Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

BAB 8

HAPPY READING

****

Pulang kerja Arya memilih menuju rumah orang tuanya di Mega Kuningan. Karena kedua orang tuanya meminta klarifikasi prihal pernikahannya yang diadakan Minggu ini. Dan adiknya Jelita juga katanya baru tiba di rumah. Arya tahu betul jadwal orang tuanya seperti apa, hingga ia tidak perlu menelepon untuk memberitahu kedatangannya.

Jujur ini merupakan hal yang paling tidak masuk akal sepanjang hidupnya, menikah mendadak dengan wanita yang sama sekali tidak ia cinta. Namun mereka kemarin sudah having good time ngobrolin tentang keluarga dan phobia, detik selanjutnya ngobrolin tentang rencana bertemu dengan keluarga Moira.

Arya masuk ke dalam rumahnya, ia sudah menduga sang mama sedang menum teh di teras bersama papa. Ketika Arya sampai, beliau tidak terkejut melihat dirinya datang. Arya lalu duduk di kursi di dekat papanya.

“Sore, ma, pa,” ucap Arya memandang kedua orang tuanya.

“Sore juga Arya,” ucap mama meletakan cangkir di meja memandang putra pertamanya.

“Baru pulang?”

“Iya.”

Mama menarik napas, ia tahu kedatangan Arya ke sini karena ingin mendengar langsung klarfikasi pernikaan Arya yang terkesan menndadak,

“Bagaimana bisa kamu menikah secepat ini tanpa memberitahu mama dan papa, Arya?”

Arya terdiam beberapa detik, ia tersenyum simpul, “Yah, alasannya simple, karena Arya sangat mencintai Moira.

Beliau memperhatikan Arya dengan seksama. Mama tahu kepribadiann Arya bagaimana, dia laki-laki yang tertutup, pendiam sehingga terkesan misterius kepada kebanyakan orang. Dia seorang dokter, jadi dia terlihat terkesan moody karena sedang banyak pikiran, apalagi sedang lelah kerja.

Selama hidupnya, Arya tidak pernah sekalipun membawa wanita ke rumahnya, lalu tiba-tiba dia datang memberitahu kalau Minggu ini dia akan menikah dengan wanita pilihannya. Jujur beliau masih tidak percaya atas informasi ini. Namun wajah Arya kali ini beneran tidak kelihatan bingung ataupun kesal. Dia terlihat seperti pria dewasa yang tahu apa yang harus dia lakukan dalam situasi apapun. Beliau bertanya-tanya siapa yang membuat Arya seperti ini? Teman-temannya kah? Atau kekasihnya bernama Moira mempengaruhinya?

“Mama dan papa sudah merestui kan hubungan Arya dan Moira. Kalau sudah merestui tinggal nikah aja kan.”

“Tapi caranya nggak gini Arya!” Ucap mama.

“Apa Moira hamil hingga kamu buru-buru gini?” Tanya papa selanjutnya.

“Moira ngggakk hamil pa. Arya hanya takut Moira berpaling dari Arya karena Moira banyak yang suka itu aja. Arya sudah cinta mati dengan Moira, Arya harap mama dan papa ngertiin ini/”

“Setelah pernikahan sah, Arya akan ikutin tradisi di keluarga kita. Arya mohon sama mama dan papa agar hadir di pernikahan Arya nanti.”

Mama Arya menarik napas mendengar pernyataan Arya, beliau sendiri bingung bagaimana menjelaskan ini kepada Arya.

“Kamu melakukan ini kelihatan kurang menghargai keluarga kita, Arya.”

“Arya tetap menghargainya ma, bagi Arya keluarga nomor satu. Tapi percayalah Arya melakukan ini ada alasannya, setelah menikah mau ikut ceremony A, B, C Arya tetap mengikuti tradisi di keluarga kita.”

“Arya melakukan ini karena sudah cinta mati dengan Moira.”

Mamanya hanya terdiam, ia menatap Arya. Ia baru tahu kalau Arya sesekeras kepala ini. Sebagai anak pertama dengan segala kemewahan yang dia dapat dari lahir hingga dia dewasa. Dulu mereka membebaskan Arya memilih pendidikan sesuai keinginannya, dan ajaibnya lagi Arya tetap bertahan menjadi dokter spesialis bedah saraf berkarir di dunia kedokteran dibanding meneruskan perusahaan keluarga. Dia memilih menjadi pemegang saham pasif dan menyerahkan tanggung jawab manajemen yang sudah ada. Pada saat itu sebenarnya ia sudah tahu kalau Arya itu tidak senang diatur, hanya pembawaanya tenang terkesan penurut padahal sebaliknya, dia memiliki rencana yang membuat semua orang tidak menduga. Dari pernikahan ini saja membuat mereka terkejut atas tindakan Arya.

Sementara Arya melihat jam melingkar di tangannya menunukkan pukul 17.20 menit, ia harus pulang karena jam tujuh nanti dia bertemu dengan saudaranya Moira di hotel Raffles.

“Ma, pa, Arya pulang dulu,” ia memandang langit masih terang, ia mencium tangan mama dan papa, setelah itu ia melangkah keluar. Ia memandang Jelita adiknya turun dari tangga dan tersenyum kepadanya.

“Sore mas,” sapa Jelita.

“Sore juga Jelita sayang,” ucap Arya, dia mendekati sang adik yang melangkah kepadanya.

Arya memeluk tubuh Jelita dan Jelita membalas pelukan saudaranya, “Bagaimana kabar kamu?”

“Baik mas. Mas beneran mau nikah Minggu ini?”

Arya mengangguk, “Iya.”

“Sama siapa? Kok Jelita nggak pernah liat.”

Arya tersenyum, “Nanti mas kenalin kamu sama calon istri mas ya.”

“Siapa namanya mas?”

“Moira, dia wanita pilihan mas.”

“Cantik?”

“Cantik dong.”

“Cantik mana sama Jelita?”

Arya tertawa, lalu wajahnya berubah menjadi serius, “Cantik calon istri mas.”

“Ih kok gitu!”

Arya kembali tertawa, “Mas pergi dulu.”

“Pergi ke mana?”

“Ngurusin pernikahan mas.”

“Hati-hati mas.”

Arya lalu pergi meninggalkan Jelita begitu saja yang tengah memandangnya. Arya menarik napas, ia masuk ke dalam mobilnya. Mobil bergerak meninggalkan rumah orang tuanya. Ia menyandarkan punggungnnya di kursi, ia menatap ke depan, ia mengatakan kepada semua orang bahwa ia cinta mati dengan Moira.

Seketika Arya teringat tentang Afirmasi apa yang diucapkannya, masalahnya setiap afirmasi yang ia ucapkan sering teradi di dalam hidupnya. Ia sangat percaya dengan sebuah afirmasi, ketika dia kuliah di Singapur banyak sekali yang mengikuti seminar-seminar self improvement dan selalu melihat video-video tentang hal yang sama. Afirmasi positif yang dirinya bangun membangun optimism dan rasa percaya diri untuk mencapai tujuan.

Jujur sudah melakukan banyak hal dan semua afirmasinya terwujud, dari mulai lulus kedokteran, spesialis, membeli rumah, membeli mobil impian, hingga reward ke luar negri. Sekarang ia mengafirmasi bawah dirinya cinta mati terhadap Moira. Bagaimana jika suatu saat nanti dirinya beneran cinta mati terhadap Moira? Apa yang harus ia lakukan jjika beneran jatuh cinta?

***

Malam harinya Arya menepati janjinya untuk bertemu dengan saudara Moira, saudara bernama Daffin. Pria itu lebih tua darinya beberapa tahun darinya jadi obrolan mereka terasa nyambung, namun belum menikah. Mereka berbicara banyak hal mulai dari pekerajaan dan pernikahan, intinya pria itu merestui hubungannya dengan Moira, dia menitpkan Moira kepadanya, karena Moira adik satu-satunya. Perkenalan singkat itu membuahkan hasil yang baik, ia tidak tau kenapa terasa sangat lancar dalam hubungan ini, padahal mereka sama-sama dua orang yang tidak saling mencintai.

“Kita pulang dulu mas,” ucap Moira berpamitan pulang kepada ssaudaranya.

“Iya. Mas doain semoga kalian bahagia. Mas sayang kalian berdua,” ucap mas Daffin.

“Sama-sama mas.”

Moira dan Arya pulang meninggalkan lobby hotel. Moira memandang Arya berada di sampingnya, “Thank’s ya udah yakinin mas Daffin.”

Arya mengangguk, “Iya.”

“Besok gladi resik?” Tanya Arya mencoba mengingat pesan terakhir Moira yang mengatakan kalau H-1 mereka arus gladi resik.

“Iya, besok di hotel mulia jam empat sore.”

Arya dan Moira masuk ke dalam mobil dan mobil meninggalkan area hotel Raffles. Arya memanuver mobilnya sambil memperhatikan jarak mobil dan motor di hadapannya. Mereka kemudian diam dan berpandangan beberapa detik.

“Kamu sudah memberitahu teman-teman kamu kalau kamu akan menikah?”

“Iya, sudah. Awalnya satu orang. Desas desus kemudian mulai menyebar kalau saya akan menikah Minggu ini. Semua orang penasaran siapa wanita saya, karena selama ini saya tidak pernah mempublikasi calon istri saya. Mereka sama sekali tidak bisa mengidentifikasi wanita itu dan dari mereka tidak ada yang saya undang kan.”

Moira mengangguk, “Ah ya, kamu bisa menyebarkan undangan digital, di sana ada barcode RSVP untuk teman-teman kamu yang mau datang.”

Arya mengangguk, “Oke.”

“Nanti akan saya kirimkan lewat whatsapp.”

Arya melirik cincin yang ada di emari Moira, cincin itu belum di lepas oleh Moira, “Kita nggak perlu membicarakan daftar tamu, wedding organizer dan gedung lagi kan?” Tanya Arya sambil menyetir.

Moira tertawa, “Ya nggak lah, semua itu nggak usah dipikirin lagi.”

“Bagaimana perasaan kamu menjelang pernikahan?” Tanya Moira kepada Arya.

Arya mengedikkan bahu, “Biasa aja sih,” ucap Arya.

“Kamu bagaimana?”

“Yah biasa aja juga, mau gimana lagi, jalani aja.”

“Sudah move on dari mantan?” Tanya Arya.

Moira menarik napas, “Belum sih, sakit hatinya masih belum sembuh.”

Arya mengangguk paham, “Mungkin karena masih baru juga kan, memori itu nggak bakalan hilang gitu aja.”

“Iya, sepertinya begitu.”

“Ada pepatah mengatakan kalau Man marry who they want, and women marry when they can. Laki-laki akan menikah dengan siapa saja yang mereka inginkan, wanita menikah ketika mereka mampu. Kamu ada kesempatan untuk move on untuk semua itu.”

“Mmmmm.”

“Saya hanya berpikir kalau di luar sana ternyata ada banyak kesempatan untuk jatuh cinta kembali, Ra. Banyak loh orang yang lebih tampan, lebih smart, lebih baik. Stock pria lebih banyak, jadi apa yang kamu takutkan?”

“Asal kamu siap, prihal jatuh cinta itu mudah.”

“Tinggal affirmasikan jodoh seperti apa yang kamu butuhkan, kelak kalian bertemu. Siapa tau, dengan Tuhan mematahkan hatimu di hari kemarin, itu cara terbaik untuk menyelamatkan hidup kamu.”

“Hidup itu santai saja, seandainya memang jodoh kamu, jangan terlalu dikejar, nanti juga bakalan ketemu turning pointnya, itu kata eyang saya.”

Moira tertawa, “Eyang kamu?”

“Iya, eyang saya. Nanti kalau sudah menjadi istri saya, kita ke Jogja bertemu dengan eyang saya, sudah sesepuh di keraton.”

“Enak ya, keluarga kamu masih lengkap, keluarga cemara, keluarga besar. Beda sama saya.”

“Tapi ribet,” Arya terkekeh.

***

Hingga akhirnya mobil Arya sudah tiba di depan lobby apartemen Moira. Moira memandang Arya, “Mau mampir nggak? Sekalian nyobain jas pernikahan kamu.”

Arya mencoba berpikir beberapa detik, ia menatap Moira, “Oke, ini parkirnya di mana?”

“Basement.”

“Basementnya di sana, kamu terus aja, nanti belok kiri di sana ada security,” ucap Moira memberi arahan kepada Arya.

Arya mengendarai mobilnya menu basement, ia melirik Moira sedang mencari sesuatu di dalam tasnya, ah ya dia mengambil kunci akses di sana. Mobil sudah terparkir sempurna, mereka keluar dari mobil dan masuk ke dalam lobby. Arya dan Moira masuk ke dalam lift, dia menempelkan kunci akses di depan lift. Lift membawanya menuju lantai atas.

Beberapa menit kemudian pintu lift terbuka, Arya mengikuti langkah Moira masuk ke dalam apartemennya. Apartemen Moira memiliki akses langsung ke lift private. Arya memandang Moira menghidupkan lampu. Ruangan terliat terang benderang. Langkah Arya terhenti, dia memandang sepasang pakaian pengantin yang menggantung di dinding, pakaian itu terlihat menawan. Ia memandang Moira meletakan tas di meja.

“Itu pakaian pemberkatan kita di gereja nanti,” ucap Moira.

“Jadi saya nyobain ini?” Tunjuk Arya menatap jas berwarna cream tergantung di dinding.

“Iya.”

“Di mana?”

“Di kamar saja, kamar saya di sana,” tunjuk Moira mengarahkan Arya mengganti pakaiannya.

“Kamu mau softdrink atau kopi?” Tanya Moira.

“Softdrink saja, tadi kita sudah minum kopi sama Daffin,” Arya mengambil satu set jas itu di dinding.

Arya masuk ke dalam kamar, ia menutup pintu kamar itu kembali sambil memperhatikan kamar Moira. Kamarnya tidak terlalu luas, namun sangat nyaman untuk ditinggali, kamarnya sangat rapi dan wangi. Arya membuka kancing kemejanya dan Ia mulai mencoba kemeja dan jas itu. Ia menatap penampilannya di cermin, ia menyungging senyum jas ini memang sangat pas ditubuhnya. Ia menyadari kalau tubuhnya dan tubuh mantan kekasih Moira hampir sama.

Arya keluar dari kamar ia memandang Moira berada di dapur mereka saling berpandangan satu sama lain. Moira sempat terpana beberapa detik menatap Arya yang sedang mengenakan pakaiannya, jujur dia sangat tampan.

“Bagaimana menurut kamu?” Tanya Arya meminta penilaian Moira.

“Perfect,” ucap Moira.

****

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel