3. Rencana Balas Dendam
Aldian sedang tersenyum sinis sambil menatap daftar nama Alina di komputernya. Ia tahu tugas yang ia berikan tidak mungkin diselesaikan. Itu adalah langkah pertamanya. Ia ingin Alina terpojok, rapuh, dan putus asa. Saat itulah, ia akan datang menawarkan ‘pertolongan’ yang mematikan.
‘Kamu tidak akan lulus tepat waktu, Alina. Dan saat kamu hampir menyerah, aku akan memberikan penawaran yang tidak bisa kamu tolak,’ batin Aldian, menikmati sensasi dingin dari permainan balas dendam yang baru saja ia mulai.
Aldian memutar cincin yang ia pungut dari lantai hotel kemarin. Ia membayangkan wajah Kirana. Hingga sakit hati itu muncul kembali. Semua ini akan terbayar lunas. Balas dendamnya akan disajikan sempurna, panas, dan menyakitkan, menggunakan adik tiri Kirana sendiri sebagai umpan.
"Kirana, aku tidak sabar melihatmu sakit. Seperti apa yang aku rasakan," monolognya dengan tatapan lurus ke depan.
*****
Dua Minggu telah berlalu. Sejak Aldian memberikan tugas pada Alina. Hari ini, gadis tersebut akan bertemu dengannya, untuk memberikan hasil atas tugas yang diberikan
Pagi jagi pukul 09.00. Ponsel Aldian bergetar. Dan itu untuk yang kelima kalinya sejak pukul 08.00. Layar menampilkan nama ‘Kirana’. Aldian menatap notifikasi itu tanpa ekspresi. Ia sempat membaca salah satu pesan Karina dan banyaknya pesan yang dikirim.
||Kirana
("Sayang. Ada apa denganmu? Mengapa akhir-akhir ini kamu tidak mengabariku? Apa, kamu terlalu sibuk di kampus?")
Tanpa membaca pesan yang lain. Aldian langsung menghapus semaunya, lalu menekan tombol senyap. Dia tidak lagi merasakan sakit yang menusuk, hanya rasa jijik yang dingin.
Permintaan maaf, atau janji-janji yang dilontarkan Kirana melalui pesan teks selama dua minggu terakhir sama sekali tidak berarti. Hatinya telah mengeras, terpatri pada satu tujuan. membalas dendam.
Ia mematikan ponselnya, memilih untuk fokus pada laptop di depannya. Di layar terpampang jadwal bimbingan skripsi hari itu. Nama Alina Salsabila menduduki slot pertama.
‘Kirana sudah menjadi masa lalu. Alina adalah kartu yang akan aku mainkan,’ batin Aldian, senyum tipis, penuh perhitungan, tersungging di bibirnya.
*****
Alina tiba di ruang bimbingan dengan langkah gontai. Dua minggu yang lalu, ia gagal total. Tugas komparatif tiga wilayah itu, seperti yang ia duga, mustahil. Ia hanya mampu menyusun kerangka kasar untuk dua wilayah, itupun dengan data yang sangat minim.
Aldian menyambutnya dengan tatapan meremehkan. "Dua minggu, Alina. Apa yang kamu bawa hari ini?"
"Saya sudah berusaha, Pak. Tapi untuk studi komparatif tiga wilayah dalam waktu sesingkat itu, data primer yang saya kumpulkan belum memadai," ujar Alina jujur, tangannya gemetar menyerahkan map berisi revisi proposal.
Aldian mengambil map itu, bahkan tidak membukanya. Ia hanya memegang sudutnya, seolah map itu tak berarti.
"Usaha tidak selalu berarti hasil, Alina. Kamu membuang waktu saya," katanya tajam.
"Saya sudah katakan, jika kamu tidak bisa memenuhi syarat dari saya. Kamu boleh mencari pembimbing lain."
Alina sontak mengangkat kepala. "Tapi, Pak! Jika saya ganti pembimbing sekarang, saya pasti akan telat wisuda. Saya mohon, beri saya kesempatan lagi."
Ancaman DO dari Aldian, ditambah bayangan akan amukan Karin dan Kirana jika ia gagal, membuat Alina rela merendahkan diri.
Aldian akhirnya menghela napas, gestur yang dibuat-buat seolah dia sedang berkorban besar. "Baik. Karena saya menghargai waktu yang kamu habiskan. Meskipun hasilnya no, saya akan memberi kamu kesempatan."
"Terima kasih, Pak," ucap Alina lega.
"Tapi kali ini, kita kembali ke awal," lanjut Aldian, nadanya kembali dingin. "Lupakan tugas komparatif. Kita kembali ke pemilihan judul. Saya rasa judul yang kamu ajukan di awal terlalu ... kekanak-kanakan."
Alina terkejut, ia sedikit mengangak. "Kekanak-kanakan? Tapi judul itu sudah di-ACC oleh ketua prodi, Pak."
"Ketua prodi hanya melihat formalitas. Saya yang akan membimbing kau. Dan saya tidak mau membimbing sesuatu yang tidak memiliki bobot akademis. Judul pertama kamu, buang."
Aldian mendorong map yang sempat ia pegang, membuat map itu meluncur di atas meja dan hampir jatuh ke lantai. Alina sigap meraihnya.
