Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

BAB 6

BAB 6

HAPPY READING

***

Anja melihat jam melingkar di tangannya menunjukan pukul 17.30 menit. Ia tahu kalau pulang jam segini pasti macet di jalan. Namun tetap ia harus pulang, ia tidak masalah bermacet-macetan di jalan, apalagi lokasi kostannya berada di kemang. Ia mematikan leptopnya, dan bersiap-siap untuk pulang. Tidak ada berkas lagi yang tersisa di meja, team-nya untuk melakukan pengujia sampel material besok kepada piihak pak Willi.

Ia membayangkan bagaimana pulang kantor. Macet tentu pastinya. Macet sepertinya itu sudah makanan sehari-hari, kantornya tepat di pinggir jalan Sudirman, apalagi jam pulang kantor ditambah Persija lagi main di GBK. Sudirman tempatnya sangat strategis memang banyak gedung perkantoran, tidak jarang pejabat lewat, sradak-sruduk sambil nyalain lampu strobe atau klakson sirine. Satu hal lagi, banyak polisi, tiba-tiba ada saja mendapat kuis, “Selamat malam, anda tahu kesalahan anda?” Lalu berhadiah surat tilang, apalagi ada banyak kamera e-tilang. Namun ia tidak masalah, ia tahan dengan kemacetan Jakarta.

Beberapa menit yang lalu ia mendengar dari staff, katanya anaknya pak Emmanuel datang ke office, sekarang posisi anaknya berada di ruangan pak Emmanuel. Ia menoleh ke samping menatap ruangan pak Emmanuel yang tertutup rapat, katanya pria itu bernama Richard Austin. Beberapa staff sudah berkenalan dengannya, katanya Richad yang akan menggantikan jabatan sang ayah dalam waktu dekat. Ia mendengar anaknya kuliah di salah satu universitas terkemuka di USA. Ia penasaran seperti apa pria itu yang katanya sangat tampan. Sayangnya, tadi ia berada di ruang meeting bersama team-nya, untuk pengujian sampel pak Willi. Seperti biasa ia memberi tugas apa-apa saja yang harus dipersiapkan, karena mereka memperoleh klien yang akan mengambil jumlah yang sangat besar.

Seketika teringat dengan Juliet sahabatnya, sahabatnya itu harus tahu apa yang telah ia alami hari ini, terutama tentang William mungkin besok ia akan cerita.

Anja melihat beberapa karyawan masih berada di kubikel bersiap-siap untuk pulang. Ia memandang ke samping menatap Tio bergegas menghampirinya.

“Ibu, di panggil pak Emmanuel,” ucap Tio.

Alis Anja terangkat, “Owh ya? Ada apa?” Tanya Anja penasaran.

Tio mengedikan bahu, “Enggak tau, kayaknya sih mau ngenalin ibu ke anaknya.”

“Emang harus ya ke dalam kalau kenalan?”

“Harus sih kayaknya.”

“Staff yang lain kenalan di mana?”

“Kenalan di luar aja sih, cuma nyapa aja.”

“Duh, mau pulang lagi.”

“Palingan bentar bu,” ucap Tio.

“Mandatori banget ya.”

“Iya.”

“Yaudah kalau gitu, thank’s ya Tio.”

“Sama-sama bu.”

Anja meletakan tas-nya di meja, ia menarik nafas beberapa detik, mau tidak mau ia harus ke ruangan pak Emmanuel, ia melangkahkan kakinya menuju ruangan direktur. Ia mengetuk pintu dan lalu membuka hendel.

Anja memandang dua orang pria di sana yang sedang duduk di sofa, tatapan kedua pria itu lalu tertuju kepadanya. Mereka saling menatap satu sama lain, dan ia lalu berikan senyum terbaiknya kepada kedua pria itu.

Namun tatapannya teralihkan pada sosok pria mengenakan kemeja hitam dan celana berwarna senada, pria itu tanpa senyum dan memandangnya. Ia mengobservasi tubuh pria itu, dia memiliki tubuh tinggi besar, rambut berbentuk quiff, sehingga bentuk wajahnya terlihat lebih proporsional, dia tipe pria dewasa, dan tampak mahal. Ia akui kalau dia lebih cocok menjadi model Calvin Klein.

Sejujurnya ia tidak menyangka bahwa pak Emmanuel memiliki anak setampan ini. Ah ya, pak Emmanuel saja di umur yang hampir 60 tahun saja masih tampak gagah. Satu kata di dalam kepalanya, bahwa “He’s hot” Lalu ia teringat dengan William.

Ia membandingkan William dan Richad, mungkin mereka berdua sama-sama pria dewasa, William itu cool dan Richad lebih hot. Oh Tuhan, kenapa ia membandingan pria itu dengan William, padahal mereka sama sekali tidak kenal.

“Selamat sore pak, bapak cari saya?” Sapa Anja, ia lalu masuk ke dalam.

“Selama sore juga Anjani, mari masuk,” ucap pak Emmanuel.

Anja menutup pintu itu kembali, ia memandang pak Emmanuel beranjak dari duduknya, lalu menghampirinya. Ia itdak tahu prihal pak Emmanuel memanggilnya di jam-jam mau pulang seperti ini.

“Kamu belum pulang?”

“Belum pak, sebentar lagi,” ucap Anja.

Pak Emmanuel melirik putranya, pria itu lalu beranjak dari duduknya mendekati sang ayah.

“Ini anak pertama saya Richad Austin, dia yang akan menggantikan saya mulai besok.”

Richad memperhatkan wanita yang baru masuk itu, katanya dia adalah Anjani seorang manager marketing di perusahaan ini. Semua orang mengakui kalau kinerja Anjani sangat baik, bahkan sang ayah kerap memujinya. Katanya dia memiliki keahlian yang terbilang kompleks, strateginya sangat baik, mampu memimpin inisiasi promosi produk. Dia mahir mengatur budget setiap kampanye iklan, dia memiliki skill yang baik, kata ayahnya sebentar lagi wanita itu akan di promosikan menjadi Director of marketing di perusahaan ini.

“Hai, saya Richad Austin,” ucapnya mengulurkan tangan kepada wanita itu.

Anja tersenyum dan membalas uluran tangan kepada pria itu, “Saya Anjani, senang berkenalan dengan bapak Richad.”

“Sama-sama, ibu Anjani.”

Anja lalu melepaskan tangannya, ia kembali memandang pria itu dan pak Emmanuel,

“Anjani ini manager marketing, dia sudah bekerja di sini sembilan tahun di perusahaan kita dan dia sangat loyal. Anjani ini sudah beberapa kali mendapatkan the best employee.”

“Saya harap kalian akan menjadi partner kerja yang baik,” ucap pak Emmanuel kepada Richad.

Richad memperhatikan wanita itu, ia mengakui kalau dia cantik, looknya elegant, tidak berlebihan, mengenakan pakaian sopan, celana kulot dan kemeja, namun tetap fashionable, baya busananya basic namun memikat, ia menyungging senyum, “

Semoga kita bisa bekerja sama dengan baik.”

“Semoga pak.”

“Kamu sudah mau pulang?” Tanya pak Emmanuel melihat Anja.

Anja mengangguk dan tersenyum, “Iya, pak.”

“Oke, silahkan pulang tidak apa-apa.”

“Baik pak,” Anjani hendak melangkah keluar.

“Oiya, Anja.”

Anja lalu menoleh memandang pak Emmanuel dan Richad, “Iya, pak.”

“Besok katanya pak William mau lihat material kita.”

“Iya, pak benar.”

“Besok Richad sudah menggantikan saya, perkenalkan pak Richad dengan pak William ya.”

“Baik pak.”

Anja melihat pria bernama Richad itu, pria itu tanpa senyum memperhatikannya. Ia keluar dari ruangan pak Emmanuel, dan meninggalkannya begitu saja.

“Itu namanya Anjani, karyawan terbaik di perusahaan ini,” ucap pak Emmanuel.

“Dia sepertinya menarik,” gumam Richad lalu duduk di kursinya lagi, memperhatikan ruangan ayahnya.

Pak Emmanuel memandang putranya, ia lalu tertawa, “Iya, Anjani memang menarik.”

“I mean attractive because I'm a man and she's a woman,” gumam Anja.

***

Keesokan harinya,

Seperti biasa pagi ini ia memiliki rutinitas untuk bertemu dengan sahabatnya sebelum ke kantor, karena memang jarak kantornya dan kantor Juliet tidak terlalu jauh. Tepat jam 08.20 ia sudah berada di Le Quartier. Le Quartier ini merupakan salah satu French restaurant di area Senopati. Katanya restoran ini sudah cukup lama eksis. Interiornya classy, di dominasi dengan furniture kayu, sangat homey. Sebenarnya restoran ini cukup asyik untuk candle light dinner dengan pacar, ia pernah ke sini dulu, dan makananya enak-enak, apalagi ada menu breakfast yang tidak pernah ia lewatkan.

Anja masuk ke dalam mencari keberadaan sahabatnya, ia melambaikan kepada wanita yang duduk di salah satu table di dekat jendela. Ia mengobservasi kalau tamu belum terlalu ramai. Mungkin areanya cukup luas, ada meja untuk berempat, untuk dua orang, meja fine dining dan bar table.

Ia melambaikan tangan lalu melangkah mendekat, “Maaf ya telat, tadi parkiran depan susah masuk mobil, ada tamu mau keluar gitu,” ucap Anja lalu duduk di hadapan Juliet.

“Lo udah pesen belum?” Tanya Anja, ia menaruh handbag nya di meja.

“Iya, udah,” ucap Juliet.

“Oiya, kemarin gimana? Udah deal nggak?” Tanya Juliet, ia teringat bahwa Anja sedang dapat project besar, jika kliennya deal maka bonusnya akan banyak.

Anja tersenyum dan mengangguk, “Deal dong.”

“Wah hoki nih, dapat bonus nih jalan-jalan ke Paris.”

Anja tertawa, “Lumayan. Hari ini gue yang traktir lo.”

Juliet menatap sahabatnya, “Oiya, lo mau cerita apa? Kayaknya penting banget,” ucap Juliet, ia memandang server menyajikan hot coffee expresso di meja, tadi pagi-pagi sekali sahabatnya itu mengajaknya breakfast di sini karena ada yang harus dia ceritakan.

Anja mengaduk expresso dengan sendok dan lalu menyesapnya secara perlahan. Ia menarik nafas beberapa detik, ia menatap Juliet. Ia terlalu bingung, mulai dari mana ia bercerita.

“Menurut lo FWB itu gimana?” Tanya Anja, topik inilah yang ingin ia bahas dengan Juliet.

Ia hanya ingin meminta pendapatnya kepada Juliet tentang FWB yang ia jalani dengan William, ia tahu bahwa Juliet lebih dewasa menyikapi hal ini di banding dengan dirinya yang belum merasakan pernikahan.

Juliet mengerutkan dahi, “Lo FWB sama siapa?” Tanya Juliet penasaran.

“Tanya doang, menurut lo gimana?” Ucap Anja lagi, ia menyesap kopinya secara perlahan.

Juliet memandang Anja cukup serius, ia menyesap exspresso nya lagi, ia melihat server mengantar salad dan cake. Kini semua pesananya sudah tersaji di meja. Ia mengambil sendok dan memakannya sambil berpikir tentang FWB. Ia yakin FWB itu ada hubungannya dengan Anja.

Juliet menarik nafas, “Menurut gua, FWB nggak ada masa depannya sih, cuma sebatas having fun. Hanya menjalin relasi intim sama lawan jenis. Ada sih, beberapa orang yang open relationship. Kayak pacaran tapi nggak mau komitmen yang jelas.”

“Itu kayak kasual aja sih? Tapi ada jarak, dia bebas ngapain aja dan lo bebas juga.”

“Tapi menurut gua, nggak guna juga sih hubungan kayak gitu. Intinya lo nggak mau berkomitmen dengan siapapun dia juga gitu.”

“Terus.”

“Kalau lo tanya gue mau apa nggak, ya gue nggak lah. Enggak jelas gitu,” ucap Juliet.

“FWB itu, make it clear, no baper, dan jangan pakai perasaan.”

Juliet memicingkan matanya, “Lo FWB an?” Tanya Juliet to the point.

Anja sebenarnya tidak tahu, apa hubungan dirinya dan William, mereka tidak konfirmasi apapun. Hanya saja ia dan William melakukan hubungan intim, lalu dia menawarkan friend with benefit, dan ia merasa bahwa inilah yang ia jalani. Ia akui bahwa ia memang jenuh menjalani hubungan konvensional, karena terlalu mengikat dan membelenggu dirinya. Ia hanya beranggapan bahwa hanya sebatas teman, namun lebih ke hal intim.

