Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Part 1. Kok Keras Om

“Dari orang di meja seberang,” ucap pelayan berseragam sembari membungkuk, agar suaranya yang beradu dengan dentum musik house dapat terdengar lebih jelas oleh gadis muda yang tampak bahagia meski tengah duduk sendirian di sofa.

Gadis itu sontak mendongak dan menemukan pemuda yang duduk sendirian di seberang, mengangkat gelas tinggi-tinggi.

Soraya, tersenyum geli. Batal menyalakan api demi sebatang rokok yang sudah terselip di antara bibir.

“Sebaiknya kamu jangan minum itu..” Tiba-tiba seorang lelaki duduk di hadapannya dan dengan tampang acuh menyingkirkan minuman yang baru saja tiba. Soraya menatap protes, tetapi senyuman menawan dari wajah yang luar biasa tampan membuat batang rokok di antara bibirnya nyaris terjatuh.

Kemeja hitam, kancing teratas dibuka dua dipadu dengan setelan jas yang membalut postur tubuh tegap. Lelaki di hadapannya tersenyum, menampakkan deretan gigi yang berbaris rapi.

“Kenapa?” Soraya bertanya tanpa mampu mengalihkan pandangan sedikit pun dari lelaki karismatik di hadapannya.

Lelaki tampan itu mendekat dan menyodorkan sebotol air mineral dingin. Masih tersegel dan berembun seperti baru keluar dari kulkas.

“Ada yang masukin pil ke dalam minuman kamu. Saya khawatir ada yang berniat buruk. Lagian kamu keliatan mabuk. Minum ini...” Lelaki itu, sekali lagi menampakkan senyumannya yang berkarisma.

“Wow thanks...” Soraya menatap takjub. Ia memang merasa sedikit mabuk. Lelaki tampan di hadapannya membukakan tutup botol dan Soraya minum air mineral dingin dari tangan lelaki itu tanpa ragu. “Om sendirian?” tanyanya pada lelaki yang sepertinya lebih tua. Soraya menyimpulkan dengan cepat, mungkin lelaki tampan di hadapannya berusia sekitar tiga puluhan.

“Iya. Kamu?” Lelaki itu balas bertanya selagi Soraya diam-diam sibuk memuji gaya rambut dengan poni membelah dahi yang membuat penampilan lelaki berahang tegas di hadapannya semakin menawan.

“Mmm... “ Soraya melempar tatapannya mengelilingi seluruh penjuru tempat yang tampak hingar bingar. “Temen-temen aku masih joget... aku disuruh jaga sofa,” jawabnya kemudian dengan tatapan sayu yang diiringi senyuman lebar, membuat siapa saja mudah menyimpulkan bahwa ia sedang berada di bawah pengaruh alkohol.

Lelaki di hadapannya tersenyum tipis. “Harusnya ada satu orang yang jagain kamu di sini.”

“Kenapa harus dijaga? Aku bukan anak kecil.” Soraya santai menyalakan api dan membakar ujung batang rokoknya.

“Nama kamu?” tanya lelaki di hadapannya dengan tatapan penuh minat.

“Soraya. Om?” Soraya balik bertanya.

“Alexander.”

Alexander. Soraya tersenyum. Sungguh nama yang mudah diingat.

“Apa asyiknya dugem sendirian?” tanya Soraya kemudian, dengan sedikit berteriak karena dentuman suara musik semakin mengencang.

Bibir Alexander membentuk segaris senyum, dengan tatapan lekat yang sulit dimentahkan oleh perempuan mana pun. “Mau pindah tempat nggak? Biar lebih enak ngobrolnya. Kalau kamu mau... “

Soraya merasakan debaran di jantungnya kian menguat. Lelaki tampan itu sepertinya benar-benar tertarik kepadanya. “Temen-temen aku.... “ Kemudian mengedarkan pandangan dengan mimik ragu. “......masih joget.”

Lelaki di hadapannya sudah berdiri. Mengangkat kedua alis, sembari mengulurkan tangan. “Mau pindah ke lounge di lantai bawah? Saya yang traktir...” Tawaran menarik itu ditutup isyarat gerakan kepala dengan senyuman berkarisma yang sangat sulit diabaikan.

Senyuman Soraya lepas begitu saja. Ia menenggelamkan sebatang rokok yang masih utuh ke dalam asbak, lalu menyambut uluran tangan Alexander sembari menyambar tas-nya.

Jemarinya tenggelam dalam genggaman hangat Alexander. Lelaki itu mengawal langkahnya yang menjadi sedikit kesulitan berjalan karena pengaruh alkohol. Mereka berdua bergandengan tangan membelah kerumunan manusia yang sedang asyik melantai terbius hentakan musik.

Alexander sesekali menoleh, seperti memastikan keadaannya baik-baik saja. Lelaki itu tidak melepaskan genggaman tangannya, bahkan hingga mereka memasuki lift demi sampai di lounge yang tampak sepi pengunjung.

Mengobrol di sini jauh lebih baik dan Soraya dapat melihat dengan lebih jelas, rupa paripurna om om keren yang kini kembali duduk di hadapannya.

“Om, asli sini?” tanya Soraya tepat setelah bir dingin pesanan mereka tiba. Meski kepalanya sudah terasa pusing, ia tetap saja memesan bir.

Alexander hanya mengangguk sembari menarik bibirnya membentuk garis lurus. “Kamu? “

“Saya pendatang,” jawab Soraya sambil menyalakan sebatang rokok.

“Kerja juga?”

Senyuman tipis mengembang dari bibir yang lipstiknya sudah memudar. “Emang kelihatan tua ya? Saya baru 19 tahun, baru masuk kuliah semester satu malah...” Asap rokok dihembuskan santai. “Om mau rokok?”

Alexander menggeleng pelan.

“Nggak ngerokok?” Soraya menarik kembali kotak rokoknya.

“Saya kurang suka sama merek itu...” Kedua mata Alexander melirik bungkusan rokok mild yang memang kebanyakan pangsa pasarnya mahasiswa.

Soraya tersenyum sebelum kembali menghembuskan asap rokoknya. Baru tiga bulan menjadi perokok aktif, ia merasa sudah lihai dalam urusan hembus menghembuskan asap. “Om umur berapa?” Soraya memiringkan kepala. Mendadak penasaran karena penampilan lelaki di hadapannya tidak seperti cowok seumurannya, namun luar biasa enak dilihat.

“Tebak.”

“Mmm... 30?”

“Apa saya kelihatan semuda itu?”

“Ohh! Jangan bilang Om udah 40 lebih! Sumpah nggak keliatan!” puji Soraya terus terang.

“Saya belum sampai 40...”

“Jadi umur Om berapa? “

“Hampir empat puluh.... “

“Tiga sembilan?” Soraya melebarkan kedua mata.

“Tiga puluh tujuh....” Lagi-lagi senyuman Alexander mengembang.

“Jangan bilang Om udah punya istri!” Soraya menatap waspada.

“Saya masih single.... “

“Single???” Kedua mata Soraya melebar. “Ada pacar?”

Alexander memperhatikan sejenak wajah ingin tahu gadis yang duduk di hadapannya. “Nggak ada..”

“BULLSHIT!!”

Reaksi Soraya, membuat beberapa orang menoleh.

“Beneran nggak ada pacar???” Soraya menatap skeptis.

“Nggak ada.”

“Kenapa?”

“Nggak laku.”

“ HAHAHAHAHA!!!! “ Tawa Soraya lepas begitu saja. Lagi-lagi mengundang perhatian orang-orang yang berada di lounge. “Om lucu deh!!”

Alexander hanya menaikkan kedua alis sembari menenggak minumannya sendiri lantas memperhatikan Soraya yang kian bertambah mabuk.

“Om, kenapa nggak nikah-nikah? Maho ya?” tanya Soraya dengan cengiran usil di wajah.

Senyuman dari bibir Alexander membentuk garis lurus. “Mau buktiin saya maho atau nggak?”

“Maksud Om?”

Mereka berakhir di mobilnya.

“Mmh...” Desahan pelan lolos dari bibir Alexander, saat gadis mabuk itu menjadi semakin liar tak terkendali. Gadis itu rakus menciuminya, seolah esok kiamat. Tatapan gadis itu berkali-kali melucutinya, seiring gerak tangan yang agresif menjamah bagian sensitifnya.

Serampangan, tetapi juga membangkitkan nafsu dengan cepat. Alexander, menuntun sebelah tangan Soraya menyelami pengait celana yang telah terbuka.

Gadis itu menampakkan wajah bingung sekaligus penasaran.

“Ke... keras Om?” tanya Soraya sembari memberi tekanan lebih. Gemas, melihat om berwajah tampan yang ia sudah lupa siapa namanya itu menatap pasrah memohon dipuaskan.

Jadi seperti ini rasanya barang, eh batang laki-laki? Soraya menatap takjub sebelah tangannya yang sudah tenggelam di balik celana om om ganteng yang baru saja ia temui di dalam kelab.

Eh, siapa nama si Om Maha Ganteng ini? Ravi? Davi? Vir? Ah persetan siapa namanya! Otak Soraya rasanya tumpul. Tidak bisa berpikir apalagi mengingat nama untuk saat ini. Otaknya sedang sibuk memerintahkan sebelah tangannya untuk masuk lebih dalam, merogoh seluruh isi celana si Om Ganteng.

“Mmm....” Alexander hanya menggumam sembari mengangguk, saat tangan Soraya mengelus dan meremas kejantanannya. Berikutnya tangan gadis itu menggenggam dan mulai bergerak naik turun.

Kening Soraya menempel erat pada keningnya. Aroma pekat alkohol sedari tadi menyeruak dari bibir gadis itu. Namun Alexander tidak peduli saat berat hembusan napasnya menuntun tangan Soraya bergerak lebih cepat di bawah sana.

Rasanya baru saja sekejap kenikmatan itu kian merambat naik, sebelum tiba-tiba Soraya hilang kesadaran dan wajah lugu gadis itu terjatuh di atas dadanya.

“Shit!” Sebelah tangan Alexander reflek menangkap wajah mungil Soraya dan mendapati gadis itu mendengkur. Alexander hanya bisa menyandarkan kepala sembari menatap frustasi langit-langit mobilnya.

Mau bagaimana lagi?

Alexander memutuskan keluar dari mobil, berniat merokok sembari mencari udara segar. Kaca mobil diturunkan sedikit, tidak lebih dari 5 cm. Ia membiarkan Soraya tidur pulas di seat belakang, berselimutkan jas yang tadi ia kenakan.

Bersandar pada Range Rover hitamnya, Alexander mengamati kondisi parkiran yang sepi.

Sekarang bagaimana?

Alexander menggaruk pelan pipinya. Apa ia harus membawa pulang gadis itu? Atau meninggalkannya di hotel sendirian?

“Soraya! Soraya.... “ Suara gaduh memecah hening. Alexander melihat dua orang pemuda sibuk meneriakkan nama gadis yang kini sedang teler di dalam mobilnya.

“Shit! Gue telp nggak diangkat! Padahal hapenya aktif!” ucap pemuda berjaket denim.

Alexander yang masih dalam posisi santai, mau tak mau menajamkan pendengarannya. Tidak terdengar ringtone dari dalam mobilnya.

“Kan gue udah bilang sama lo! Jaga Soraya jangan biarin sendirian di sofa!” ucap pemuda satunya yang berkaos hitam sambil mendorong kesal pemuda berjaket denim.

“Ya kan gue pura-pura pergi, supaya aksi kita nggak ketahuan! Tadi dia minum minuman itu gak?” Pemuda berjaket denim menatap gusar temannya.

“Mana gue tahu! Harusnya kalo dia minum, kita udah party sekarang! Brandon udah booking kamar hotel, kita bisa gila-gilaan sama Soraya!”

“Jangan-jangan tadi dia pingsan terus diangkut stranger lagi? Batal deh kita jual Soraya ke Brandon! Batal ngicip juga! Shit!” Pemuda berjaket denim berjongkok sembari mengusap wajahnya.

Alexander melirik melalui sudut mata, meski ia tahu tidak dapat menembus kaca mobil riben hitam pekat miliknya. Dalam hati mengutuk aksi dua pemuda bajingan, yang sepertinya merupakan teman-teman Soraya. Di saat yang sama, terbesit rasa iba.

Jika saja tadi ia bersikap masa bodoh pada gadis berparas lugu yang ditinggalkan sendirian di sofa, entah bagaimana nasib Soraya kini.

Mungkin saja sudah di-gangbang.

Dasar bajingan! Alexander menggaruk pelan keningnya sebelum membuang puntung rokok ke pelataran dan membuatnya remuk di bawah sol pantofel.

Sekarang bagaimana? Sebaiknya bagaimana? Alexander kembali ke dalam mobilnya, duduk di balik kemudi dan menyalakan musik.

“Wise men say...

Only fools rush in...

But I can’t help falling in love with you...” Suara bariton Elvis Presley mengantar mobilnya meninggalkan parkiran dan membelah jalanan yang berangsur sepi.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel