Part 2. Gua Di Apart Om Om
Alexander menatap gadis muda yang kini terbaring di atas ranjangnya. Ngorok, dengan bibir terbuka lebar. Meski begitu, tidak mengurangi pesona yang dimiliki gadis berambut hitam hingga sebatas pinggang itu.
Alexander duduk pelan di tepi ranjang, kemudian meletakkan kaki Soraya di atas pangkuannya, melepas sepatu yang dikenakan gadis itu sambil meneliti ukurannya.
40?
Kakimu besar juga. Alexander tersenyum kecil.
Detik berikutnya kedua mata Alexander tak kuasa menentang naluri, untuk menyusuri keindahan sepasang tungkai Soraya. Dimulai dari pergelangan kaki yang kecil, betis yang ramping, hingga sepasang paha yang sintal.
Alexander menjilati bibirnya sejenak. Nuraninya sedang berjuang menentang nafsu bergejolak yang siap menuntun kedua tangannya mengoyak pakaian kekurangan bahan gadis yang terbaring pasrah di ranjangnya.
Pakaian yang luar biasa provokatif, membuat lelaki alim manapun sanggup merasa bajingan seketika dengan sekali lihat, karena diam-diam menikmati kulit kuning yang indah sambil memendam imajinasi. Atasan blink-blink, yang hanya menutup dada bagian depan namun menampakkan seluruh sisi samping payudara, ah apa nama model pakaian itu? Alexander tidak paham.
Pakaian yang dikenakan Soraya seperti baru saja digunting dari toko kain. Rok mini yang menampilkan seluruh paha dengan belahan samping yang mempertontonkan garis pantat. Alexander menggeleng prihatin. Selera berpakaian gadis ini buruk. Namun memang merangsang. Ditambah, gadis ini cantik. Berwajah lugu seperti baru pertama kali keluar dari rumah, tetapi menjelma liar saat berdua saja dengannya di dalam mobil. Sungguh pesona yang sulit Alexander abaikan. Kabar baiknya, ia bukan lelaki alim. Sama sekali bukan.
Alexander menarik selimut demi menutupi tubuh Soraya dari tatapan mesumnya sendiri. Mencoba bersikap gentleman, meski tahu dirinya lebih pantas dilabeli bajingan.
Tidak, ia hanya laki-laki nakal. Sebut saja begitu. Yang bajingan dua pemuda di parkiran tadi, dan seorang lagi yang bernama Brandon. Alexander rasa, gerombolan itu pantas disebut keparat juga.
Alexander tersenyum geli saat dengkuran Soraya semakin keras. Sepertinya malam ini ia harus tidur di sofa. Alexander juga heran, kenapa ia mau repot-repot begini? Ia bisa saja meninggalkan gadis ini di kamar hotel dan pulang tanpa beban mengurusi anak orang.
Mungkin karena gadis ini cantik?
........ dan montok?
Sungguh tipenya.
Atau mungkin ia khawatir terjadi sesuatu yang buruk pada gadis ini saat sendirian di kamar hotel?
Ah entahlah.
Jemari Alexander tak tahan untuk menyusuri permukaan bibir Soraya dan mengelus dagu runcing itu sejenak, kemudian pelan-pelan mengatupkan bibir ranum kemerahan itu. Bibir yang tadi menciuminya dengan serampangan dan terburu-buru. Air liur gadis itu membasahi pipinya. Alexander jadi ingat, ia harus segera mencuci muka.
Alexander mengambil satu bantal kemudian berbalik dan mematikan lampu. Sudah cukup. Ia tidak ingin hilang akal
________________________
Soraya membuka kedua mata, saat merasakan lapar di perutnya yang berbunyi nyaring.
Sejenak ia mengejan, demi buang angin.
"Bruuuut!"
Ah, lega.
Apa? Aku dimana?
Soraya yang masih nyaman memeluk guling mengangkat pipinya dari atas bantal.
Kamar yang luas, dengan dinding abu-abu polos. Kedua matanya menangkap tirai tipis yang menutupi jendela besar. Soraya dapat melihat gedung-gedung pencakar langit yang berlomba tampil menyentuh langit.
Soraya memutar kedua matanya menjelajahi ruangan yang benar-benar asing. TV flat berukuran besar di atas bufet hitam, lampu dinding keemasan, dan ranjang dengan sprei putih. Soraya menelan ludah sembari mengurai otaknya yang masih kusut.
Semalam, ke club.
Bersama teman-teman.
Disuruh jaga sofa.
Lalu....
Muncul sekelumit wajah tampan berahang tegas, rambut hitam dengan poni membelah dahi, tatap tajam yang melunak dan bibir yang loyal menyungging senyuman karismatik.
Om itu!
Soraya terduduk dan menatap panik dirinya sendiri. Ia luar biasa lega saat mendapati dirinya masih berpakaian lengkap, dengan selimut tebal yang membuat tubuhnya hangat di ruangan ber-AC ini.
Tunggu! Aku ngapain sama om itu? Soraya berusaha merunut kejadian semalam, yang membuatnya berakhir sendirian di kamar asing ini. Namun yang ia ingat hanyalah wajah tampan yang tersenyum hangat, juga harum aroma musk yang entah bagaimana masih tertinggal di ujung hidungnya.
Soraya mengelus pelan kedua lengan demi mendekap dirinya sendiri. Berusaha membuat dirinya nyaman dalam situasi yang serba janggal. Ia menatap bantal dan membawanya ke dalam pelukan.
