria lain. Jadi, jika suatu hari Jenna datang ke hadapannya karena hamil, maka ia akan menikahinya. Apakah karena cinta? Tidak, Leo hanya tidak lagi tahan dengan desakan keluarga yang ingin dirinya segera menikah.
"Silakan mempelai pria mencium mempelai wanita."
Ucapan itu menyadarkan Leo dari lamunannya dan dengan senyum lebar, mendaratkan ciuman di bibir Jenna Ren.
Ciuman sekilas tanpa rasa apa pun. Untuk sesaat Jenna membeku, apakah seperti ini? Apakah memang seperti ini ciuman pernikahan? Belum sempat mencerna, upacara pernikahan telah selesai dan mereka berdua kembali ke ruang ganti yang ada di kapel tersebut.
Jenna masih berdiri dengan memegang buket bunga indah itu. Menatap ke arah suaminya, ya pria yang baru saja menikah dengannya, mengucapkan janji suci bersamanya.
Leonel melepaskan jas hitam dan dasi kupu-kupu. Menggantikannya dengan jas denim yang lebih santai.
"Kamu ikut Yura kembali ke kediaman besar. Mulai sekarang kamu tinggal di sana. Aku ada janji yang harus ditepati!" ujar Leo ringan dan hendak melangkah pergi.
"Tunggu!" seru Jenna menghentikan langkah kaki Leonel Kim.
"Ada apa?" tanya Leo sedikit kesal. Ia memiliki janji untuk pesta bujangan yang sedikit terlambat. Ya, pernikahannya terburu-buru, jadi baru hari ini memiliki waktu untuk berpesta dengan para sahabatnya.
"Ehem, apakah, apakah aku akan tetap bekerja?" tanya Jenna. Sebenarnya bukan itu yang ingin ditanyakan, Jenna ingin bertanya mengapa Leo tidak ikut dengannya. Ke mana pria itu hendak pergi? Namun, ia tidak memiliki keberanian itu.
"Tidak! Tidak mungkin Nyonya Muda Kim bekerja di perusahaan sebagai sekretaris! Yura yang akan menggantikan posisimu, sampai kita menemukan pengganti yang sehebat dirimu!" balas Leo dan melangkah pergi.
Wajah Jenna merona saat mendengar pria itu menyebutnya sebagai Nyonya Muda Kim. Hatinya terasa hangat dan begitu bahagia, bahkan tidak menyadari bahwa ia ditinggalkan pada hari pernikahan. Begitulah Jenna, giat bekerja, tetapi sedikit lambat jika terkait soal hubungan pria dan wanita.
Masih mengenakan gaun pengantin yang sederhana itu, Jenna bersama Yura kembali ke kediaman besar Kim.
Tiba di sana dan segera turun. Jenna sama sekali tidak membawa apa pun dari apartemen kecilnya itu. Sebab, Yura yang memintanya seperti itu. Semua yang dibutuhkan sudah tersedia di kamar pengantin mereka.
Masuk ke dalam kediaman, langkah Jenna terhenti saat suara yang dikenal, memanggilnya.
"Bibi Jenna! Bibi Jenna!" panggil suara gadis kecil yang begitu menggemaskan.
Jenna berbalik dan berlutut, sambil melebarkan kedua tangannya, menyambut sepupu suaminya. Ya, Anastasya Kim, gadis kecil berusia tiga tahun yang begitu cantik dan menggemaskan. Mereka bertemu setahun sekali, saat gadis kecil itu bersama ayahnya datang ke negara ini, untuk memperingati hari kematian kakek dan neneknya. Hubungannya dengan Anastasya baik, sebab Jenna akan membiarkan gadis kecil itu melakukan apa saja terhadap dirinya. Apa saja!
"Nona kecil, apa kabar?" tanya Jenna saat Anastasya mendarat dalam pelukannya.
"Baik, Bibi. Selamat ya, Bi, sekarang kita adalah keluarga," ujar Anastasya dengan ucapan cadelnya.
"Terima kasih, Nona kecil," balas Jenna yang tidak mampu menyembunyikan kegembiraannya.
"Selamat, Jenna."
Jenna menengadah dan melihat Logan Kim berdiri di hadapannya. Jenna berdiri dengan Anastasya berada dalam gendongannya.
"Ah, terima kasih, Tuan."
Jenna berterima kasih dengan tulus. Ia selalu menghormati Logan Kim. Walaupun, anak angkat tetapi pria itu menunjukkan kemampuan berbisnis yang membuat orang-orang tidak lagi mempermasalahkan statusnya. Itu tidak mudah, Jenna tahu jelas.
"Ayo, Anastasya. Pamit dengan Bibi Jenna, kita harus segera pergi ke bandara," ujar Logan Kim.
Anastasya memeluk leher Jenna erat dan mengecup pipinya, sebelum menyambut gendongan sang ayah.
"Sampai jumpa," ujar Logan dengan Anastasya berada dalam gendongannya. Nona kecil itu melambaikan tangan kepada Jenna, saat ayahnya melangkah pergi.
Jenna menatap ke arah Anastasya, Nona kecil malang yang kehilangan sang ibu saat terlahir ke dunia. Sejak saat itu, Logan Kim sendiri yang mengasuh putri semata wayangnya itu. Namun, menjadi duda di usia matang seperti itu, membuat Logan sering terlibat skandal dengan wanita cantik.
Jenna menghela napas dan berharap ayah serta anak itu, akan baik-baik saja.
"Nyonya, mari aku antar ke kamar," ujar Yura, membuyarkan lamunan Jenna.
Jenna mengikuti Yura naik ke lantai atas. Mereka menaiki tangga putar yang dilapisi karpet tebal, dengan pegangan kayu yang indah.
Rumah ini begitu luas dengan langit-langit yang begitu tinggi, membuat Jenna terkagum-kagum.
Mereka melangkah menuju ke pintu yang ada di ujung koridor. Kemudian, Yura membuka pintu kamar ganda itu dan melangkah masuk.
Yura menunjukkan kamar mandi dan ruang pakaian milik Jenna. Ruang pakaian milik sang suami terpisah dengan miliknya. Kamar ini begitu luas, tiga kali ukuran apartemen mungilnya. Lantai kamar terbuat dari kayu mengkilap, memberikan rasa hangat. Jendela besar dengan tirai putih yang terpasang tinggi, membiarkan sinar mentari leluasa menyinari kamar ini. Ada satu set sofa indah di sudut ruangan dengan televisi layar datar begitu besar, yang tergantung di dinding.
Tatapan Jenna tertuju ke ranjang dengan empat buah pilar yang menyangga kelambu indah, membuat wajahnya merona. Memikirkan apa yang akan terjadi di sana.
"Istirahatlah, saat waktu makan malam tiba, aku akan memanggil Nyonya," ujar Yura sopan, sebelum keluar dari kamar.
Nyonya! Ya, Jenna dipanggil Nyonya dan itu terasa cukup asing. Namun, ia bahagia.
Duduk di sudut ranjang, sambil menyentuh perutnya yang masih belum membuncit. Menatap sekeliling kamar dan berharap kehidupannya akan baik-baik saja. Berharap, dapat segera menjemput sang nenek kemari. Tadi, ia bahkan tidak sempat pamit dengan nenek saat upacara pernikahan. Malam ini, Jenna akan coba membicarakannya dengan suaminya. Ya, suaminya.
Di sudut kota yang lain, tepatnya di salah satu klub malam ternama.
Meja dipenuhi berbotol-botol minuman beralkohol yang mahal dengan sekelompok pria duduk di sofa, yang mengelilingi meja.
"Selamat, Leo!"
"Ya, akhirnya kamu menikah!"
"Kapan pesta pernikahan? Jangan lupa, mengundang kami!"
Para sahabatnya yang juga berasal dari keluarga kaya, mencecarnya dengan begitu banyak pertanyaan.
Leo mengabaikan pertanyaan mereka, sebab saat ini tatapannya tertuju pada lantai dansa klub.