Pantas saja
"Ma, dia itu siapa? Kenapa semenjak Papa pergi, Mama menjadi seperti ini!?" teriaknya lantang pada sang Mama ...
PLAK ...!
"Auugh ..."
"Jaga ucapan mu, Mel! Mama begini karena persaingan bisnis!"
"Apa? Persaingan bisnis sampai ke ranjang? Sehingga mengorbankan perasaan aku? Mama egois! Egois!!!"
'Bagaimana caranya aku harus membalaskan sakit hati ku, dan kembali ke pelukan Mama? Jujur aku lelah dengan semua ini. Harus berpura-pura menjadi wanita sampah, dan mengganggu kedua laki-laki itu ...' Pikirannya di alam bawah sadar hingga masuk ke dalam mimpi.
Di kamar yang luas, dan nyaman juga sejuk dengan fasilitas hotel bintang lima, terbaring janda kembang yang masih terbalut selimut dengan kaki mengangkang lebar dan mulut ternganga. Dengkuran halus terdengar, menandakan bahwa Rina sedang kelelahan dalam berpikir.
Rina menggeliat bak ular sanca, sudah tiga hari dia memanjakan diri merawat tubuhnya, dari uang pemberian Ibhen.
Tangan hangat seorang pria tengah mengusap lembut ujung kaki Rina yang putih mulus, terbuka sedikit dari balutan selimut tebal menutupi sebagian tubuhnya.
"Hmhh ..."
Rina membuka matanya sedikit, tak menyangka kalau kecupan-kecupan kecil sudah sampai ke bagian yang sangat tersembunyi di bawah sana.
"Banghh ...!"
Rina menepis tangan pria yang sudah tidak sabar ingin menyentuh bagian kenyal tanpa penyangga itu.
Ibhen mendongakkan kepalanya, tersenyum bahagia melihat janda muda nan cantik rupawan tersebut, ada di hadapannya tanpa sehelai benangpun.
Tentu ini menjadi kesempatan bagi Ibhen, untuk mendapatkan sarapan pagi yang sangat menggairahkan.
"Kamu sudah janji sayang ..." ucapnya lembut.
Rina tersenyum tipis, "Aku belum mandi Bang, tunggu sebentar yah?"
Rina mengambil kimono di nakas sebelah ranjang kingsize kamar mewah itu, bergegas membersihkan diri, untuk memberikan kebahagiaan pada pria yang sudah tidak mampu membendung hasratnya.
Setelah lebih dari dua jam, dua insan yang tidak pernah kenal lelah itu saling mendessah hebat, di dalam kamar yang hanya di terangi lampu kecil yang ada di nakas, lagi-lagi Ibhen menghentakkan pinggulnya untuk mencapai puncak kebahagiaan nya, dengan mellumat bibir ranum sang janda.
"Ahh ..."
Kaki jenjangnya menjepit kuat saat mencapai pelepasan surga secara bersamaan.
"Oohh sayang ..." Pria mapan itu mengeerang ...
Ibhen merebahkan tubuhnya yang sudah basah, dengan keringat bercucuran di tubuh kekarnya.
Walau usia sudah mendekati kepala lima, namun kecintaan nya terhadap Rina, sungguh tak mampu dia lupakan.
Rina yang selalu menghindar saat ada Thamrin kala itu, menjadi satu tamparan keras bagi pria mapan tersebut, karena harus mengalah dan berfikir bagaimana caranya merebut janda muda yang sangat mempesona itu.
Rina memeluk tubuh kekar Ibhen, mengusap lembut dada pria yang telah memberikan kebahagiaan yang sulit di ungkapkan dengan kata-kata ...
"Bang ..."
"Hmm ..."
"Beliin aku rumah dong! Jangan yang besar, kecil saja. Aku takut kalau istri Abang tiba-tiba nongol dan menghina aku seperti istri Bang Tham ..." rengeknya manja.
Ibhen mengusap lembut punggung telanjang janda muda itu, "Kalau kamu mau, tinggal di sini saja. Apartemen ini milik Abang yang tidak di ketahui Kakak. Kamu bebas melakukan apa saja. Di basemen, ada city car yang bisa kamu gunakan. Ingat, jangan pernah kecewakan Abang. Abang akan selalu datang jika membutuhkan kamu. Tapi jangan pernah menghubungi jika sudah malam. Kamu mau Abang transfer berapa hari ini sayang?"
Mendengar penuturan Ibhen membuat Rina serasa terbang melayang-layang menembus awan. Bagaimana mungkin, pria yang dia hindari beberapa waktu lalu, akan memfasilitasi nya selayaknya Tuan Putri.
'Ahh ... Ternyata Bang Ibhen sangat baik, dari pada Bang Tham. Dia benar-benar pria idaman. Pasti istrinya tidak akan mengetahui kelakuan suami sebejat ini di luar rumah ...' tawanya menyeringai kecil di bibir seksi yang mampu membuat pria tergila-gila jika sudah mencicipinya.
Rina menelentang kan tubuhnya, menatap langit-langit kamar yang berwarna cream. Tersenyum sumringah membayangkan kehancuran pria yang telah merusak keharmonisan keluarganya beberapa tahun silam.
Perlahan Rina beranjak dari ranjang, untuk melakukan ritualnya membersihkan diri dari sisa pertempuran hangatnya.
Beberapa kali iya terlihat bodoh oleh para pria yang hanya ingin menjadikan nya pelampiasan sesaat, walau sesungguhnya Rina juga sangat menikmati permainan mereka.
'Mereka bisa menikmati permainan ranjang ku ... Tapi tidak untuk hati ku ..."
Rina mengenakan hotpants hitam, dengan balutan tangtop hitam tanpa penyangga.
Balkon apartemen yang terbuka lebar, sangat menyejukkan kulit halus janda muda tersebut. Ibhen masih terlelap dalam mimpinya, setelah mendapatkan servis yang cukup dari wanitanya.
"Hei ..." terdengar suara bariton seorang pria dari balik tembok yang sangat mengejutkan Rina.
Rina celingak-celinguk mencari keberadaan suara itu, yang cukup aneh di telinganya.
'Sejak kapan ada pria yang memperhatikan ku ...? Apakah dia salah satu penggemar ku ...?'
Rina sedikit mendongakkan kepalanya kearah kanan, melihat wajah pria yang kaku dan dingin berdiri menghadapnya.
"Kamu ...?"
Tembok pembatas yang hanya sebatas leher pria tampan itu, memudahkan baginya untuk mengetahui gerak-gerik wanita cantik tersebut.
"Hmm, kenapa? Apakah kekasih mu sedang tertidur? Dasar perempuan murahan ...!" ucapnya pelan.
Rina membelalakkan kedua bola matanya, menantang mata pria muda tersebut, setelah mendengar kata-kata pria yang menghina nya.
"Apa maksud mu? Apakah kita saling mengenal? Maaf yah, anak muda! Setidaknya aku lebih berkelas dari pada menjadi pelacur di luaran sana! Jangan sok tahu kehidupan pribadi ku! Karena aku tidak mengenal mu sama sekali! Orang aneh, datang-datang ngatain aku murahan! Dia yang datang pada ku!" tegasnya membela diri.
Pria muda itu mendekati tembok pembatas mereka, menaiki sebuah kursi agar dapat menyesiasati situasi yang ada di dalam apartemen tetangga nya itu.
"Mau apa kamu?" teriak Rina saat melihat tubuh pria itu sudah semakin jelas memandangi nya.
Pria itu tersenyum tipis, menatap wanita cantik yang sangat menggairahkan, "Pantas saja ..."
Rina menaikkan kedua alisnya, "Iigh, orang aneh. Pantas apa? Pantas jadi simpanan? Gitu?" bentaknya lagi.
Pria itu menghela nafas berat, memilih turun dari pijakannya. Dia enggan melawan wanita yang ada di hadapannya saat ini. Karena dia tengah memikirkan, bagaimana caranya menjauhi sang Papa dari wanita yang benar-benar sempurna di bandingkan Mama-nya yang terlihat lebih biasa saja.
'Pantas saja Papa betah bersamanya! Ternyata dia sangat cantik dan mampu menaikkan hasrat kelaki-lakian ku selaku duda yang sudah lama tidak menyentuh wanita ...'
Sementara Rina masih terdiam membisu. Wajahnya merah padam, karena di katakan murahan oleh pria yang tidak dia kenal.
"Laki-laki brengsek ...! Mau? Bilang ... Suka banget gangguin kebahagiaan orang lain, dia pikir aku mau menikahi pria tua bangka itu. Aku yang menikmati hidup, kok dia sesak nafas! Emang aku minta sama Bapaknya ...!" sesalnya.