Tercium aroma yang sama. Aroma harum si Om Ganteng.
Soraya memejamkan mata, berusaha kembali mengingat apa yang terjadi setelah perkenalan singkat semalam. Namun, ia tidak berhasil mengingat apa pun.
Soraya memutuskan menuruni ranjang dan mengelilingi kamar bernuansa monokrom. Tidak banyak perabotan di kamar ini. Kaki telanjangnya bersentuhan langsung dengan karpet abu-abu gelap. Soraya membuka pintu dan melihat ruangan luas yang sepi.
Sofa hitam besar berlapis kulit segera mencuri perhatian. Kemudian menyusul perabotan minimalis yang juga serba hitam. Mantel hitam tersampir begitu saja di sandaran sofa. Terasa janggal, karena segala sesuatu di tempat ini terlihat begitu tertata rapi. Alih-alih seperti tempat tinggal, tempat ini begitu mirip seperti hotel. AC sentral, lantai marmer hitam, TV flat besar di depan sofa, dan aneka remote yang diletakkan rapi di dalam suatu wadah yang menempel di dinding.
Soraya memungut mantel hitam di sofa. Terlihat mahal dan elegan. Kedua matanya menangkap merek Dolce&Gabbana pada bagian dalam mantel. Namun bukan merek branded itu yang membuatnya terkesima, melainkan jejak aroma harum yang menempel pada mantel yang kini ia hirup dalam-dalam.
Wangi maskulin.
Soraya kembali meletakkan mantel itu pada tempatnya.
Kedua matanya menatap takjub jendela kaca menjelma dinding setengah ruangan. Soraya berjalan mendekati rak buku dan berdecak kagum, ketika ujung jemarinya iseng mendarat di salah satu buku dan ia tidak mendapati debu.
Tatapannya terhenti pada sebuah foto berukuran besar di dinding putih tanpa noda. Bibirnya membentuk segaris senyuman kecil saat melihat seorang pria tampan dengan setelan jas di dalam bingkai.
Itu dia. Om itu.
Soraya menatap lebih lama foto besar di dinding dengan sepenuh perasaan takjub.
Emang ganteng banget. Om ini apa sih? Tuan muda?
Senyuman Soraya tanpa sadar kian melebar, saat kedua matanya sibuk mengamati foto-foto lain dalam bingkai yang diletakkan berderet di atas bufet. Hanya ada foto om itu seorang diri. Tidak ada foto keluarga. Bahkan foto masa kecil juga tidak ada. Sangat berbeda dengan keadaan di rumahnya, di mana banyak ditemukan foto keluarga dan foto masa kecil tiap anggota keluarga. Tapi Soraya tidak ingin ambil pusing. Mungkin si Om memang hanya ingin memajang foto dirinya sendiri.
Sepertinya, si om memang belum menikah. Sungguh Soraya menyukai fakta yang sesuai dengan pengakuan lelaki itu semalam.
Ini rumah si om Ganteng itu. Soraya bernapas lega. Entah mengapa dalam sekejap merasa aman dan juga nyaman. Kedua matanya kini beralih menatap dapur yang menjadi satu dengan meja bar minimalis. Bahkan di sini tidak ada meja makan. Soraya menarik kesimpulan, sepertinya si om memang hidup sendiri dan mungkin jarang makan di rumah. Tunggu. Sepertinya ini lebih tepat disebut apartemen daripada rumah. Soraya kembali berjalan sambil mengamati ruang yang cukup luas tanpa sekat. Ia berjalan mendekati kulkas empat pintu dan menemukan catatan kecil menempel di sana.
Ada sandwich di atas meja bar. Kartu nama juga. Telpon saya kapan-kapan...
Kamu: maaf semalam saya mabuk. Terima kasih tumpangannya.
Sama-sama. Oh ya, jangan pulang pake pakaian kayak gitu. Ada mantel di sofa. Pake aja. Jangan lupa cuci tangan sebelum makan :)
How cute! Soraya tersenyum lebar dan segera duduk di balik meja bar bermotif marble hitam yang terasa dingin. Ia melihat nampan dengan sandwich yang masih terbungkus plastik, dan minuman instan yang masih tersegel.
Om ini apa? Pengusaha katering? Kenapa dari kemarin minuman dan makanannya masih segelan? Soraya membuka cepat bungkusan sandwich di tangannya dan melupakan pesan cuci tangan pada notes yang baru saja ia baca.
Oh ya!! Pil! Terus lanjut kenalan.....
Sambil mengunyah Soraya berusaha mengingat-ingat apa yang terjadi setelahnya. Namun lagi-lagi, ia tidak berhasil mengingat apapun setelah perkenalan itu. Kedua matanya kini beralih menatap kartu nama di atas nampan.
Alexander Rikkard
Executive Vice President - PT Bank EYZ Indonesia (Persero) Tbk
Dagu Soraya terjatuh begitu saja saat membaca kartu nama yang sengaja ditinggalkan untuknya.
O... jadi si om eksmud?
My God!!
Sandwich-nya terjatuh ke atas nampan. Soraya, setengah panik berlari kembali ke dalam kamar dan berusaha menemukan tas-nya. Ternyata diletakkan di atas meja nakas samping tempat tidur. Kemudian dengan tergesa, memindai nomor Alexander ke dalam ponselnya. Soraya membuka percakapan di grup dan memilih melewatkan puluhan unread message, demi mengetik cepat dengan dentuman di dada.
'Girlllssss!!!! Gue di apart om om!'