"Kamu harus mengajukan judul baru. Judul yang unik, yang belum pernah disentuh oleh mahasiswa mana pun," perintah Aldian, menyilangkan tangan di dada.
"Saya sudah mengajukan tiga opsi judul baru minggu lalu, Pak. Semuanya Bapak tolak," keluh Alina, merasa seperti diputar-putar.
"Tiga itu kurang. Ajukan sepuluh. Dan saya mau kamu menyertakan latar belakang masalah yang kuat untuk setiap judul itu. Saya akan memeriksanya semuanya minggu depan," putus Aldian.
Alina hampir berteriak frustasi. Sepuluh judul? Dengan latar belakang masalah yang kuat? Mahasiswa lain dengan bimbingan dosen lain sudah masuk Bab 1, bahkan ada yang sudah mencapai Bab 3. Sementara dia, masih berputar di tahap paling awal, menemukan judul yang disukai dosennya.
"Apakah ada masukan spesifik, Pak? Bidang apa yang harus saya fokuskan?" tanya Alina, mencoba mencari celah.
Aldian hanya tersenyum samar, senyum yang sama sekali tidak menenangkan. "Tugas mahasiswa adalah menemukan masalah, Alina. Bukan saya. Jika kamu tidak bisa menemukan judul yang tepat, maka kamu memang belum siap lulus."
Pertemuan bimbingan itu berakhir dalam lima menit, menyisakan Alina yang merasa hampa dan tertekan. Ia tahu, Aldian sedang mempermainkannya.
*****
Mentari menemukan Alina di sudut perpustakaan, dikelilingi tumpukan buku referensi. Alina tampak seperti mayat hidup, dengan kantung mata yang menghitam.
"Bagaimana, Lin? Judulmu sudah di-ACC?" tanya Mentari, duduk di sebelahnya.
Alina hanya menggeleng lesu. Ia mendorong tumpukan buku itu, memperlihatkan sepuluh lembar kertas proposal mini di bawahnya.
"Sepuluh judul. Aku harus mengajukan sepuluh judul baru. Dia menolak semuanya. Dia ingin aku di DO," bisik Alina, suaranya dipenuhi keputusasaan.
Mentari membelalak. "Gila! Padahal Vino bilang, Pak Aldian itu dosen yang cerdas dan logis. Kenapa dia jadi sekejam ini padamu? Mahasiswa lain sudah ada yang siap seminar proposal, kamu masih disuruh mencari judul?"
"Logis? Dia itu iblis! Dia menikmati penderitaanku," gerutu Alina, menyandarkan kepalanya ke tumpukan buku. "Dia benar-benar dosen killer. Pembimbing yang sengaja menjebak mahasiswanya."
Alina tidak mengerti mengapa Aldian begitu keras padanya. Apakah ia melakukan kesalahan fatal? Atau Aldian memang sengaja mencari tumbal untuk mempermalukan prodi?
"Aku tidak tahan, Tar. Jika minggu depan dia masih menolak, aku mungkin benar-benar harus menyerah," ucap Alina, air mata mulai menggenang.
Mentari meraih tangan Alina. "Jangan, Lin. Kamu sudah sejauh ini. Mungkin dia hanya ingin melihat seberapa gigih dirimu."
Namun, Alina tahu ini lebih dari sekadar gigih. Ini adalah permainan kuasa. Ia merasa seperti tikus yang sedang diawasi oleh kucing lapar.
*****
Sore hari, Aldian kembali membuka ponselnya. Ada pesan baru dari Kirana yang menuntut penjelasan tentang sikapnya yang dingin dan rencana pernikahan yang mandek.
||Kirana
("Sayang ... aku tidak tau, apa yang sebenarnya terjadi padamu. Ingat sayang, kita akan membicarakan tentang pernikahan.")
Aldian membaca pesan itu sekilas, lalu menghapusnya. Kemudian membuka berkas digital Alina. Sepuluh judul skripsi yang harus Alina susun. Aldian tahu, sepuluh judul itu pasti berkualitas, karena Alina adalah mahasiswi yang cerdas.
Namun, Aldian sudah merencanakan penolakan. Ia akan menolak sembilan judul dengan alasan akademis yang dibuat-buat, dan meninggalkan satu judul yang ia anggap 'lumayan'. Judul itu akan menjadi umpan berikutnya.
Aldian tersenyum puas. Alina sudah berada di titik terendah, karena tekanan darinya. Kini, ia akan menghancurkan mentalnya. Sudah waktunya Aldian muncul sebagai 'penolong' yang akan menawarkan solusi yang jauh lebih pribadi, dan jauh lebih berbahaya, daripada sekadar urusan skripsi.
‘Aku akan membuatmu butuh padaku, Alina. Dan saat kamu sudah tidak punya pilihan lain, permainan yang sesungguhnya akan dimulai,’ batin Aldian, meraih selembar kertas untuk menyusun skenario pertemuan bimbingan minggu depan.
Aldian terdiam sejenak. Dia mengambil ponselnya, mencari tau sosial media milik Alina, yang dia tau pasti berteman dengan Kirana. Ia menemukannya, dan melihat setiap postingan Alina. Perlahan, ia tersenyum.
"Alina ... Alina ... kamu ini benar-benar mudah sekali untuk ku manfaatkan."
