Bab 11 Gila
Gasa melihat ke arah Gama dengan pandangan antara takjub dan ketakutan. Kini ada satu hal yang dia yakini, jangan pernah meremehkan para monster itu, termasuk Gama sekalipun.
Tien juga melihat ke arah Gama dengan tatapan takjub. Benda aneh yang dari kemarin dibuat oleh soulmate-nya itu ternyata sangat luar biasa.
Tien juga membayangkan seandainya dia juga memakai body armor yang diciptakan oleh Gama, apakah dia juga akan sanggup menahan pukulan Gasa?
"Gama... Kami... Kami hanya mengikuti perintah Koga."
Salah satu rekan Gasa mencoba untuk membawa nama Koga untuk mengintimidasi Gama.
Koga adalah pemimpin sekaligus tulang punggung Tim Koga. Keseluruhan anggota Tim percaya kepada kekuatan yang dimilikinya untuk bertahan hidup. Jadi, Tim ini memang berpusat pada kekuatan yang dimiliki oleh Koga.
"Heh. Sekali kera tetap kera. Bukankah sudah kubilang tadi?" kata Gama.
"Aku... Tidak... Takut... Koga..."
Gama mengeja kata-katanya satu persatu. Ditambah dengan penampilannya, bulu kuduk mereka semua berdiri.
"Genius Gila, dia lebih menakutkan dibanding Leader," gumam ketiga orang itu dalam hati.
"Kalau kalian sudah paham, sekarang menyingkir. Atau..."
Gama mengayunkan tangannya dan memukul tembok yang berada di samping cermin.
"Efek amplifier untuk serangan diaktifkan."
"Efek amplifier aktif dengan rasio 1:5."
"Bersiap untuk benturan."
Booommmm.
"Daya serangan terukur."
"Host memberikan serangan dengan tenaga sebesar 120kg."
"Amplifier bekerja dengan rasio 1:2."
Gama terlihat masih diposisinya. Dia mencoba menggunakan serangan kali ini untuk mengetahui efek amplifier atau penguat serangan yang dimiliki armornya.
Dan hasilnya?
Sangat mengecewakan.
Dengan melakukan design yang matang dan kalkulasi yang rumit, Gama sudah berusaha untuk menciptakan body armor yang mampu memperkuat serangan dan pertahanannya secara imbang.
Tapi, setelah melalui proses panjang dan melelahkan, Gama tak berhasil.
Design maksimal yang dia ciptakan hanya mampu memberikan sepersepuluh reduction effect dan lima kali amplifier effect.
Itu artinya, setiap kali Gama menerima serangan, energi serangan itu akan diperkecil sepuluh kali lipat. Sedangkan semua serangan Gama akan diperbesar lima kali lipat.
Tapi, kenyataan tak selalu seindah teori.
Efek reduksi serangan yang dimiliki body armor sesuai dengan perhitungannya sedangkan efek penguat serangan, bekerja jauh lebih buruk dari harapannya.
"Apakah itu artinya aku akan memiliki defense yang kuat tapi attack yang lemah?" gumam Gama dalam hati.
Tak terasa air mata meleleh di pipi Gama. Setelah usaha kerasnya, dia berhasil menciptakan sebuah body armor yang membuat dirinya menjadi...
Sandbag.
Sebuah sandbag hidup.
Apa yang dipikirkan Gama tentu berbeda dengan apa yang dipikirkan anak-anak lainnya.
Saat mereka melihat Gama mengayunkan serangan tadi, mereka memang mendengar suara yang tak sekeras pukulan Gasa, tapi mereka dapat melihat sesuatu yang aneh terlihat di tempat yang menjadi sasaran serangan Gama.
Tembok di samping cermin yang ada di samping Gama berlubang.
Lubang itu hanya sebesar kepalan tangan dan tak begitu besar, tapi ada sesuatu yang membuat mereka terpana.
Gama menyerang tembok itu hanya dengan jari telunjuknya, bukan kepalan tangan.
Gasa dan kedua rekannya...
*oke deh, masak nggak disebutin orangnya dari kemarin.
Gasa, Tulan dan Aso melihat terpana ke arah Gama dan tak terasa bulu kuduk mereka merinding.
Apalagi ketika mereka melihat sesuatu yang aneh terjadi. Gama yang masih tetap dalam posenya menunjuk ke lubang tiba-tiba mengangkat kepalanya dan menangis.
Saat itulah tim Gasa baru mengetahui terror sebenarnya dari kata 'gila'.
Gama tadi terlihat tertawa menyeringai menakutkan, setelah itu marah dan dengan penuh percaya diri mengatakan kalau dia tak takut Koga.
Tapi, setelah dia baru saja membuktikan kalau dia memang mampu bertarung melawan Koga dengan menghancurkan dinding workshop hanya dengan satu jari, kini Gama menangis sedih dan pilu.
Bahkan Gasa dan kedua rekannya benar-benar bisa merasakan kesedihan hati Gama dari suara tangisan si Negro itu.
Kaki Gasa dan kedua rekannya mulai gemetaran tak terkontrol. Aso yang terlemah dari mereka bertiga bahkan mulai merasakan cairan membasahi celananya.
"Kalau si Gila tiba-tiba saja memutuskan untuk menghabisi kita?"
Seakan-akan ketiga orang ini memiliki pikiran yang sama, mereka saling berpandangan dan tanpa menunggu waktu menghilang dari tempat ini.
Gama tak memperhatikan semuanya. Dia masih meratapi nasibnya yang sekarang hanya menjadi sandbag berjalan dengan semua body armor di tubuhnya itu.
Gama terpaku meratapi nasib selama beberapa menit, setelah itu, dia tersadar dan melihat ke arah sekitarnya.
"Kemana mereka?" tanya Gama ke arah Tien.
"Mereka pergi," jawab Tien dengan suara bergetar.
Tien tahu kalau Gama seorang genius, Tien juga tahu kalau Gama sedikit gila. Tak jarang dia melihat Gama tertawa senang saat dia berhasil menyelamatkan seekor semut yang jatuh ke air, atau berteriak marah saat seekor kucing menggigit ikan di mulutnya.
Tapi tak ada yang lebih ekstrim dari apa yang dilihatnya barusan.
Sesuatu yang membuat Tien tersadar, berada di dekat orang gila ini justru lebih berbahaya bagi dirinya dibandingkan masuk ke Hutan. Tien tak akan pernah tahu kapan si Gila ini akan menyerangnya.
Saat itulah Tien memutuskan untuk bergabung dengan Tim Koga.
"Gama, aku... Aku ingin memberitahu sesuatu," kata Tien dengan suara bergetar.
"Hmm?" Gama melihat Tien dengan tatapan datar dan tanpa senyum.
"Aku... Aku merasa kalau aku hanya akan menjadi beban buatmu kalau kamu memutuskan untuk ke Hutan. Jadi aku memutuskan untuk tetap tinggal disini," kata Tien pelan.
Tien bersiap-siap untuk berlari sekuat tenaga dari pintu yang tadi sudah didobrak oleh Gasa seandainya kemarahan Gama meledak seketika.
Tapi, diluar dugaan Tien, Gama tak terlihat marah. Dia melihat ke arah Tien dan berkata dengan nada datar.
"Kamu ingin bergabung dengan Tim Koga?" tanya Gama datar.
"Iya," jawab Tien.
"Kamu tak ingin mengikutiku ke Hutan?" tanya Gama lagi, kali ini senyuman kecil mulai terlihat di bibirnya.
"Iya," jawab Tien dengan tatapan bingung ke arah Gama.
Ketika Tien menjawab pertanyaan Gama barusan, si Bocah Genius itu langsung berteriak dan meloncat-loncat di tempatnya.
Tien yang melihat tingkah Gama, melangkah mundur dengan perlahan.
Keringat dingin mengalir deras di punggung Tien. Air mata di wajah Gama belum lagi kering, tapi kini si Gila itu sudah berteriak kegirangan dan meloncat kesana kemari seolah-olah terbebas dari beban berat yang menghimpitnya selama ini.
Padahal,
Gama sedari kemarin berpikir keras untuk membuat Tien bergabung dengan Team Koga. Sesuai prinsipnya dia tak ingin ada beban di pundaknya saat dia sendiri tak yakin untuk melindungi dirinya sendiri.
Gama tak tahu kalau semua tingkah nyentriknya karena keadaan membuat nama Genius Gila makin melegenda.