Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

bab 14

Ada sesuatu yang lembab, kenyal, menempel dikeningku. Mata yang sebenarnya masih pengen merem terpaksa harus melek. Tanganku meraba kening yang sedikit basah. Pelan, mata melek, mengingat mimpi semalam. Bahkan aku nggak mimpi apapun, tapi kok bisa keningku kerasa basah ya? Apa ada cicak pipis?

Sedikit kaget saat ada wajah tampan nan imut didepan mata. Wajah bocah 18 tahun ini tepat berada didepanku. tangannya melingkar dipinggang. Dan....guling yang semalam dia minta itu, entah kemana. Beneran nggak ada. Kuperhatikan bibir sexi dan menggemaskan ini. Rasanya pengen cium. Hidungnya sedikit mancung dan wajahnya putih bersih. Beneran nggak pernah kepikiran bakalan punya suami imut begini. Tanpa sadar aku tersenyum menikmati wajahnya.

Kusingkirkan tangannya pelan, lalu turun dan masuk kekamar mandi. Sekitar tiga puluh menit ada didalam kamar mandi, saat keluar si suami belum bangun. Masih ngebo dengan badan yang terbalut selimut.

Duduk merias diri sebentar. Rambut kukucir kuda, beda dari biasanya. Kulihat Elang mulai membuka mata, menutupi mulutnya karna menguap.

“Jam berapa mbak? Kok udah rapi?” dia duduk bersila menghadapku.

“Jam tujuh kurang. Aku mau mampir kekost bentar, ngambil motor.”

“Gue mandi bentar, ntar gue anter.” Dia beranjak turun, ngraih telfon diatas meja samping lemari. “Bik, anterin sarapan keatas ya. Roti panggang sama susu.” Nutup telfon dan berlalu masuk kekamar mandi.

Aku masih bengong dengan yang baru saja terjadi. Orang kaya sih bebas ya. Nggak perlu teriak, langsung jadi.

Beberapa menit berlalu, bik Darsih datang membawakan pesanan Elang. Tak begitu lama, Elang keluar. Segera aku meraih gelas susu yang ada diatas meja. Meminumnya hingga separuh untuk menutupi kegugupanku. Gimana nggak gugup, dia Cuma pakai handuk yang melilit dipinggangnya. Tinggal kebawah dikit udah kelihatan si adek. Ah, otak nakalku mulai bekerja. Aku bernafas lega saat Elang kembali masuk kekamar mandi membawa baju gantinya. Hawa kamar mendadak menjadi sangat panas. Huufftt dasar aku!!

Elang keluar sudah dengan pakaiannya. Dia langsung duduk ditepi ranjang menghadap kearahku. Nyomot roti dan menggigitnya.

“Gue pesen taxol dulu.” Ngambil ponsel dan membuka aplikasi.

“Kenapa harus pakai taxol?” tanyaku heran.

“Ya kan nanti pulangnya gue bawa motor elo.”

“Ntar biar aku pulang pakai motor sendiri aja.”

“Enggak boleh.”

“Kenapa?”

“Biar selalu barenganlah.” Jawabnya tanpa natap aku.

Etdah, si bocah. Sok banget mesra, padahal kelon aja nggak mudeng. Huuh!!

~~

Kami turun barengan saat pak Sarif ngabarin kalo taxol pesenan udah nunggu. Sekalian aku bawain nampan yang udah nggak ada makanannya.

Perjalanan sekitar 15 menit, sampailah didepan kostku. Aku turun lebih dulu, Elang masih nyelesaiin pembayarannya. Ragu melangkah karna aku melihat ada mobil Lian didepan kost. Ngapain dia di kost? Apa Luna juga pindah disini?

“Kenapa bengong?” Elang merangkulku. “Mau ditemenin masuk?”

“Nggak usah, aku masuk sendiri aja.” Tolakku. Dia melepaskan rangkulannya.

Melangkah pelan menuju teras kost. Pintu depan sedikit terbuka. Tanganku terulur untuk mendorong pintu dan melangkah masuk. Namun, terhenti saat mendengar sedikit percakapan dua orang didalam.

“Gue Cuma cinta sama Audy. Seperti apapun lo sama gue, itu nggak akan pernah merubah rasa hati.” Ucapan lian yang begitu berasa dihati.

Mendadak dadaku berdebar tak karuan. Entah ini perasaan apa, tapi ada rasa yang bahagia karna dia mencintai aku.

“Li, kamu sadar nggak sih. Kamu udah nyakiti perasaanku.” Rengek Lina.

“Dari awal gue udah jujur Lina, gue cinta sama Audy. Dan elo penyebab batalnya pernikahan gue. Gue nggak mau tau ya, elo harus tanggungjawab.”

“Itu perbu....”

“Mbak, kok nggak jadi masuk?” teriakan Elang menghentikan ucapan Lina. Mata mereka berdua menatap pintu, dimana aku berdiri seperti patung.

“Iya tunggu bentar.” Segera kudorong pintu. Menatap dua orang itu sekilas. “Aku Cuma mau ambil motor.” Ucapku pada mereka, lalu ngambil kunci yang tercantel di samping tv. “Lanjutkan aja obrolan kalian. Maaf ganggu.”

Segera melangkah keluar meninggalkan mereka berdua. Langkah terhenti saat ada tangan yang menarik lenganku.

“Audy,” panggil Lian.

Aku berhenti, mengibaskan tangannya. “Apa?” ucapku tanpa menatapnya.

“Kenapa kamu lakukan ini?”

Pertanyaan macam apa ini! Kenapa jadi seolah aku yang salah? Aku berbalik, menatap wajah tampannya. Wajah yang dulu selalu membuat duniaku berwarna. Wajah yang selalu kurindukan tiap waktu. Namun sekarang, semua sudah berbeda. Aku muak melihatnya.

“Harusnya pertanyaan itu aku tanyakan ke kamu! Jangan membalikkan cerita Li! Kamu menang karna semua anak pabrik mempercayai mulutmu. Namun itu nggak mempengaruhi kinerjaku. Dan aku sama sekali nggak peduli sama semuanya.”

Aku naik kemotor dan menuntunnya keluar dari teras. Menyalakan mesin dan menyuruh Elang segera naik. Tanpa memanasi mesinnya dulu, segera kujalankan motor meninggalkan kostan.

Dalam perjalanan otakku sibuk memikirkan ucapan Lina yang terpotong itu. Apa mereka berdua mempunyai rencana jahat untukku? Tanpa terasa, aku sudah sampai didepan gerbang pabrik. Aku turun dan Elang maju memegang stir motor. Kuserahkan helm padanya.

“Ntar pulang jam berapa?” tanyanya.

“Kaya’ biasanya, jam empat. Tapi kamu jemputnya jam empat lebih dikit aja.” Pintaku. Aku nggak mau dia cerewet spam di wa minta aku cepet-cepet keluar.

“Lho, kenapa? Mau ngobrol sama mantan dulu?”

Aku mendekik. “Enggak Lang.”

“Ya udah, ntar aku jemput jam empat tepat.”

“Iya, terserah kamulah.” Aku meminta tangannya, mencium punggung tangan Elang dengan takzim. Layaknya istri yang menghormati suami.

Dia nyengenges. “Kok gue ngerasa tua ya mbak.”

“Iisshh!!” desisku sambil memukul bahunya.

“Ini gue perlu cium kening elo nggak?” tanyanya dengan masih nyengenges.

“Enggak! Udah sana pulang.” Milih ngalah daripada Elang mikir macem-macem.

Dia narik lenganku saat aku hendak melangkah masuk ke gerbang.

“Jangan dengerin kata orang. Perkataan mereka itu Cuma bisikan setan yang bikin hati dan pikiran lo teracuni.” Ucapnya dengan serius.

Aku masih diam mencerna kata-katanya. Tersenyum dan ngangguk. “Iya, kamu hati-hati dijalan.”

“Telfon kalo ada apa-apa.” Mulai menjalankan motor maticku, dan pergi menjauh dari pabrik.

Segera masuk saat dia sudah tak lagi terlihat. Suasana pabrik sudah ramai oleh bunyi mesin, aku langsung absen finger dan masuk kedalam kantor. Kebetulan tak bertemu satu orangpun.

“Audy! Kangen!” Sandra menyambutku dengan pelukan erat.

Aku balas memeluknya. “Cuma tiga hari doang nggak ketemu oneng!”

“Sama aja mamank! Biasanya juga kita ketemunya tiap hari.”

Kita duduk dikursi masing-masing setelah selesai berteletubies.

Sandra tersenyum menggoda. “Gimana malam pertama? Asiik nggak? Adeknya bocah SMA mantep nggak?”

Kutonyor kepalanya. “Nggak ada malam pertama, kedua, ketiga!!” aku mulai menyalakan komputer.

“Gue nanya serius kamvret!!” dia elus kepala bekas tonyoranku tadi.

“Gue juga jawab serius. Nikah sama bocah itu mesranya beda San.”

“Emang gimana? Eh, tapi suer kewer-kewer ya. Suami elo imut banget. Gantengnya lebih dari Lian njjeer!! Gue gemes banget liatnya. Kaya’ nya dia manja-manja ngegemesin gitu ya.”

“Iya, emang ngegemesin banget.”

Mengingat pertama kali ngajakin keluar, gue dapat park karna ternyata main layang-layang. Abis itu park lagi karna gue kira bakal dapat ciuman, tapi nanyain tali BH, park lagi nggak dikelonin. Padahal udah ngarep pengen dikeloni.

Eh, tapi tadi pas bangun tidur dia beneran ngelonin aku lho. Bahkan tubuh kita mepet nggak ada jarak. Kira-kira dia sadar nggak ya? Nggak sadar aku senyum sendiri mengingat hari-hariku sama Elang.

“Di tanya bukannya jawab malah senyum nggak jelas!! Sinting beneran!!” Sandra gantian nonyor kepalaku.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel