CHAPTER TWELVE
“Siapa bilang aku setiap hari janjian sama dia makan siang di sana? Ngaco kamu. Nggaklah, baru tadi aja kok kita janjian makan siang di sana.”
“Susi bilang kamu sering makan siang di restauran itu padahal jaraknya jauh banget dari kantor kamu. Padahal setahu aku, dulu kamu sering makan di kantin kantor atau di restauran di seberang kantor kamu itu. Kenapa kamu sampai jauh-jauh makan di sana?” Aku bertanya dengan bertubi-tubi.
Dia bersedekap dada di depanku, masih tetap mempertahankan raut datarnya seolah semua pertanyaanku ini tak mengganggunya sedikit pun. “Aku pernah ketemu sama klien di restauran itu. Aku suka makanan di sana, rasanya enak. Lain kali aku ajak kamu makan di sana deh supaya kamu ngerti alasan aku rela jauh-jauh makan siang di sana. Aku yakin kamu juga pasti suka makanan yang dihidangkan di sana,” jawabnya, seperti biasa dia menjawab dengan lantang dan santai.
Kini gantian aku yang memijat pangkal hidung. Berpikir akhirnya aku memiliki bukti untuk membuatnya mengakui kebohongannya, faktanya dia berhasil memberikan berbagai alasan yang mau tak mau harus kuakui memang masuk akal. Logikaku mencernanya dengan baik. Aku tersentak saat merasakan dia yang tiba-tiba meraih tanganku, menggenggam tangan kananku erat, sebelum kecupan lembut dari bibirnya mendarat di punggung tanganku.
“Kamu jangan mikir yang aneh-aneh gini dong, Sayang. Dulu kamu gak pernah mikir aku selingkuh kayak gini. Kenapa sekarang kamu bisa mikir kayak gitu?”
“Udah aku bilang kan tadi, kamu itu mencurigakan,” sahutku tegas.
“Itu cuma perasaan kamu aja. Aku itu cuma cinta sama kamu. Nggak mungkin aku lirik cewek lain. Toh, aku punya istri cantik gini kok di rumah.”
Dia sedang menggombal, tentu saja aku tahu persis. Tak ingin terbuai dengan gombalan recehnya, aku menarik tanganku kasar dari genggamannya. Lalu, beranjak bangun dari dudukku dan melangkah santai meninggalkannya sendirian.
Aku kehabisan kata-kata untuk menyudutkannya. Sempat berpikir untuk menanyakan perihal kalung dengan liontin berinitial ZK itu, tapi kuurungkan karena aku yakin dia pasti mampu mengelak lagi. Lebih baik dia berpikir aku belum mengetahui keberadaan kalung itu. Ini tindakan paling tepat yang bisa kulakukan saat ini agar dia tidak mencurigai bahwa aku sedang melakukan penyelidikan padanya.
Aku merebahkan diri di atas kasur setibanya di kamar. Kedua mataku memanas, air mata yang sudah menggenang di pelupuk mata ini berontak meminta pembebasan. Aku menengadah, sengaja menatap langit-langit kamar untuk mencegah air mata ini meluncur keluar. Meski kata-katanya terdengar meyakinkan tapi hati kecilku tetap berteriak agar aku tak mempercayainya semudah itu.
Cepat-cepat aku memiringkan tubuh begitu mendengar suara pintu kamar yang terbuka. Saat kurasakan seseorang menaiki kasur, aku berpura-pura memejamkan kedua mata.
“Sayang, kamu jangan gini. Please, percaya sama aku. Aku nggak selingkuh sama siapa-siapa kok," ucapnya, sembari memelukku dari belakang, kurasakan pula jemari tangannya yang memainkan rambutku yang tergerai berantakan di atas bantal. “Aku itu cuma cinta sama kamu. Gak mungkinlah aku selingkuh. Stop mikir kayak gitu. Bisa, kan?”
Aku tetap bungkam, sama sekali tak menyahutinya. Ketika kudengar hembusan napas lelah, aku menepis tangannya yang merangkul bahuku. Lalu, kututupi sekujur tubuhku hingga sampai kepala dengan selimut, sebagai isyarat aku tak ingin lagi mendengar semua gombalannya.
“Kamu sadar gak sih kalau yang berubah itu sebenarnya kamu, bukan aku?” Kata-kata terakhir yang dia ucapkan sebelum dia mengubah posisi. Dia menjauhiku, dan saat aku menoleh ke arahnya, kulihat dia sedang tidur membelakangiku.
Kini tak kutahan lagi air mata, kubiarkan menetes membasahi wajah. Hubungan kami semakin buruk dari hari ke hari. Pernikahan kami, sampai kapan bisa dipertahankan? Untuk pertama kalinya pemikiran menyakitkan ini terlintas di kepalaku.
***
Keesokan paginya, tepat pukul 7 setelah menyelesaikan sarapan, Raefal bangkit berdiri dari duduknya.
“Raffa yang rajin ya belajarnya, jangan nakal di sekolah,” katanya seraya mengacak rambut putra kami. Raffa merengut tak suka karena tindakan ayahnya membuat rambutnya jadi berantakan. Dia menepis tangan Raefal kasar dari puncak kepalanya, mengundang kekehan keluar dari mulut Raefal.
Dia melirik ke arahku yang tetap duduk tenang di kursi. Berpura-pura tak peduli dengannya, aku tetap menyantap makanan dengan santai. Mungkin dia heran dengan sikapku ini karena biasanya aku akan mengantarnya sampai ke depan rumah setiap kali dia hendak berangkat ke kantor.
“Aku berangkat dulu,” pamitnya yang hanya kubalas dengan anggukan kecil. Tatapanku terfokus pada punggungnya yang semakin menjauh hingga hilang di balik pintu. Saat suara mobilnya terdengar, lantas berjalan menjauh, aku tahu dia benar-benar sudah berangkat.
Tak berselang lama, sudah menjadi rutinitas setiap hariku mengantarkan Raffa ke sekolah. Kami berangkat dengan menaiki taksi.
Di sepanjang jalan, tak hentinya aku memikirkan pembicaraanku dengan Raefal semalam. Berpikir haruskah aku mempercayai ucapannya? Haruskah aku meminta maaf padanya? Jujur hingga detik ini perasaanku pada Raefal belum pudar sedikit pun. Masih tetap sama seperti dulu karena itu rasanya hatiku sakit sekali saat memikirkan kemungkinan dia mengkhianatiku. Yang paling membuatku ketakutan adalah saat berpikir mungkin dia sudah tak mencintaiku lagi seperti dulu. Aku belum siap untuk kehilangannya, dan jika memang hubungan kami masih bisa diperbaiki, kenapa aku tidak mencobanya?
Aku mengambil ponsel yang kuletakan di dalam tas. Sempat ragu sejenak tapi pada akhirnya kutekan nomor telepon Raefal. Aku berniat mengalah dan meminta maaf padanya karena sikapku semalam dan pagi ini.
Teleponnya tersambung tapi tidak kudengar tanda-tanda Raefal mengangkatnya. Mencoba berpikir positif dan menerka-nerka kemungkinan dia sedang sibuk di kantor, aku memilih menelepon ke nomor kantornya. Suara Susi yang mengangkat telepon itu, mengalun di telingaku.
“Hallo, ini Susi, kan? Saya Indira.”
“Oh, Ibu Indira. Iya, Bu. Saya Susi. Kenapa ya, Bu?” tanyanya di seberang sana.
“Suami saya ada di ruangannya?” Tak kudengar suara Susi yang menyahut, membuatku mengernyitkan dahi di sini. “Susi,” panggilku.
“Maaf, Bu. Pak Raefal belum datang.”
Aku tersentak mendengar jawaban Susi ini. Cepat-cepat aku melirik ke arah jam tangan yang melingkar di lengan kiri. Waktu menunjukan pukul 08.12, seharusnya dia sudah tiba sejak setengah jam yang lalu mengingat dia berangkat dari rumah pukul 7 dan jarak kantor dari rumah kami yang bisa dikatakan cukup dekat. “Dia belum sampai di kantor ya padahal dia sudah berangkat jam 7 dari rumah?”
“Hm, kurang tahu, Bu. Tapi, biasanya Pak Raefal datang ke kantor pukul 9 pagi kok, Bu.”
Sekali lagi aku tersentak, bahkan kedua mataku melebar saking terkejutnya. “Dia datang ke kantor jam 9? Yang benar kamu?”
“Iya, Bu. Saya tidak bohong. Pak Raefal selalu datang ke kantor pukul 9.”
Aku tertegun, memikirkan keanehan ini. Jika dia tiba di kantornya pukul 9, lalu apa yang dilakukannya setelah berangkat dari rumah? Kemana dia pergi setelah meninggalkan rumah jika tidak langsung ke kantor?
“Bu Indira.”
Lamunanku buyar begitu suara Susi menyadarkanku. “Oh, OK, Sus. Makasih ya. Tolong jangan bilang pada suami saya kalau saya menelepon. Tolong rahasiakan ini darinya ya.”
“I-iya, Bu. Baik,” sahutnya, aku pun memutuskan sambungan telepon.
Aku menyandarkan punggung di sandaran kursi taksi, kembali termenung memikirkan satu lagi kebohongan Raefal yang baru saja terbongkar.