Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 5. Kejamnya Tante Dewi

Pernah sekali waktu saat Om Ramlan mengunjunginya di kos, kebetulan saat itu ia tengah beristirahat di ranjangnya setelah pulang sekolah dan makan siang, Ryan sengaja berdiam diri seolah-olah ia tak sedang berada di kos, Ryan tak mau jika keseringan Om Ramlan mengunjunginya dan bersekukuh memberinya uang akan di ketahui oleh Tante Dewi, akibatnya nanti dia sendiri yang bakal kena imbasnya diomelin bahkan dihina seperti saat ia masih tinggal di rumah Tantenya dulu, saat itu Tante Dewi mengetahui ketika Om Ramlan memberinya uang untuk jajan ke sekolah, ketika pulang dari sekolah ia dipanggil oleh pembantu rumah itu untuk menghadap Tante Dewi.

“Mas Ryan!”

“Ya Bi, sebentar aku lagi ganti pakaian!” seru Ryan dari dalam kamarnya menjawab panggilan Bi Surti di depan pintu kamar.

“Ada apa, Bi?” sambung Ryan setelah membuka pintu kamar bertanya pada Bi Surti.

“Mas Ryan diminta menemui Bu Dewi di luar di samping kanan rumah.” jawab Bi Surti.

“Baik Bi, sekarang juga aku akan ke sana menemui Tante Dewi.” Ryan pun segera menuju samping rumah yang dikatakan Bi Surti itu, dan di sana ia melihat Tante Dewi tengah berdiri berkacak pinggang sambil melihat ke arah selokan yang berada di sisi kanan di seberang pagar rumah mewah itu.

“Ada apa, Tante?” sapa Ryan saat ia telah berdiri di samping istri Omnya itu.

“Enak sekali ya, jadi kamu! Pergi sekolah di kasih uang jajan! Pulang sekolah makan, lalu tidur-tiduran di kamar!” seru Tante Dewi dengan nada ketus, Ryan hanya tundukan kepala mendengar perkataan Tantenya itu.

“Hidup di kota ini nggak ada yang gratis! Semua orang harus bekerja keras agar bisa mendapatkan uang untuk makan! Nah, karena kamu udah diberi uang jajan tadi pagi oleh Om Ramlan sekarang harus kamu bayar dengan membersihkan selokan di sepanjang perkarangan rumah ini!” tutur Tante Dewi dengan sorot mata yang tajam penuh kebencian.

“Baik Tante, sekarang juga aku akan bersihkan selokan ini.” ujar Ryan menunjuk selokan yang dimaksud Tante Dewi itu, kemudian Ryan mencari peralatan seperti cangkul yang terdapat di gudang di belakang rumah mewah itu.

“Dasar tak tahu diri! Enak saja tinggal di rumah ini secara gratis! Di kasih jajan lagi!” gerutu Tante Dewi sambil melangkah masuk ke dalam rumah, hal itu terdengar jelas oleh Ryan karena Tante Dewi mengucapkan gerutuannya dengan lantang.

Sebenarnya tanpa di suruh pun Ryan akan melakukan pekerjaan apa saja di rumah itu, namun setiap kali ia melakukan pekerjaan seperti halnya membersihkan rumah membantu Bi Surti, selalu saja salah dimata Tantenya itu, agaknya memang Tante Dewi tidak menginginkan kehadiran Ryan di rumah mewah miliknya, hingga Ryan memutuskan untuk mencari tempat kos.

*****

Hampir jam 4 sore Ryan bangun dari ranjangnya, itu berarti selama 2 jam sudah ia tertidur pulas dengan hanya mengenakan pakaian dalam setelah seragam sekolahnya dilepas. Rupanya pergumulan panas yang terjadi di gudang bekas perpustakaan sekolah tadi dengan Bu Dola, membuat badannya pegal-pegal dan kelelahan.

Dengan hanya berlilitkan handuk di pinggang, Ryan menuju kamar mandi di bagian belakang ruangan 3 x 3 meter itu, setelah menimba air dari sumur galian, ember yang sudah penuh dengan air itu pun ia gunakan untuk mandi.

Pintu kosnya yang tadi tertutup kini dibukanya setelah mandi dan berganti pakaian, ia baru menyadari jika sejak pagi perutnya belum di isi sama sekali, dengan segera ia membuka termos tempat biasa ia menyimpan nasi setelah di masak dengan periuk menggunakan kompor minyak sebelum ia berangkat ke sekolah tadi pagi.

Umumnya pada masa itu, orang-orang masih menggunakan kompor minyak untuk memasak segala keperluan, mulai dari nasi, sambal, sayur dan bahkan memanaskan air untuk minum kopi atau pun teh. Belum ada dijumpai oleh Ryan saat itu kompor gas, magig com, atau pula dispenser, semuanya masih menggunakan termos untuk menyimpan nasi serta air panas.

Sebenarnya tempat kos-kosan yang terdiri dari 8 petak rumah itu hanya disewakan pada penghuni yang telah berumah tangga, sementara ruangan yang dihuni Ryan saat ini dulunya di gunakan sebagai gudang oleh pemilik kos-kosan itu dan bukan untuk disewakan karena memang ukuran ruangannya kecil hanya 3 x 3 meter, sementara 8 petak rumah yang disewakan berukuran masing-masing 5 x 8 meter dilengkapi 1 buah kamar.

Dari ke 8 penghuni kos-kosan itu Ryan hanya terlihat akrab dengan Sugeng dan keluarganya, sementara penghuni yang lain agak cuek seperti tidak begitu peduli dengan tetangga-tetangga mereka. Padahal kehidupan keluarga mereka masih tergolong berekonomi menegah ke bawah, sebab kepala rumah tangga di 7 petak rumah itu umumnya buruh pabrik di Kota P itu.

Seperti biasanya sore itu Ryan dan Sugeng tampak asyik ngobrol sambil membantu tetangganya itu menusuk-nusuk daging sate untuk dijual dengan gerobak dorong berkeliling di area komplek perumahan warga sekitar, bahkan terkadang sampai ke jantung kota. Hal itu selalu rutin Sugeng lakukan setiap selepas magrib hingga larut malam.

Mungkin saja keakraban itu terjalin erat karena posisi tempat kos mereka yang berdampingan, namun jika dilihat dari sikap dan tata cara pergaulan tetangganya yang lain, jelas bukan dikarenakan tempat mereka yang berjarak, melainkan memang sifat mereka yang suka acuh tak acuh pada tetangga, begitulah kehidupan di perkotaan pada masa itu.

“Gimana dengan sekolah mu, Ryan?” tanya Sugeng mengawali pembicaraan di beranda depan kos-kosannya.

“Lancar-lancar saja, Mas sendiri bagaimana dengan dagangannya?” Ryan balik bertanya, sambil membantu menusuk daging sate yang ditaruh di dalam sebuah ember.

“Alhamdulilah, hingga hari kemarin aku selalu pulang dengan gerobak kosong dan moga nanti malam sate-sate ini juga habis terjual.” jawab Sugeng.

“Amin.” ucap Ryan diiringi senyumnya....

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel