4. Pengalihan Kemarahan
Aldian tersenyum puas. Alina sudah berada di titik terendah, karena tekanan darinya. Kini, ia akan menghancurkan mentalnya. Sudah waktunya Aldian muncul sebagai 'penolong' yang akan menawarkan solusi yang jauh lebih pribadi, dan jauh lebih berbahaya, daripada sekadar urusan skripsi.
‘Aku akan membuatmu butuh padaku, Alina. Dan saat kamu sudah tidak punya pilihan lain, permainan yang sesungguhnya akan dimulai,’ batin Aldian, meraih selembar kertas untuk menyusun skenario pertemuan bimbingan minggu depan.
Aldian terdiam sejenak. Dia mengambil ponselnya, mencari tau sosial media milik Alina, yang dia tau pasti berteman dengan Kirana. Ia menemukannya, dan melihat setiap postingan Alina. Perlahan, ia tersenyum.
"Alina ... Alina ... kamu ini benar-benar mudah sekali untuk ku manfaatkan."
*****
Pagi ini, Alina berjalan tergesa-gesa menuju gedung bimbingan skripsi. Di tangannya ada map lusuh berisi sepuluh draf judul skripsi, masing-masing dilengkapi dengan tinjauan latar belakang masalah yang menghabiskan waktu tidurnya selama tiga malam.
Di lorong utama dekat auditorium, langkah Alina terhenti. Ia melihat sosok yang sangat familiar, sosok yang selalu membuatnya merasa kecil dan tidak diinginkan. Kirana.
'Kirana. Ada apa dia ke sini?' batinnya.
Kirana berdiri anggun di dekat lift dosen, mengenakan seragam kerja mahal dan memegang tas bermerek. Wajahnya yang cantik tampak tegang, jelas bukan karena urusan akademis.
Mata mereka bertemu sesaat. Tidak ada sapaan, tidak ada senyum. Hanya tatapan dingin yang diwarnai permusuhan lama. Alina buru-buru menunduk, pura-pura memeriksa tali sepatunya yang longgar. Kirana membuang pandangan ke arah lain, seolah Alina hanyalah debu di lantai.
Mentari, yang berjalan di samping Alina, menyenggol lengan temannya. "Dia ke sini? Ada urusan apa?"
"Mana aku tahu," bisik Alina, mempercepat langkahnya. "Sudahlah. Jangan sampai dia melihatku lebih lama. Aku tidak mau cari masalah."
Mentari menghela napas, mengangguk maklum. Ia tahu betul betapa rumitnya hubungan keluarga antara Alina dan Kirana. Ia memilih bungkam dan mengikuti langkah Alina menuju ke ruang Dosen. Sementara Kirana sudah menghilang di balik pintu lift.
*****
Kirana tiba di lantai ruangan Aldian. Ia mengetuk pintu ruang kerja Aldian tanpa menunggu izin, lalu langsung masuk.
Aldian sedang berdiri di samping jendela, memandang ke luar, punggungnya kaku. Ia tidak berbalik, seolah kehadiran Kirana tidak signifikan.
"Aldian, sampai kapan kau bersikap seperti ini?" tanyanya dipenuhi frustrasi. "Sudah dua minggu kau menghindariku. Pesan tidak dibalas, telepon tidak diangkat. Kita harus segera mengurus katering dan gedung pernikahan."
Aldian akhirnya berbalik. Ekspresinya datar, seolah sedang menatap orang asing. "Aku sibuk, Kirana."
"Sibuk apa? Sibuk bermain-main dengan ponsel? Kita akan menikah dua bulan lagi. Kita harusnya membahas masa depan, bukan saling diam seperti ini!" Kirana maju selangkah, mencoba meraih tangan Aldian, namun Aldian menarik diri.
"Tidak ada masa depan untuk kita bahas, Kirana," ucap Aldian, suaranya tenang namun menusuk.
Kirana terkejut. "Apa maksudmu? Apa kamu masih marah karena kejadian itu? Hanya karena aku tidak datang saat kita dinner? Aldian ... aku sudah minta maaf! Aku sudah jelaskan, kalau aku sibuk. Kenapa kamu jadi seacuh ini? Kamu tahu, sikapmu ini benar-benar tidak peduli!"
"Benar. Aku tidak peduli," Aldian memotong tajam. "Aku tidak peduli dengan pernikahan itu. Aku tidak peduli dengan katering, gedung, atau gaun mahal yang kamu pilih."
Kirana menggeleng tak percaya. "Kamu mengacaukannya! Setelah semua yang kita rencanakan? Kita akan menikah, Aldian. Jangan kekanak-kanakan!"
Aldian tersenyum sinis, senyum yang tidak pernah ia tunjukkan sebelumnya. "Kekanak-kanakan? Aku justru merasa sudah terlalu dewasa untuk melanjutkan sandiwara ini, Kirana. Aku bosan. Dan pernikahan ini... aku putuskan untuk menundanya. Sampai waktu yang tidak ditentukan."
Kirana terdiam, wajahnya memerah karena malu dan marah. Ia mencoba mencari alasan, tapi Aldian mengangkat tangan, menghentikannya.
"Kamu sudah buang waktuku. Aku ada jadwal bimbingan. Keluar."
Perintah itu mutlak. Kirana hanya bisa menggertakkan gigi. "Baik. Tapi ingat, Aldian. Kamu tidak akan bisa lepas dariku semudah itu. Kita akan bicara lagi," ancam Kirana sebelum membanting pintu ruangan.
Aldian tetap berdiri tegak di tempatnya. Kepalan tangannya mengeras sejenak, menahan amarah yang mendidih. Kirana kesal, marah, terluka karena penolakan dan pembatalan sepihak. Itu bagus. Tapi Aldian tahu, rasa sakit itu belum maksimal. Ia perlu alat untuk memperdalam luka itu, dan alat itu sudah menunggu di luar.
Ia menenangkan diri, merapikan dasinya, dan mengambil berkas di mejanya. Sudah waktunya memainkan babak baru dalam permainan dendam ini.
*****
Lima menit kemudian, Alina duduk di kursi bimbingan. Ketegangan di ruangan itu terasa tebal, lebih pekat dari biasanya. Wajah Aldian tampak lebih dingin, matanya memancarkan ketidakpuasan yang mendalam.
"Alina. Sepuluh judul?" tanya Aldian tanpa basa-basi.
Alina menyerahkan mapnya dengan tangan gemetar. "Ya, Pak. Saya sudah melampirkan latar belakang masalah singkat untuk setiap judul, sesuai permintaan Bapak."
Aldian menerima map itu, melirik isinya sekilas, lalu meletakkannya kembali. Ia bahkan tidak membaca satu pun draf itu.
"Semuanya ditolak," putusnya.
Alina tercekat. "Tapi, Pak—" Ia tidak sempat menyelesaikan kalimatnya.
"Tidak ada tapi," potong Aldian tajam. "Judul kamubkurang relevan, isunya terlalu umum, dan tidak memiliki kontribusi yang signifikan bagi ilmu pengetahuan. Kamu hanya mengulang tema lama."
Alina menelan salivanya. 'Bagaimana dia bisa menyimpulkan itu tanpa membaca sama sekali?' batinnya.
"Saya sudah coba mencari isu yang paling baru dan—"
"Mencari saja tidak cukup," Aldian menyandarkan punggungnya, menatap Alina dengan mata menghakimi.
"Saya tahu kamu sedang dikejar waktu, Alina. Dan saya tidak suka mahasiswi yang lambat. Jadi, mari kita percepat proses ini. Karena kamu tidak bisa menemukan judul, saya akan memberimu tugas yang akan menentukan kelanjutan status kamu."
Jantung Alina berdebar kencang. Ia tahu ini adalah sesuatu tambahan beban.
"Saya ingin kamu membuat studi pendahuluan," lanjut Aldian, nadanya seperti seorang hakim yang menjatuhkan vonis. "Dalam waktu seminggu, kamu harus mengumpulkan data dari 15 narasumber kunci di tiga institusi berbeda di luar kota. Kamu harus mendapatkan wawancara mendalam, bukan sekadar kuesioner."
Alina terperangah. Lima belas narasumber? Tiga institusi luar kota? Seminggu?
"Itu... itu mustahil, Pak. Saya tidak punya dana untuk perjalanan, dan mengurus izin wawancara butuh waktu lebih dari seminggu," ujar Alina, suaranya nyaris berbisik.
"Mustahil adalah kata yang hanya digunakan oleh orang yang tidak siap lulus," sindir Aldian, senyum tipis, puas, kembali tersungging.
"Jika kamu berhasil membawa bukti rekaman wawancara dan transkripnya minggu depan, saya akan mempertimbangkan satu dari sepuluh judul kamu ini. Jika gagal—" Aldian berhenti, jeda yang disengaja.
"Maka saya akan merekomendasikan kamu untuk segera mengambil cuti akademik. Atau, yang lebih parah, DO. Pilihan ada di tanganmu, Alina."
Alina merasakan kepalanya pusing. Ini bukan lagi tentang skripsi. Ini tentang nasibnya, tentang ancaman DO yang nyata, dan tentang kekalahan total di hadapan ibu tiri dan kakak tirinya.
Saat Alina terdiam, menatap kosong ke arah Aldian, Dosen itu membungkuk sedikit, suaranya merendah, terdengar lebih personal dan penuh intrik, bukan lagi sebagai dosen.
"Kelihatannya kamu sangat membutuhkan bantuan, Alina. Bantuan yang tidak bisa diberikan oleh buku referensi kamu," bisik Aldian.
Alina tak menjawab, dia hanya terdiam masih tertuju pada Aldian.
"Bagaimana jika ada jalan keluar yang lebih cepat dari sekadar wawancara gila ini?" lanjut Aldian.
Alina berkerut alis, matanya dipenuhi harapan yang rapuh. "Maksud Bapak?"
"Datanglah ke kantor saya besok pukul 10.00 pagi. Kita akan membahas proposal yang jauh lebih penting daripada skripsi kamu," kata Aldian, ekspresinya berubah menjadi sosok penyelamat yang dingin.
"Kita akan membahas sebuah kesepakatan, Alina. Kesepakatan yang akan menjamin kelulusan kamu, tapi dengan harga yang mungkin sedikit lebih mahal dari yang Anda bayangkan."
Ia memberi isyarat bahwa pertemuan telah berakhir, meninggalkan Alina terpaku, terjebak di antara ancaman DO dan tawaran berbahaya dari dosen killer itu.
'Apa sebenernya yang dia maksud ini?' batin Alina.
