Part 4. Bujang Lapuk
'Hah? om om mana? Lo nggak pa-pa?'
'Soraya , lo gpp kan? Kok bisa?
'Kita nyariin lo. Ini rencana mau ke kantor polisi.'
'Soraya , pliss bilang lo gpp.'
Dalam sekejap, grup WhatsApp yang sempat sunyi dan hanya berisi lima orang -termasuk dirinya- kembali ramai.
Soraya sudah berada di dalam taksi, saat sibuk menerima panggilan video call dari grup chat.
Entah bagaimana, tadi tiba-tiba seorang pemuda berwajah imut muncul dan mengantarnya turun ke lobi. Pemuda yang mengaku asisten pribadi Alexander Rikkard itu, juga memesan taksi untuknya.
Jangan bayangkan pemuda itu berpenampilan seperti ART pada umumnya, atau pun bak amang-amang tukang kebun. Asisten pribadi Alexander bahkan berwajah tampan, dengan tubuh ramping dan berpenampilan rapi. Tunggu. Pemuda berwajah imut itu memang bukan ART. Pemuda itu menyebut dirinya sebagai asisten pribadi Om Alexander .
Asisten pribadi berwajah imut, mantel Dolce&Gabbana yang kini membungkus tubuhnya, private lift, dan private lobby. Soraya tidak percaya pagi ini ia terbangun di apartemen mewah, di kawasan paling strategis ibu kota. Bahkan saat ia menyempatkan untuk googling, apartemen yang ditempati Alexander hanya memiliki 19 unit, dimana satu lantai hanya untuk 1 unit.
Asisten pribadi Alexander , tiba-tiba muncul dari balik sebuah pintu. Memperkenalkan diri dengan sopan, kemudian mengatakan taksi yang sudah dipesan sudah menunggu di bawah. Tadi ia mengekor di belakang pemuda itu dan melihat beberapa pintu lain, lukisan besar, juga perabotan yang terlihat mahal. Segalanya tertata rapi namun Soraya tidak melihat satu orang pun asisten rumah tangga. Apa Alexander membersihkan sendiri rak bukunya hingga tidak menyisakan debu sedikit pun? Pertanyaan itu tiba-tiba muncul begitu saja di kepalanya.
"Ini lantai berapa?" tanyanya tadi pada si asisten pribadi saat mereka tengah menunggu lift di private lobby. Tidak banyak perabotan di private lobby itu. Hanya ada bufet, tempat payung, cermin berbingkai keemasan, dan bunga palsu di dalam vas acrylic keemasan berukuran sedang.
"Lantai tujuh belas," jawab si asisten sembari menekan tombol menuju lobi.
Rasanya sulit dipercaya. Soraya berharap ia tidak terbangun dari tidur dan mendapati ini semua hanyalah mimpi.
"Pas ketemuan aja ya gue ceritain. Gue belom mandi, mau basuh-basuh muka dulu. Tar gue ceritain betapa gantengnya si om..." ucapan Soraya terhenti saat menyadari lirikan supir taksi dari spion. "Udah dulu ya, bye!" Soraya buru-buru menutup panggilan video.
"Maaf Kak, bukan bermaksud gimana-gimana. Dulu saya sering malam-malam nganterin klien ke apartemen tempat saya jemput Kakak tadi... " Bapak supir taksi yang sedari tadi diam mulai membuka obrolan.
Klien? Soraya masih memandangi supir taksi yang sesekali melirik melalui spion.
"Klien saya itu pelanggannya tinggal di apartemen itu tadi. Kalau nggak salah lantai 12 katanya. Ekspatriat, direktur salah satu perusahaan swasta."
Bibir Soraya menganga. Jangan-jangan si Bapak Supir mengira dia adalah....
"Setahu saya di sana bahkan ada jacuzzi. Apa Kakak baru pertama kali ke sana? Saya sering dapet orderan ke situ, tapi nggak pernah lihat Kakaknya... " Supir taksi berusaha tersenyum ramah.
"Oh hahaha... nggak gitu Pak...."
"Tenang. Saya bisa simpan rahasia. Ini kartu nama saya." Sebelah tangan bapak supir terjulur mengambil selembar kartu dari dashboard. Kartu itu terselip di antara dua jemari pak supir, menunggu diambil oleh Soraya .
Bahkan supir taksi memberinya kartu nama? Soraya pada akhirnya mengambil kartu nama itu, agar tangan bapak supir tidak pegal.
"Kalau butuh kendaraan malam-malam atau pagi buta bisa hubungi saya." Bapak supir taksi kembali melirik melalui spion. "Dijamin aman. Bahkan kakak bisa bebas ganti baju, atau nitip make up di sini buat touch up di jalan. Semua bisa diatur. Saya sering kok, nganterin cewek ke apart tadi atau apart sekitar situ."
"Oh.... " Soraya tersenyum getir sembari menggaruk sisi kepalanya yang tidak gatal. Gara-gara ia bercerita tidak sempat mandi kepada teman-temannya tadi, auto dikira lonte. Tiba-tiba terlintas sebuah pertanyaan di kepalanya.
"Jadi Bapak sering dapet orderan ke apartemen tadi?"
"Lumayan."
"Mmm... lantai 17, eh maksud saya apa Bapak pernah nganter cewek yang dapet orderan ke lantai 17? "
Bapak supir taksi terkekeh pelan. "Saya nggak tahu mereka pada ke lantai berapa Kak. Tapi kebetulan salah satu klien saya yang sering ke sana, pernah cerita pelanggannya bos dari Jepang, tinggal di lantai dua belas."
"Oh..." Soraya manggut-manggut sebelum terlintas lagi pertanyaan lainnya. "Kalau asisten, eh maksud saya cowok yang pesen taksi ini tadi, sering order?"
Bapak supir taksi terdiam beberapa saat sebelum menjawab, "Nggak begitu sering sih... "
Entah kenapa, hati Soraya sedikit kecewa saat mendengar jawaban barusan. Berarti asisten pribadi Alexander menyimpan nomor bapak supir ini dan menghubungi secara pribadi untuk mengantarnya pulang?
Sekarang semuanya menjadi sedikit jelas bagi Soraya . Pantas, bapak supir taksi mengira dirinya seorang lonte. Sepertinya, beberapa wanita panggilan Alexander juga pernah menggunakan jasa bapak ini.
Oh, ayolah. Tampan, lajang, karismatik, mapan, dan tinggal di apartemen mewah. Berikan satu alasan masuk akal yang mengharuskan Alexander tidak main perempuan. Soraya menggigiti bibir bawahnya sembari menatap sedih pada mantel yang ia kenakan.
"Jangan kelamaan jadi lonte Kak," ujar Bapak Supir taksi. "Ada salah satu klien saya, kadang bawa amplopan yang isinya dollar. Dia nggak beli barang branded, atau coat seperti yang Kakak pakai. Dia sekolah S2, dan sekarang sudah jadi notaris. Jangan kelamaan Kak... "
"Pak saya bukan lonte," sahut Soraya cepat. Dalam hati sedikit heran karena kedua mata bapak supir taksi ini sungguh jeli dalam menilai barang. Tapi memang mantel yang ia kenakan terkesan sangat elegan juga mahal. Mungkin siapa pun dengan cepat bisa menyimpulkan bahwa ia mengenakan mantel bermerek.
"Oh ya?" Bapak supir taksi terlihat heran. "Terus Kakak ini apa?"
"Pokoknya bukan lonte. Kenapa Bapak ngira saya lonte?"
Bapak Supir Taksi mengusap dagunya sejenak. "Cowok yang tadi itu," jawabnya kemudian. "Beberapa kali dia pesen taksi saya buat nganter pulang lonte.... "
Soraya diam seribu bahasa.
--------------------------------------------------------------
'Selamat pagi Om Alexander . Makasih banyak buat mantel dan sarapannya, Om. Makasih juga buat tumpangannya. Kapan bisa saya balikin mantel ini langsung ke Om?
Soraya .'
Soraya membaca lagi, entah untuk yang keberapa kali pesannya di kolom chat. Mungkin vice president memang sesibuk itu hingga kolom chat-nya tidak kunjung dibuka.
Padahal, status Alexander online.
Sudah lewat satu hari. Apa ia terlalu cepat menghubungi Alexander ? Soraya menimbang-nimbang sikap agresif yang kini ia sesali.
Seharusnya ia sedikit jual mahal.
Seharusnya ia menghubungi Alexander tiga hari lagi.
Seharusnya ia membuat lelaki itu penasaran.
Namun sekali lagi, semua sudah terlambat bagi Soraya . Ia terlanjur tenggelam dalam pikirannya sendiri. Pertemuan singkat dengan Alexander , membawanya pada pesona misterius lelaki itu.
Lelaki itu menjadi penyelamatnya di kelab malam, tetapi juga beberapa kali menyewa pelacur. Bahkan asisten pribadi Alexander membukakan pintu taksi untuknya.
Jadi Alexander itu hitam atau putih? Alexander malaikat atau bajingan? Soraya tenggelam dalam pertentangan hatinya sendiri.
Soraya teramat paham, jika pakaiannya malam itu mengundang tatapan penuh nafsu para lelaki di kelab malam. Bahkan seseorang yang sinting nekat memasukkan pil ke dalam minumannya. Namun Alexander , bersikap seperti pria terhormat.
Kulitnya tidak tergores sedikitpun. Celana dalamnya tidak bergeser dan ia pulang dari tempat Alexander dalam keadaan kenyang dan selamat.
Padahal dengan kecantikan dan pesonanya, Soraya tahu bisa membuat lelaki manapun hilang akal. Tapi Alexander , tidak hilang akal. Lelaki itu bahkan berhasil membuatnya merasa kehilangan kesempatan dalam sekejap.
Tidak, Soraya baru saja memulai dan ia tidak ingin kehilangan kesempatan dengan Alexander begitu saja.
Tampan dengan jabatan vice president. Alexander dengan mudah menyingkirkan para pemuda kandidat lain yang sangat berharap menjadi kekasihnya.
Soraya menatap frustasi mantel Dolce&Gabanna yang ia gantung di lemari. Mantel itu kini bersanding dengan celana jeans, bra, kaos, dan syal miliknya. Soraya tidak ingin mantel, ia ingin Alexander . Rasanya belum ada pemuda manapun yang bisa membuatnya penasaran setengah mati seperti ini.
Soraya merasa dunianya berputar begitu cepat. Ia baru saja menapaki jalan kebebasan sebagai mahasiswi perantauan. Jauh dari orang tua dan ingin mencecap lebih banyak pengalaman adalah hal yang selama ini ia impi-impikan.
Soraya hanya ingin pergi bersenang-senang dengan teman satu circle-nya, clubbing, berkenalan dengan para pemuda tampan dan menjadikan salah satu dari mereka sebagai kekasihnya. Ia baru saja menjelma dari Soraya si anak rumahan menjadi Soraya si social butterfly di kampusnya.
Soraya menikmati perubahan drastis dalam hidupnya. Ia bahkan berteman dengan gadis-gadis populer di fakultasnya, dan selalu menarik atensi setiap waktu. Soraya merasa berhasil melepas predikat gadis kuper, gadis cupu, juga gadis alim yang selama ini menjadi identitasnya.
Sudah semenjak tahun kedua di bangku sekolah menengah atas ia ingin menjadi seperti itu, tipikal gadis keren dan populer yang hanya mengencani cowok-cowok top tier. Ia ingin mengencani deretan cowok tampan dan populer lalu bersenang-senang. Namun, ia tidak pernah bisa karena tidak memiliki keberanian untuk itu. Ayahnya selalu bersikap protektif dan selalu membatasi pergaulannya. Predikat gadis baik-baik, terlanjur melekat kepadanya. Ditambah, penampilannya saat di SMA tergolong biasa-biasa saja. Sama sekali jauh dari definisi keren.
Bersekolah di SMA favorit, tidak pernah kekurangan uang jajan, berteman dengan gadis baik-baik, juga tumbuh di keluarga harmonis. Sebenarnya tidak ada yang kurang dalam hidupnya. Namun bagi Soraya , segalanya jadi membosankan.
Ia bosan menjadi gadis baik-baik yang harus pulang sebelum pukul sembilan malam. Ia ingin tahu rasanya merokok dan menenggak bir. Ia ingin tahu rasanya pacaran dengan cowok badboy yang bisa membuat iri gadis lainnya. Ia ingin mengenakan bikini dan mengunggah foto seksinya di Instagram. Ia ingin bersenang-senang di kelab sepanjang malam dan bertingkah sedikit gila. Soraya hanya ingin menikmati dinamika kebebasannya saat ini dan menjadi pusat perhatian. Namun semua berjalan lebih gila daripada bayangannya. Alih-alih mendapat kenalan cowok bad boy di kelab, ia malah dibawa pulang om-om vice president.
Soraya tersenyum sendiri membayangkan, bagaimana reaksi teman-temannya nanti saat ia menceritakan kisahnya ini dengan bangga.
Getaran pada ponselnya membuat Soraya mengecek notifikasi di layar dengan cepat. Jantungnya nyaris melompat, saat ia melihat chat masuk dari Alexander .
Akhirnya! Hati Soraya bersorak kegirangan.
'Hai, maaf baru balas. Chat kamu ketumpuk. Saya cek jadwal dulu ya. Nanti saya kabari lagi.'
Soraya termenung menatap layar ponselnya. Kenapa Alexander bersikap seolah tidak begitu tertarik padanya?