Bab.8. Saling Tertarik
Semenjak menginjakkan kakinya di unit apartment Evita, dia seolah tak sanggup untuk memalingkan matanya ke arah lain. Seolah-olah gadis itu telah memikatnya.
Leon ditemani oleh Evita berjalan melihat-lihat isi unit apartment milik gadis itu. Sementara Adri dan Gio duduk menunggu di sofa seperti yang diperintahkan bos muda mereka.
Kondisi unit itu tampak terawat dengan baik, bersih dan rapi. Tak ada barang tercecer. Hingga mereka sampai di kamar tidur Evita. Semua barang Evita memang masih berada di tempatnya karena dia belum sempat packing untuk meninggalkan unit apartment yang telah dibeli oleh Leon.
Mata Leon menangkap bentukan segitiga berenda warna hijau tosca itu di atas tepi ranjang. 'Oohh sial! Benar-benar spoiler ...,' umpat Leon dalam hatinya ketika melihat celana dalam sutera berenda milik Evita.
Evita pun mengikuti arah pandangan mata Leon. 'Ohh Damn! Bagaimana aku bisa ketinggalan satu lembar ketika melipat celana dalamku tadi?!' sesal Evita dengan wajah merona. Dia pun segera berjalan ke tepi ranjang dan mengambil celana dalam itu.
Leon memalingkan wajahnya ke arah lain, dia hampir tak kuasa menahan dirinya untuk merebut celana dalam itu dan menghirup aromanya. Sepertinya dia bukannya sembuh setelah menjalani terapi kejiwaan dengan Dokter Evita, malah justru jadi lebih sinting!
"Apa kamu suka dengan unit apartment ini, Leon?" tanya Evita menghilangkan kecanggungan di antara mereka berdua lalu berjalan mendekati kaca kamarnya yang mengarah ke jalan raya.
Leon mengikuti Evita ke sana sembari bertanya, "Kenapa kamu menjualnya, Eve?"
"Harus ... demi mamaku, dia lebih membutuhkannya dibanding diriku. Kuharap kau suka dengan unit apartment ini. Aku akan pindahan mulai besok, beri aku waktu 2 hari untuk mengosongkan unit ini, Leon," jawab Evita dengan tegar.
Hati Leon tersentuh mendengar jawaban Evita, dia sangat kagum dengan kekuatan dalam kelembutan gadis itu. Namun, sampai kapan Evita bertahan dan menjual segala yang dia miliki satu per satu. Haruskah Leon menunggu segalanya habis dan gadis itu menyerah kepadanya.
Dia lebih dari mampu untuk memberikan uang untuk dana pengobatan mama Evita. Tetapi, gadis itu pasti akan menolaknya. Harga dirinya terlalu tinggi.
"Ambillah waktu seperlumu, Eve. Aku tidak terburu-buru menggunakan unit apartment ini," ucap Leon. Rasanya dia ingin merengkuh tubuh ramping yang terkesan ringkih itu ke dalam dekapannya. Dia pun mendesah putus asa dan memilih untuk menjauh.
Sebelum meninggalkan kamar tidur itu, Leon menoleh ke belakang dan berkata, "Aku tak tahan melihatmu memaksakan dirimu dengan harga diri yang tidak penting itu. Bila sekali saja kau mau meminta tolong padaku ... aku pasti tak akan menolak."
Evita jatuh berlutut dan menangis tanpa dapat dia cegah. Memang sesungguhnya dia sudah mulai lelah setelah sepanjang tahun menguras tabungan dan menjual barang-barang berharganya. Namun, mamanya membutuhkan dana pengobatan yang besar yang seolah tak ada habisnya.
Melihat pertahanan Evita yang seolah runtuh, Leon pun segera mendekatinya dan menggendong gadis itu ke dekapannya lalu menurunkannya di tepi ranjang. Leon berlutut di hadapan Evita sembari menggenggam tangan gadis itu.
"Kenapa menangis? Eve, jadilah milikku, aku pasti tak akan membiarkanmu menangis. Bahuku akan selalu siap untuk meredakan tangismu," ujar Leon dengan yakin menatap mata sehijau zamrud itu.
Evita terdiam, dia bingung dengan situasi yang mendadak ini. Leon ingin dia menjadi kekasihnya. Bagaimana dengan Belvin? Tetapi, belakangan Belvin justru menghindar ketika dia membutuhkan bantuan dan dukungannya.
"Leon, aku tak bisa. Aku sudah bertunangan dan akan menikah sebentar lagi," jawab Evita dengan pelan. Namun, Leon dapat mendengarnya dengan jelas dan merasa terkejut.
'Siapa laki-laki sialan itu?' geramnya dalam hatinya.
"Oohh benarkah?" ujar Leon seraya berdiri memunggungi Evita, "siapa laki-laki beruntung itu, Eve?"
"Namanya Belvin Alexander Young, dia CEO Young Entertainment," jawab Evita tanpa curiga.
Leon mendengkus ketika mendengarnya. Dia tentu saja mengenal siapa Belvin. Laki-laki itu termasuk salah satu pencemooh dirinya ketika masih kecil dulu, mereka pernah satu sekolah dan berkelahi karena Belvin menghina maminya dengan sebutan 'jalang murahan'. Leon mematahkan tulang hidung Belvin saat itu dengan pukulannya dan membuatnya di dropped-out dari sekolah hari itu juga.
Kini takdir membuat mereka harus bertemu kembali setelah belasan tahun berlalu karena menyukai gadis yang sama. Dia tambah tergoda untuk mendapatkan Evita.
Ketika membayangkan wajah menyebalkan Belvin bila dia kehilangan Evita, rasanya dia sangat puas. Dia harus mewujudkannya. Ibarat sekali tepuk dua lalat mati.
"Eve, kalau begitu kenapa Belvin membiarkanmu menanggung segala kesulitan ini sendirian?" tanya Leon mencoba membawa logika ke nalar Evita. Pria yang akan dinikahi Evita itu brengsek yang egois.
Evita merasa bimbang, yang dikatakan Leon itu memang benar. Namun, Belvin beralasan dia tidak bisa menggunakan uang perusahaan sembarangan. Hatinya pun galau.
"Belvin mungkin tidak sekaya kamu, Leon. Perusahaannya masih membutuhkan banyak modal, jadi dia tidak bisa menghamburkan uangnya untuk membiayai pengobatan mamaku. Lagipula kami belum menikah, Leon," bela Evita.
'Hmm masih membela tunanganmu, Eve?' batin Leon dengan kesal.
"Ohhh ... begitu! Padahal aku tidak keberatan bila harus membayar biaya pengobatan mamamu. Sudahlah, Eve. Jangan menolak kebaikanku. Kau tetaplah tinggal di sini, meskipun sertifikat hak milik unit ini akan kuambil." Leon berjalan ke pintu keluar kamar tidur Evita.
Gadis itu berlari mengejarnya dan memeluk Leon dari belakang.
"Kenapa kau begitu baik padaku, Leon?" ucapnya lirih.
"Karena aku menginginkanmu, Eve. Aku belum bisa mengatakan perasaan yang lebih dalam seperti cinta. Aku tak pernah mencintai wanita selain mamiku. Mungkin hipnoterapimu pagi ini pun mengetahui tentang hal itu, bukan?" jawab Leon dengan tenang, tangannya membelai lengan Evita yang melingkari pinggangnya dari belakang. Begitu lembut kulit seputih porselen itu.
"Trauma masa kecilmu itu membuat hatimu tertutup. Kau harus berdamai dengan dirimu sendiri. Suatu hari nanti pasti akan ada seseorang yang dapat mengisi hatimu yang kosong itu," ujar Evita masih memeluk punggung Leon yang lebar.
Leon membalik badannya menghadap Evita dan memegang kedua lengannya. Tinggi badan mereka berbeda sekitar 30 cm, dia pun menunduk menatap mata hijau zamrud Evita yang mendongak ke arah wajahnya.
"Bagaimana kalau kau mencoba mengisi ruang hatiku yang kosong itu, Eve?" ucap Leon.
"Tapi ... a--aku," ucap Evita terbata-bata dan menggantung.
"Tidak ada kata 'tapi', aku tidak suka hubungan tanpa status. Lebih baik iya atau tidak sama sekali, Eve," tegas Leon.
Satu sisi hati Evita seperti tersentuh oleh kekeraskepalaan Leon. Pasiennya itu begitu membuatnya bingung sejak awal mereka bertemu, mengejarnya hingga dia terpojok dan tidak dapat mengelak.
"Mungkin aku butuh waktu ... kau tidak bisa memaksaku, Leon. Nuraniku akan menghakimiku bila aku mengkhianati tunanganku," balas Evita.
Leon mendesis dengan kesal. Rupanya Evita memilih memberikannya sebuah kesulitan untuk mendapatkannya. Dia akan mundur dan memikirkan caranya lagi nanti. 'Tunggu saja!' batin Leon sembari menatap lekat wajah gadis itu.