“Enggak tau sih, FWB apa nggak. Enggak jelas,” ucap Anja sekenanya.

“Sama siapa?”

“Kemarin William nawarin gua FWB.”

Juliet mengerutkan dahi, “Kayak nawarin product aja deh.”

Anja tertawa geli, “Ya, gitu deh, aneh kan.”

“William? Siapa? Yang mana?”

“Klien gua yang punya property itu. Lo inget kan yang gue mau ketemu dia kemarin di Fairmont. Dia nawarin gua jadi relasi FWB.”

“Ganteng nggak?”

“Lumayan.”

“Tapi menurut gua, lo pikir-pikir lagi deh,” ucap Juliet menasehati.

“Tapi gua juga nggak mau pacaran, Juli.”

“Yah, balik lagi sama lo. Lo mau apa nggak?”

“Ya mau aja.”

“Emang menjamin lo udah sama-sama hubungan intim, lalu dia tiba-tiba nikah sama orang lain.”

Anja meraih mangkuk salad ia makan dengan tenang, “I know, tapi gua nggak bakalan baper sih.”

“Lo mau?”

“Why not, ngisi waktu luangkan? Gua lebih suka have fun dari pada pacaran apalagi komitmen.”

“Yah, gua sama dia, ngobrolnya nyambung kemarin, dia nice, dia open minded. But, dia bukan tipe untuk dijadiiin pasangan menurut gua. Dia juga bilang nggak mau komitmen gitu.”

“Lo sama dia udah tidur?”

Anja mengangguk, “Iya, udah kemarin.”

“Wow, kok bisa? Baru kenal, lo dan dia langsung bobo bareng?” Juliet speechless menatap Anja, ia aja masih takut untuk tidur dengan pria.

“Awalnya sih ngobrol-ngobrol aja. Bahasan kita tentang kerjaan, kerjaan kelar udah tanda tangan semua deal. Topik utama kita ngobrol tentang FWB gitu, udah tukar pikiran. Yah, terjadi gitu aja. Aneh nggak sih?”

“Aneh banget, baru kenal juga, udah langsung nganu. Terus kejadiannya gimana?” Juliet melihat sahabatnya sangat serius, ia menyesap kopinya.

“Kejadiannya tuh gini, dia deal dengan penawaran gue, tanda tangan kesepakatan, dia ambil dalam jumlah banyak. Gue kasih dia vocer nginap di hotel, dia minta temenin ngobrol di kamar.”

“Terus.”

“Gua sebenernya nggak mau nanggepin, tapi gimana ya. Dia klien gua, yaudah gua iyain aja. Ngobrol-ngobrol, you know lah apa yang terjadi gua sama dia di kamar hotel.”

“Setelah tidur bareng, dia nggak ngasih kabar lagi nggak?”

“Ngasih sih, dia mau ketemu gue lagi.”

“Ya, terserah lo lagi sih. Tapi lo hati-hati aja, jangan baper.”

“Nekat nggak sih gua gini?” Tanya Anja.

“Nekat parah sih, ngeri juga mainan lo,” ucap Juliet, ia memakan saladnya hingga habis tidak tersisa, setelah itu ia menyesap coffee nya kembali.

“Lo sama Oscar gimana?” Anja mengubah topik pembicaraan.

“Gitu-gitu aja, enggak gimana-gimana. Tapi gua semalam nggak sengaja kissing gitu sama Oscar?”

“OMG! Itu kemajuan yang pesat. Gua salut sama lo, lo sekarang udah berani,” timpal Anja hampir memekik, ia pikir Juliet akan trauma tidak akan pernah dekat apalagi berani mencium pria lain. Itu merupakan hal luar biasa, berarti mentalnya sudah pulih.

“Terus, terus,” Anja ikut bahagia mendengar kabar ini.

“Enggak sengaja, kebawaan di ancol sepi, ditambah suasana adem aja. Cuma sebentar aja sih, enggak gimana-gimana.”

“Cuma ciuman bentar nggak berasa apa-apa kali, enggak ada hot-hot nya, gue aja langsung having sex,” timpal Anja terkekeh.

“Yah, kalau lo mah beda. Lo yang bahaya.”

Anja lalu tertawa, “Udah dewasa juga, yaudahlah lagian enak juga. Kalau ada apa-apa nanti juga gua akan tanggung jawab sendiri,” ucap Anja.

Anja menarik nafas, “Lo ada ketemu klien hari ini?”

“Enggak, lusa gua ada dua. Sekarang sih tenang, santai aja, palingan ngerjain laporan, ketemu sama pak Willi, katanya mau lihat uji sample gitu,” Anja memakan cakenya.

Suara ponselnya bergetar, Anja dan Juliet teralihkan dengan suara ponsel itu. Dan yang berbunyi itu adalah ponselnya. Mereka melihat ke arah layar di sana tertera nama, “Pak William Calling”.

“Siapa?”

“Pak William.”

“Barusan di omongin, udah nelfon aja,” timpal Juliet terkekeh.

Anja tertawa, “Iya nih, panjang umur si William.”

“Angkat dong, jangan dilihatin,” Juliet tertawa gue mau denger.

“Ya ampun, ada apa ya dia nelfon gue?”

“Palingan kangen, ngajakin lunch terus bobo bareng.”

“Ah, lo, tau aja,” Anja tertawa cekikian.

“Benerkan?”

Anja menggeser tombol hijau pada layar, ia letakan ponsel itu di telinga, “Iya, halo,” ucap Anja, ia menyandarkan punggungnya di kursi, sambil memandang Juliet yang sedang makan dengan tenang, wanita itu menahan tawa.

“Morning, Anja.”

“Morning juga, pak.”

William menyungging senyum akhirnya ia bisa mendengar suara wanita ini lagi.

“Kamu lagi apa?”

“Saya lagi breakfast dengan teman saya.”

“Di mana?”

“Di Le Quartier,” ucap Anja.

William menyungging senyum, “Padahal tadi saya mau ngajak kamu brunch. Nanti malam kamu sibuk nggak?” Tanya William.

“Enggak sih. Kenapa?”

“Saya ngajak kamu dinner.”

“Hemmm.”

“Saya jemput kamu.”

“Memang bapak tau saya tinggal di mana?”

“Enggak, makanya kamu kasih alamatnya ke saya.”

Anja menahan tawa, ia melihat Juliet yang terkekeh, “Iya.”

“Sampai ketemu, nanti malam.”

Sambunganpun terputus begitu saja, Anja meletakan ponsel di meja. Ia melirik Juliet yang hanya menyungging senyum.

“Ngajak ketemuan?”

“Iya, malam ini dia ngajak dinner gitu.”

“Yaudah, pergi aja.”

“Gua harus gimana?” Tanya Anja, ia memakan cake nya lagi.

“Jalani aja lah. Lo kayak kesenengan gitu sama William.”

“Ih, lo kok tau sih.”

“Ekpresi wajah lo nggak bisa bohong Anja.”

Anja tertawa geli, “Dia lumayan kok, tipe gue banget.”

“Inget, jangan sampai hamil aja. Kalau hamil urusannya bakalan panjang.”

“Setuju sama lo.”

Juliet menatap Anja, ia tahu bahwa sahabatnya itu tidak ingin menikah. Ia sudah masa bodoh dengan pertanyaan kepan menikah? Kenapa kita harus menikah? Anja sebenarnya sangat cantik, tapi dia memiliki egois. Banyak teman sekantor menaruh hati padanya, namun wanita itu abaikan begitu saja. Dia tidak ingin terlibat apapun di kantor, karena ketika di kantor ia fokus untuk kerja. Sekarang dia bercerita dia menjalani hubungan FWB dengan kliennya. Ia sebagai sahabat tentu saja memberi masukan, dan meminimalisir kemungkinan-kemungkinan yang terjadi, ia harus memberitahu Anja, agar tetap aware dengan dirinya sendiri.

“Terus.”

“Di kantor gue ada direktur baru?”

“Owh ya, siapa?”

“Namanya Richad Austin anaknya pak Emmanuel, gantiin beliau.”

“Asyik tuh bisa cuci mata.”

“I know, setidaknya ada penyemangat pergi ke kantor.”

“Dasar lo ya. Cakep mana sama Oscar.”

“Sama sih, kurang lebih.”

“Keren banget pastinya.”

“Parah.”

“Cakep mana sama William.”

“William deh kayaknya, lebih cool.”

“Penasaran gue sama William.”

Anja mencondongkan tubuhnya ke arah Juliet, “Nanti gue kenalin.”

“Ok. Awas lo nggak kenalin.”

“Iya, iya.”

***

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel