BAB 6
Happy reading
***
"Aku sudah bercerai, lebih tepatnya sudah satu tahun berlalu, sejak kamu memutuskan hubungan itu,"
Mince hanya diam memandang iris mata Arnold, ia tidak menyangka bahwa dia memberitahu status barunya. Ia bingung akan berbuat apa selain menahan debaran jantungnya. Pupil mata itu membesar seolah menginginkan sesuatu.
Arnold merogoh dompet di saku celana, dan ia mengambil kartu nama. Ia menyelipkan kartu itu pada jemari lentik itu Mince.
"Bisakah kita duduk berdua di cafe, sambil menikmati secangkir kopi hitamku dan teh hangatmu," gumam Arnold.
"Hanya sekedar bercerita," ucap Arnold menggantungkan kalimatnya.
Mince manarik nafas, ia mengalihkan pandangannya ke arah Igar yang masih menunggunya di sana. Ia menelan ludah, ia yakin Igar bertanya-tanya apa yang telah ia bicarakan kepada Arnold. Ia tidak ingin berlama-lama di sini, terlebih di area kerja.
"Iya,"
Mince memasukan kartu nama itu di saku jas. Ia lalu melangkah menjauhi Arnold, meninggalkan dia begitu saja. Sedangkan Arnold, hanya memandang Mince dari kejauhan dan dia pun menjauh.
Igar memicingkan mata menatap Mince, ini merupakan hal yang tidak biasa seorang GM berbicara kepada seorang admin seperti Mince. Ia yakin GM itu dan Mince memiliki hubungan lebih dari sekedar rekan kerja. Pembicaraan apa yang mereka bicarakan ? Toh GM itu bisa berbicara kepada pak Hilman selaku HRM di sini. Tatapan mereka seperti memiliki hubungan yang bukan sekedar tidak biasa.
"Boleh tau ? Ada hubungan apa kamu dengan pak Arnold?," tanya Igar penasaran.
"Enggak ada apa-apa kok, cuma nanyain kerjaan," Mince duduk di kursinya kembali, memandang secangkir kopi yang sudah tersedia di meja.
"Aku pikir kalian memiliki hubungan yang cukup serius,"
"Sok tau kamu,"
"Aku hanya menduga, terlihat jelas dari dia memandang kamu,"
Mince hanya diam, tidak menanggapi ucapan Igar yang mulai ingin tahu masalah hubungannya dengan Arnold. Ia berusaha setenang mungkin menyesap kopi itu secara perlahan.
"Katanya wedding besok anak pejabat?," Mince mengalihkan pembicaraan.
"Iya,"
"Dekornya pasti keren,"
"Pastinya," Igar terkekeh, ia menyesap kopi pesananya.
***
"Aku sudah bercerai, lebih tepatnya sudah satu tahun berlalu, sejak kamu memutuskan hubungan itu,"
Kata-kata itu masih terngiang-ngiang dikepalanya, pernyataan itu membuatnya gelisah tidak menentu. Status duda yang di sandang Arnold membuatnya kembali berpikir. Untuk apa dia memberitahu bahwa sudah bercerai dengan istrinya terdahulu?. Toh, ia tidak memiliki hubungan apa-apa. Apa dia mencoba memamerkan status duda itu kepadanya?. Ah, ia semakin penasaran, kenapa mereka bercerai secepat itu. Apa tidak ada jalan keluar untuk menyelesaikan hubungan mereka?.
Ia bingung akan berbuat apa selain memandang kartu nama yang di selipkan Arnold pada tangannya tadi sore. Ia menggigit bibir bawah, segudang pertanyaan yang ingin ia ketahui pada laki-laki itu. Ia hanya ingin tahu kenapa laki-laki itu memilih bercerai, padahal sudah memiliki istri dan anak yang begitu menyayanginya.
Mince menatap ke arah layar ponsel, ia memandang cukup lama pada deretan huruf yang ada pada layar ponsel. Jarinya mulai mengetik secara perlahan.
"Di cafe Aroma, jam 21.00. Ada hal yang ingin aku tanyakan kepadamu,"
Ia lalu mengirim pesan singkat itu ke nomor yang tertera pada kartu nama. Ia memejamkan mata, berusaha menenangkan debaran jantungnya, entahlah ia hanya ingin mengajukan pertanyaan yang masih terngiang-ngiang di kepalanya. Agar tidak ada lagi yang mengganjal di hati.
Mince beranjak dari tempat tidur, ia membuka lemari mencari pakaian yang pantas untuk bertemu Arnold. Ia memilih kaos berwarna putih dan celana jins, ia akan terlihat biasa-biasa saja. Ia di sini tidak ingin menarik perhatian Arnold.
Ia melihat ke arah layar ponsel, ada notifikasi masuk, ternyata dari nomor yang sama.
"Iya,"
Mince mengambil jas hitam yang menggantung di lemari, ia menatap penampilannya di cermin. Ia biarkan rambutnya terurai, dan keluar dari kamar. Mince memesan taxi online pada layanan ponsel. Ia memandang Sinem sedang asyik menonton, tidak menyadari kehadirannya.
"Bi ...,"
"Eh non," Sinem menoleh memandang Mince yang telah rapi.
"Mau kemana non?,"
"Aku keluar bentar, ada urusan, kalau bibi ngantuk tidur aja. Aku bawa kunci kok,"
"Iya non, non pakek apa perginya?,"
"Grab "
"Non hati-hati di jalan ya,"
"Iya,"
***
Satu jam kemudian, ia sudah tiba di cafe aroma. Mince mengedarkan pandangannya kesegala area, suasana cafe seperti biasa tenang. Ada beberapa pengunjung mengisi kursi kosong, ia melihat laki-laki mengenakan baju kaos hitam sambil menatap ke arah estalase kaca. Dia terlihat tampan seperti itu, dari pada jas yang di kenakannya tadi sore.
Senyum simpul itu ia perlihatkan, lihatlah inilah cafe menjadi saksi, ia pernah memutuskan hubungan dengan Arnold. Masih teringat jalas kata-kata yang pernah ia ucapkan secara gambalang kepada Arnold. Oh Tuhan, kenapa ingatan itu begitu kuat, hingga memori itu sulit di lepas.
"Hai,"
Arnold tersenyum kepada Mince, ia tadi membaca pesan singkat Mince. Wanita itu ternyata mengajaknya bertemu di sini lagi. Ia memperhatikan Mince, lihatlah dia terlihat cantik dengan kaos putih berbahan lembut itu.
Dulu pertama kali ia melihat Mince di studio, seperti ini lah penampilannya. Hanya saja di sini dia tidak mengenakan sepatu sneaker melainkan high heels.
"Hai juga," Mince berusaha setenang mungkin.
"Duduk lah,"
Mince mendaratkan pantatnya di kursi, ia melirik jam melingkar di tangannya menunjukkan pukul 21.23 menit. Ternyata ia telat 23 menit dari yang telah di janjikan.
"Maaf tadi macet di jalan,"
"Tidak apa-apa,"
"Aku sudah pesankan secangkir kopi susu dan roti bakar coklat keju, sebentar lagi datang,"
"Terima kasih,"
Ia memandang waiters menyajikan pesanannya, ia melirik Arnold menyesap kopi hitam itu secara perlahan.
"Bagaimana keadaan kamu?," tanya Mince.
"Baik," Arnold tersenyum simpul, meletakan cangkir itu di meja.
Saling terdiam satu sama lain, karena masih ada pikiran yang mengganjal di hati. Mince mencoba mengaduk kopi yang di atasnya tertulis Coffee Aroma.
"Pertanyaan apa yang ingin kamu tanyakan kepadaku?," Arnold mencoba mencairkan suasana. Sebenarnya ia lebih senang rileks seperti ini, bersama wanitanya. Ia yakin pertanyaan ini seputar tentang status yang ia ucapkan tadi sore.
****