Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 5 Kehangatan di Malam Hari

Setelah api menyala, Valdi menarik tangannya perlahan, namun posisi mereka masih sangat dekat.

“Nah, begitu caranya. Mudah kan?” tanya Valdi, suaranya terdengar lebih pelan dan dalam.

“Iya, Om. Ternyata gampang,” jawab Mayang, suaranya terdengar sedikit goyah karena posisi intim mereka. Dia bisa merasakan napas Valdi di lehernya, membuat jantungnya berdebar lebih cepat dari biasanya.

Valdi merasa bahwa situasi ini semakin intens. Napasnya berat, dan dia harus menahan diri untuk tidak melakukan sesuatu yang lebih. Namun, perasaan yang muncul dari sentuhan tadi masih terus menghantui, membuat pikirannya dipenuhi oleh bayangan-bayangan yang tidak seharusnya ada.

“Baguslah kalau kamu sudah paham,” kata Valdi akhirnya, berusaha mengakhiri momen itu sebelum situasi menjadi lebih canggung. Dia melangkah mundur, memberikan ruang bagi Mayang untuk bergerak lebih bebas.

Setelah situasi di dapur yang baru saja terjadi, Valdi merasa perlu melakukan sesuatu untuk mengalihkan pikirannya dari ketegangan yang masih tersisa. Namun, saat dia melangkah keluar dari dapur, dia teringat bahwa salah satu lampu di dapur itu mati dan harus segera diganti.

“Mayang, Om baru ingat kalau lampu dapur ini mati. Om mau ganti sekarang,” katanya, berusaha terdengar biasa saja meski hatinya masih sedikit berdebar. “Om ambil kursi tinggi dulu, kamu bisa bantu pegangin kursinya nanti?”

Mayang mengangguk cepat, senang bisa membantu Valdi. “Iya, Om. Aku bantu pegangin,” jawabnya dengan semangat yang kembali muncul setelah situasi canggung tadi.

Valdi mengambil kursi tinggi dari ruang penyimpanan dan kembali ke dapur. Dia menempatkan kursi itu di bawah lampu yang harus diganti, lalu meletakkan bohlam baru di dekatnya. Mayang berdiri di samping kursi, siap memegangnya agar stabil saat Valdi naik.

“Pegang yang kuat ya, Mayang,” kata Valdi sambil menaiki kursi, mencoba untuk fokus pada tugasnya dan tidak memikirkan hal-hal lain yang tak seharusnya.

Mayang memegang kursi itu dengan erat, memastikan tidak goyang saat Valdi naik. Namun, ketika Valdi berdiri di atas kursi, tubuhnya yang tinggi dan posisi yang lebih tinggi membuat Mayang secara otomatis mendongak. Saat itulah pandangannya tertuju pada tonjolan di celana Valdi, sesuatu yang tak bisa dia hindari. Pandangan itu membuat darah Mayang berdesir, dan wajahnya tiba-tiba memanas.

Mayang berusaha mengalihkan pandangannya, tapi bayangan itu terus membayang di pikirannya. Perasaan aneh yang mulai muncul sejak tadi kembali menyerang, kali ini lebih kuat. Sementara Valdi sibuk mengganti bohlam, Mayang mencoba keras untuk tidak memikirkan apa yang baru saja dilihatnya, namun rasa penasaran dan ketidaknyamanan itu membuat jantungnya berdebar semakin cepat.

Setelah beberapa saat, Valdi berhasil mengganti bohlam dan lampu pun menyala terang kembali. Dia menghela napas lega dan mulai turun dari kursi dengan hati-hati.

“Oke, selesai. Terima kasih sudah bantu pegangin, Mayang,” katanya sambil melompat turun.

Mayang tersenyum canggung, berusaha menyembunyikan perasaan yang masih bergejolak dalam dirinya.

“Sama-sama, Om,” jawabnya, matanya sedikit menghindari pandangan langsung Valdi.

Valdi, yang kini kembali berdiri di lantai, menangkap sekilas wajah Mayang yang tampak sedikit merah dan canggung. Namun, dia memutuskan untuk tidak menanyakan apa-apa, mengira mungkin itu hanya efek dari keintiman yang tadi terjadi.

“Kamu mau mulai masak sekarang?” tanyanya, mencoba mengalihkan topik.

Mayang mengangguk, meskipun pikirannya masih belum sepenuhnya tenang.

“Iya, Om. Aku mulai sekarang aja, biar nanti kita bisa makan siang bareng,” katanya sambil berjalan ke meja dapur dan mulai menyiapkan bahan-bahan.

Valdi menatap Mayang sejenak sebelum akhirnya memutuskan untuk meninggalkan dapur dan memberikan gadis itu ruang untuk bekerja.

“Oke, kalau gitu Om tinggal dulu ya. Om balik ke ruang kerja, ada yang perlu Om selesaikan,” ujarnya sambil berjalan keluar dari dapur.

Mayang terus memotong sayuran dengan tangan yang sedikit gemetar, mencoba mengalihkan pikirannya ke tugas di depannya. Namun, semakin dia mencoba untuk fokus, bayangan tonjolan di celana Valdi yang tak sengaja dilihatnya tadi terus mengganggu pikirannya. Setiap kali dia berkedip, gambar itu kembali muncul, seperti sebuah kilasan yang terus mengusik.

"Apa tadi itu...?" pikirnya, tak bisa menahan rasa penasaran yang mulai membesar. Dia mencoba mengusir pikiran itu, tapi otaknya terus-menerus kembali ke momen tersebut.

"Kenapa aku jadi mikirin hal kayak gitu...? Nggak mungkin... nggak mungkin, kan?" Dia menggigit bibir bawahnya, merasa malu pada dirinya sendiri, tapi sensasi aneh yang muncul dalam tubuhnya justru makin kuat.

"Aku cuma… salah lihat," dia mencoba meyakinkan dirinya sendiri, tapi pikirannya menolak untuk mendengarkan. "Tapi… kalau memang benar… apa maksudnya?"

Mayang menggeleng pelan, berusaha menyingkirkan bayangan itu lagi, tapi hatinya berdebar lebih kencang. Ada bagian dari dirinya yang ingin tahu lebih banyak, yang ingin memahami apa yang sebenarnya terjadi dan mengapa dia merasa seperti ini.

"Apa yang dirasain Om Valdi tadi? Apa dia juga ngerasain sesuatu yang sama kayak aku?" pikirnya lagi, kali ini sedikit lebih lama, matanya melirik ke arah pintu dapur seolah berharap Valdi kembali.

Perasaan penasaran dan gelisah itu semakin menguasainya, dan dia tahu, meskipun dia tidak menginginkannya, pikirannya tidak akan berhenti memutar pertanyaan-pertanyaan itu sampai dia mendapatkan jawabannya. "Kenapa aku jadi penasaran begini...? Ini aneh… tapi kenapa rasanya aku pengen tahu… lebih?"

Jantungnya berdegup semakin cepat, dan meskipun tangannya tetap memotong sayuran, pikirannya sudah jauh dari dapur itu, terperangkap dalam bayangan dan pertanyaan yang terus berputar tanpa henti.

*****

Malam itu, setelah makan, Valdi duduk di meja makan dengan wajah puas. Masakan Mayang benar-benar enak, lebih dari yang dia harapkan. Valdi tersenyum hangat sambil menatap gadis muda itu, merasa ada sesuatu yang menyenangkan melihat Mayang begitu antusias dalam menyiapkan makanan.

“Masakan kamu enak sekali, Mayang. Jarang sekali Om bisa makan seenak ini,” katanya, suaranya terdengar tulus.

Mayang tersipu malu, pipinya merona merah, merasa senang mendapat pujian.

“Terima kasih, Om… Saya senang kalau Om suka,” jawabnya pelan, matanya sesekali melirik ke arah Valdi, tetapi segera dialihkan lagi.

Valdi mengangguk dengan ekspresi lembut, lalu mengulurkan tangannya untuk menyentuh punggung tangan Mayang, sebuah sentuhan yang lembut namun penuh makna.

“Jujur, sudah lama Om nggak pernah merasa rumah ini jadi lebih hangat. Kamu… bikin suasana jadi beda. Mayang,” ucapnya sambil menatap Mayang dalam-dalam.

Mayang menahan napas sejenak, merasakan kehangatan merambat dari tangan Valdi yang menyentuhnya.

“Makasih, Om…” jawabnya dengan suara bergetar, merasa ada sesuatu yang aneh tapi menyenangkan dalam dadanya.

Setelah makan, dan Mayang selesai membereskan semuanya, Valdi naik ke kamarnya sendiri. Sesampainya di kamar, Valdi menatap bayangannya di cermin. Dia mengeluarkan botol kecil dari laci samping tempat tidur — botol pheromone yang telah lama disimpannya untuk momen-momen seperti ini. Dengan hati-hati, ia menyemprotkan beberapa kali di titik-titik tertentu pada tubuhnya: di pergelangan tangan, di leher, dan sedikit di belakang telinga. Aroma khas yang samar tapi memikat segera tercium, dan dia merasa siap untuk melanjutkan rencananya.

Di bawah, Mayang baru saja selesai dengan semua pekerjaannya. Saat melihat jam, waktu masih menunjukkan pukul 8 malam. Dia berpikir untuk segera beristirahat di kamarnya, namun tiba-tiba Valdi muncul di ambang pintu dapur, tersenyum.

“Mayang, masih pagi. Mau nggak nonton TV sama Om?” ajak Valdi, suaranya terdengar santai namun tegas.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel