CHAPTER ELEVEN
Raefal pulang ke rumah tepat pukul 6 sore. Dia bersikap seolah tak terjadi apa pun. Aku tak mengatakan apa pun selama ada Raffa di samping kami karena aku tidak ingin anak itu mendengar pertengkaran orang tuanya. Meski pikiranku sudah dipenuhi berbagai pertanyaan yang ingin aku utarakan padanya. Harus kutahan keinginan ini mati-matian.
Hingga akhirnya setelah Raffa tertidur tepat pukul 9 malam, aku yang baru saja selesai membacakan buku dongeng untuk Raffa, berniat untuk menghampiri Raefal yang sedang menonton televisi sendirian di ruang tengah. Aku berdiri mematung di belakangnya yang tengah duduk di atas karpet. Sedikit berdeham agar dia menyadari kehadiranku.
Sesuai yang kuharapkan, dia menoleh padaku. Dia tersenyum sembari memberi isyarat dengan tangannya agar aku menghampirinya. Jika biasanya aku menolak bergabung untuk menonton bersamanya, tidak demikian dengan kali ini. Aku menghampirinya tanpa protes sedikit pun. Inilah saat yang tepat untuk menanyakan semua kegundahan di dalam hatiku.
“Tunggu di sini sebentar,” katanya tiba-tiba begitu aku mendudukan diri di atas karpet. Tatapanku tanpa sadar mengikuti pergerakan Raefal. Bagaimana dia bangun dari duduknya, lalu melangkah menaiki tangga. Sosoknya menghilang di balik pintu kamar kami, entah apa yang akan dia lakukan, di sini aku menunggu dengan penuh antisipasi.
Lima menit kemudian, dia kembali menuruni tangga dengan menenteng sebuah paperbag di tangannya. Aku mengernyitkan dahi saat melihat paperbag itu, sempat berpikir mungkinkah dia membelikanku sesuatu?
“Ini titipan dari Susi,” katanya seraya mengulurkan paperbag di tangannya padaku. Aku menerima paperbag itu, mengintip ke dalam untuk melihat isinya. Rupanya Susi mengembalikan kotak makanan yang tadi kuberikan padanya, tentu saja dalam keadaan kosong dan sudah bersih. Kuletakan paperbag itu di atas meja, sebelum melirik ke arah Raefal yang kini tengah menatapku datar.
“Tadi kamu ke kantor?” tanyanya. Aku mengangguk.
“Niatnya sih pengin makan siang bareng kamu. Tapi, kamunya udah makan siang duluan.”
“Kenapa kamu nggak bilang dulu kalau mau ke kantor?”
“Tadinya mau ngasih kejutan, udah lama juga kan aku gak bawain makanan buat kamu ke kantor,” Aku menghela napas panjang sebelum melanjutkan ucapanku. “Tapi, ada untungnya juga aku datang tanpa ngasih tahu kamu dulu. Kebohongan kamu jadi terbongkar sekarang,” tambahku.
Kulihat dia mengernyitkan dahi, tampak tak suka mendengar kata-kataku barusan. Aku tak peduli lagi meskipun ucapanku berpotensi membuatnya marah. Tak ada lagi yang akan aku pendam. Rasa sakit yang kurasakan dalam hati ini harus kuungkapkan sekarang juga.
“Aku nyusul kamu ke restauran tempat kamu makan siang tadi,” ujarku.
“Oh, ya? Terus kenapa aku nggak lihat kamu?” Dia bertanya balik padaku. Aku cukup terkejut melihat ekspresi wajahnya yang tampak biasa-biasa saja. Tak ada raut terkejut atau panik yang menari-nari di wajahnya.
“Karena aku emang gak masuk ke dalam restauran.”
“Kenapa? Kenapa kamu gak masuk ke dalam? Katanya kamu mau nyusulin aku kan ke sana? Harusnya kamu masuk ke dalam restauran.”
Aku kembali menghela napas panjang. Harusnya aku yang mengintimidasi dia dengan berbagai pertanyaan yang kulontarkan padanya. Tak kusangka keadaannya berbalik, sekarang justru dia yang mengintimidasiku dengan berbagai pertanyaannya. Aku tak heran sama sekali, memang seperti inilah Raefal. Dia selalu mampu membuat lawan bicaranya tersudutkan, apa lagi jika dia dalam posisi bersalah. Pasti dia akan mencari berbagai cara agar dirinya tetap dianggap benar. Dia egois? Tidak, tentu saja kata egois tidak pantas ditujukan padanya. Kata pintar bersilat lidah, kurasa lebih cocok.
“Kamu juga harusnya nelepon aku kalau datang ke restauran itu,” katanya lagi. Aku berdecak pelan mendengarnya.
“Aku ragu mau masuk ke dalam.”
“Ragu? Kenapa ragu? Kan, katanya kamu mau nyusulin aku ke sana?”
Lagi, dia yang berbalik menginterogasiku sekarang. Tapi, aku tidak akan kalah kali ini. Harus kuketahui siapa wanita yang bersamanya tadi siang.
“Aku takut lihat pemandangan menyakitkan di dalam makanya aku gak masuk. Tapi ternyata firasat aku emang bener. Dari luar pun, aku masih bisa lihat pemandangan yang nyakitin hati aku banget,” ujarku. Sengaja aku menatap tepat ke kedua matanya. Awalnya, berharap bisa menemukan kepanikan atau ketegangan di iris matanya itu. Namun, sekali lagi harapanku hanyalah angan-angan yang tidak mungkin terwujud. Dia sukses mempertahankan raut tenang dan datarnya.
“Pemandangan menyakitkan? Emangnya kamu lihat apa?” tanyanya seolah tak berdosa sedikit pun. Atau dia merasa tidak berdosa setelah bermain dengan wanita lain di belakangku? OK, aku mulai kehilangan kesabaranku sekarang.
“Jangan pura-pura gak tahu deh. Aku lihat kok, lihat pake mata kepalaku sendiri, kamu keluar dari restauran itu sama seorang wanita. Siapa dia? Selingkuhan kamu?” tanyaku memilih langsung ke intinya. Raefal memejamkan mata, lantas menggeleng pelan sebelum akhirnya dia menghunus tajam menatap padaku.
“Pikiran kamu ngelantur banget ya? Selingkuhan apanya? Dia itu temen lama aku. Temen waktu kuliah,” sahutnya, tidak ada bentakan, tidak ada nada suara tinggi. Dia berbicara dengan fasih disertai nada teramat tenang dalam suaranya. Seolah dia memang tak merasa panik sedikit pun meskipun aku sudah memergoki perselingkuhannya.
“Temen kuliah?” gumamku, tentu saja aku tidak percaya.
“Iya, dia temen kuliah aku.”
“Bukannya kamu kuliah di Bogor dulu? Kenapa bisa ketemu sama dia di sini?” Aku sadar ini pertanyaan yang sangat bodoh. Tapi, sungguh pertanyaan ini refleks keluar dari mulutku.
“Memangnya kamu pikir mahasiswa yang kuliah di sana semuanya orang Bogor? Nggak dong. Mereka tersebar dari berbagai daerah di Indonesia. Jadi, ya wajar-wajar aja aku ketemu dia di sini. Nggak ada yang aneh,” sahutnya tegas, tanpa keraguan.
“Jadi, dia itu temen kuliah kamu?” tanyaku, memastikan sekali lagi. Dia mengangguk cepat.
“Yakin cuma temen kuliah?”
“Kamu kok nanyanya kayak gitu? Kesannya kayak yang nggak percaya.”
“Emang aku nggak percaya. Emang ada ya temen yang ampe benerin dasi terus ampe si pria ngusap rambut si wanita lembut banget? Kok di mata aku kalian kayak sepasang kekasih yang lagi kasmaran ya?” sindirku, memberitahu secara gamblang bahwa aku melihat terperinci apa saja yang mereka lakukan di depan restauran.
Raefal kembali memejamkan mata. Dia memijit pangkal hidung, mungkin sedang memikirkan alasan untuk membohongiku lagi. “Kamu bisa nggak sih jangan negatif thinking dulu? Dia benerin dasi aku mungkin karena risih lihat dasi aku miring. Itu tindakan wajar kok, artinya dia cukup peduli sama temen dia,” jawabnya, teramat santai. “Dan soal aku yang ngusap rambut dia, makanya kamu jangan ngambil kesimpulan sendiri kalau nggak ngelihat dengan jelas. Ada daun di rambut dia, makanya aku ambilin. Kamu juga lihat sendiri kan di area parkirnya banyak pohon?”
Aku tertegun, mengingat betul di sekitar area parkir restauran itu memang ditumbuhi beberapa pohon berdaun lebat. Sangat masuk akal jika memang benar ada daun yang mendarat di rambut wanita itu.
“Sejak kapan sih kamu negatif thinking gini sama aku? Pake curiga selingkuh segala. Indi, Indi, nggak mungkinlah aku selingkuh,” katanya seraya terkekeh. Aku mendengus, memutar bola mata malas karena hingga detik ini aku masih tidak mempercayainya.
“Sejak aku sadar kalau kamu emang mencurigakan.”
“Mencurigakan?” gumamnya, satu alisnya terangkat tinggi. “Mencurigakan gimana maksudnya? Perasaan aku biasa aja.”
“Kamu itu berubah, Raefal. Nggak kayak kamu yang dulu. Kamu pikir aku gak nyadar apa?” ujarku, sedikit ketus. Aku membuang muka, memilih menatap arah lain ketimbang beradu pandang dengan dia.
“Berubah gimana maksudnya? Aku gak berubah kok. Tetep sama kayak dulu. Pikiran kamu ngaco.”
Aku kembali menoleh padanya begitu alunan tawanya tertangkap indera pendengaranku. “Kamu janjian sama temen kamu itu di sana? Janjian makan siang bareng?”
Dia mengangguk tanpa ragu, tak mengelak sedikit pun. Awalnya, kupikir dia akan berdalih bertemu dengannya tanpa disengaja. Di luar dugaan, dia langsung mengakuinya. “Sebenarnya perusahaan kami terlibat kerja sama gitu. Kami emang janjian buat ngebahas masalah kerjaan di sana.”
“Jadi, setiap jam istirahat kalian selalu janjian makan siang bersama di restauran itu?!” Dia kembali mengernyitkan dahi ketika mendengar pertanyaanku yang bernada emosi ini. Sungguh kekesalan sudah naik sampai ke ubun-ubunku sekarang.