Nasib yang enggan berpihak
"Banghh, lebih dalamhh ...!"
"Oooogh yes, sayanghh ..."
Suara dessahan lagi-lagi terdengar sangat jelas di ruang kerja atasannya yang tengah stress, setelah mengadakan rapat secara virtual.
Janda bertubuh sintal itu tengah berada di atas meja, dengan kaki jenjangnya terbuka lebar, menikmati hantaman dari seorang pria mapan yang tengah memompa di bawah sana, seolah-olah tidak peduli dengan suara rintihan wanitanya yang meringis perih, karena sudah lebih dari 30 menit mendapatkan hantaman yang tidak kunjung usai.
Kedua kakinya menjepit kuat, saat mencapai pelepasan, membuat Thamrin sang atasan merasa sangat terpuaskan, setelah melepaskan hasratnya.
"Rapikan pakaian mu!" perintahnya pada secretaris perusahaan yang sangat cantik itu ...
Akan tetapi, mereka tidak menyadari bahwa istri Thamrin tengah menyaksikan kejadian yang menjijikan itu, sejak suaminya mendessah hebat dan mellumat puas daerah kenyal yang tampak padat besar menantang.
"Dasar janda jallang! Keluar kau!" teriak Maria saat melihat mereka sudah merapikan pakaian dan rambut yang berantakan.
Rina yang melihat kehadiran Maria, berlindung dibalik punggung Thamrin, sedikit bergidik ngeri, takut akan di jambak oleh istri sah pimpinannya.
"Ma--!"
"Apa! Masih kau bela janda gatal ini. Pa! Ini yang kau bilang mau pulang lebih awal? Aku tidak mau melihat wanita ini ada di kantor mu lagi! Pergi kau, jallang!!!" pekiknya terdengar lantang.
Rina yang mendengar teriakan Maria terbirit-birit keluar akan lari meninggalkan ruangan, dengan melewati pintu belakang ruangan, yang masih terkunci rapat.
"Aaagh, shiiit!"
Rina terus mencari kunci untuk membuka pintu itu dengan gerakan cepat, agar terhindar dari serangan Maria yang sudah mengejarnya namun di hadang oleh Thamrin.
"Cepat sayang! Keluar!" teriaknya melindungi Rina.
Maria semakin menggila, berusaha melepaskan diri dari pelukan suaminya, karena telah melindungi janda yang telah berani-beraninya menggoda suami tercinta.
"Berhenti kau, jallang! Aku akan meremas dada mu yang menjijikan itu. Aku akan melipat bahkan memutilasi mu," teriaknya lebih kencang.
"Rin! Cepat sayang, lari! Nanti malam Abang transfer uang buat kamu!" teriak Thamrin dapat di dengar oleh Maria sang istri sah.
Bergegas Rina membuka kunci pintu ruangan tersebut, setelah mendengar teriakkan Thamrin yang akan memberikan nya cukup uang.
Rina Amelia, janda muda yang sangat cantik jelita, berusia 30 tahun, memiliki tubuh profesional bak seorang model kelas atas. Body yang adu hai, membuat Thamrin tak kuasa menahan hasratnya.
Dia berlari kencang, menuruni anak tangga, setelah mengambil tas miliknya yang berada diatas meja kerjanya.
"Brengsek! Kenapa pula nenek lampir itu tiba di ruangan Bang Tham. Emang enggak ada kerjaan apa dia dirumah, padahal dia bisa mencuci, atau ngapain kek. Dasar istri tidak berguna ..."
Rina menghentikan taksi, untuk membawanya kembali ke rumah agar segera beristirahat, setelah melayani sang pimpinan yang baik selama ini.
"Bagaimana ini? Jika aku tidak bekerja lagi dengan Bang Tham, aku mesti kemana? Sementara selama ini aku selalu menjadi secretaris yang baik dan patuh. Aaaagh, hidup terkadang tidak adil!" geramnya berceloteh sepanjang jalan.
Taksi berhenti di sebuah rumah besar, yang menjadi tempat tinggal Rina selama ini. Namun, saat dia telah membayar sejumlah uang dengan sopir taksi, seorang wanita gendut telah menunggu kehadiran nya.
"Hmm! Banyak uang kamu naik taksi? Mana uang kos? Bayar cepat!" tegas Bu Inggit menatap lekat wajah Rina.
Rina hanya bisa menunduk patuh, dia merogoh dompetnya, namun uang yang dia beri pada sopir taksi barusan merupakan uang terakhir nya.
Rina menelan ludahnya sendiri, wajahnya memerah takut, karena akan diusir oleh Bu Inggit dari tempat dia tinggal tersebut.
"Maaf Bu, tadi hmm. Uangnya masih di kantor. Aku belum gajian!" tunduknya.
Bu Inggit menyunggingkan senyumnya, melihat penampilan Rina yang sedikit berantakan dari biasanya.
"Kau jual saja diri sendiri! Biar dapat duit! Sekarang, cepat kemasi barang-barang mu! Keluar dari kosan ku! Masih banyak orang yang mau tinggal di sini! Tahu kau!" tegasnya.
Rina memohon, "Tolong Bu. Jangan usir aku! Aku bingung mau cari tempat tinggal dimana? Sementara aku sendiri di kota ini. Please Bu, please ..."
Inggit berkacak pinggang, menarik tas Rina dengan kasar. Merasa tidak percaya bahwa janda cantik itu tidak memiliki uang.
"Kau pikir aku panti asuhan! Atau panti sosial, yang mudah sekali minta maaf tanpa membayar uang kos. Emang kau pikir nenek moyang mu yang memiliki kosan ini! Cepat bawa barang-barang kau!"
PRAAAAK ...!
Bu Inggit melempar tas Rina ke tanah, tanpa ada perasaan kasihan sedikit pun, tanpa menyadari banyak mata yang melihat kejadian itu.
Rina menangis, dia tak mampu berbuat apa saat ini. Di hina seperti tadi, bahkan diusir dari tempat kosnya.
"Bu, tolong. Sekali ini aku bayarnya malam. Tolong Bu, aku enggak tahu mau tinggal di mana!" isaknya.
Inggit hanya mendengus dingin, "Aku tidak peduli. Aku tunggu dua jam dari sekarang. Jika tidak, aku yang akan melakukannya sendiri!"
Rina terdiam, wajahnya kembali menegang. Perasaan takut menyeruak dalam hati nya.
"Kemana aku akan pergi? Sementara uang belum di transfer Bang Tham. Aku sudah di usir begini. Kemana aku mau pergi ..."
Rina membuka pintu kamar kosnya. Melihat kamar kecil yang hanya berukuran tiga kali empat dengan deraian air mata. Dia harus meninggalkan kamar yang selama dua tahun dia tempati hanya sekali terlambat bayar.
"Inikan karena aku ketahuan sama nenek lampir itu! Kalau enggak, aku tidak akan menjadi seperti ini. Kemana aku harus pergi ...?"
Rina bergegas menuju kamar mandi untuk membersihkan diri, kemudian mengemasi semua barang-barangnya, sebelum Bu Inggit kembali mencaci-maki nya.
"Uuuugh lihat saja yah, Bu! Kalau aku bertemu dengan pria kaya dan mau menerima aku apa adanya, aku akan membeli kosan ini. Lumayan buat membalas sakit hati ku pada mu! Enak saja kau suruh aku jual diri! Aku ini secretaris pribadi Bang Tham. Kau tahu siapa dia? Dia adalah seorang yang memiliki perusahaan pembangunan apartemen! Kau akan menyesal telah mengusir aku ...!" celotehnya selama membereskan semua barang-barang nya.
Tak selang berapa lama Rina tengah berkemas-kemas, sebuah pesan masuk melalui whatsApp.
Bergegas Rina membuka pesan tersebut, "Bang Tham ..."
["Maaf Rin, Abang tidak bisa transfer sekarang. Karena semua akses perbankan di sita Maria ..."]
Rina terdiam. Dadanya bergemuruh bahkan terasa sangat sesak. Air matanya kembali mengalir membasahi pipi mulusnya, "Bagaimana ini? Kemana aku harus pergi ...!?"
Dia menyandarkan tubuhnya di dinding kamar, menangis sejadi-jadinya, meratapi nasib yang enggan berpihak padanya.
"Bang Tham brengsek! Laki-laki penipu. Kalau sebelum dapat enaknya baik-baik. Sekali dapat, lupa sama aku. Akan aku balas kau, Bang Tham! Kapan kau tidak butuh aku? Aku akan menuntut kau suatu hari nanti ...!"