Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 3 Gairah Nakal Sang Bibi

Seno dan sang Bibi Sinta masih terus mencari waktu untuk kembali bercumbu dengan menunggu kesempatan yang pas saat Paman Adi akhirnya kembali pergi dinas luar selama 3 hari. Saat itulah Bibi Sinta yang sudah beberapa hari ini menahan birahinya untuk dicumbu Seno segera saja mengajak seno untuk bercumbu di kamar Bibi Sinta di sian hari setelah Seno pulang dari kampusnya mengurus skripsinya dengan sang dosen di kampusnya.

Seno pun kembali terangsang hebat melihat sang Bibi telah bersiap menyambutnya pulang dengan pakaian seksiya yang menunjukkan lekuk tubuh montok Bibi Sinta. dengan gairah tinggi Sinta pun mengajak Seno bergumul di atas ranjang hingga terdengar suara desahan, lenguhan dan teriakan puas saat mereka secara berbarengan mencapai puncak kenikmatan dengan nafas tersengal sengal.

***

Sinta dan Seno terus menunggu saat yang pas untuk bercumbu dengan bebas tanpa perlu khawatir dengan kehadiran Paman Adi. Mereka tidak sabar menunggu hingga Paman Adi akhirnya kembali berangkat ke luar kota untuk dinas selama tiga hari. Mereka akhirnya memutuskan untuk kembali bercumbu di kamar Sinta yang sempit dan gelap. Sinta yang telah bersiap untuk melayani kebutuhan Seno dengan pakaianya yang seksi dan menawan hati.

Seno pun masuk ke dalam kamar Sinta sambil memperhatikan Sinta yang tengah duduk di atas ranjang dengan pakaian seksiya. Sinta yang begitu seksi membuat Seno terangsang hebat. Mereka mulai bercumbu dengan melepaskan seluruh pakaian mereka hingga membuat kamar itu dipenuhi oleh panas dan birahi. Mereka bergerak dengan liar hingga terdengar suara desahan dan lenguhan yang keras. Seno memgigit bibir Sinta dengan keras sambil menggigit tubuhnya dengan sangat keras dan panjang. Sinta hanya dapat menikmati penderitaanya yang luar biasa dengan puas.

Sinta dan Seno terus bercumbu dengan liar di atas ranjang yang sempit. Mereka tidak peduli dengan siapa yang melihat mereka beraksi dalam kamar yang dipenuhi oleh panas dan birahi. Mereka terus bercumbu dengan melepaskan seluruh birahi yang mereka punya hingga terdengar suara desahan dan lenguhan yang keras.

Mereka terus bercumbu dengan liar hingga Sinta kembali menikmati puncak kenikmatan yang luar biasa. Sinta terlihat begitu seksi dengan pakaianya yang memperlihatkan lekukan montok tubuhnya. Seno yang terangsang hebat memgigit bibir Sinta dengan keras sambil menggigit tubuhnya dengan sangat keras dan panjang.

"Eshhh..ahhh..enakkk...Senooo....!!" Sinta berteriak dengan keras sambil menikmati guncanganan tubuh Seno yang kuat dan panjang. Sedangkan Seno hanya membalas dengan menggenjot tubuh Sinta makin keras hingga merasakkan tubuh Bibi Sinta yang montok dengan puas.

"Arghhh..enakkkk bangett Bibii...!!" Seno menggumamkan dengan keras sambil melepaskan hasrat yang beberap hari ini tertahan hingga membuat Sinta berjatuh lemas menikmati orgasme yang luar biasa. Sinta terdiam sebentar dalam pelukanya sambil menikmati sisa-sisa kenikmatan yang belum reda.

***

Seno mengemasi barang-barangnya dengan perasaan campur aduk. Ia akan kembali ke kampus untuk menyelesaikan skripsinya setelah beberapa minggu tinggal di rumah Paman Adi dan Bibi Sinta. Selama di sana, ia merasa menemukan kehangatan keluarga yang jarang ia rasakan sebelumnya.

Di dapur, Sinta memasak sambil sesekali melirik ke arah kamar tamu tempat Seno tinggal. Wajahnya terlihat murung, dan sendok di tangannya berhenti bergerak sejenak.

"Sinta," panggil Adi dari ruang tamu. "Kamu kenapa melamun terus dari tadi? Makanannya gosong nanti."

Sinta tersentak dan buru-buru mengaduk wajan. "Ah, nggak, Mas. Cuma kepikiran nanti rumah bakal sepi setelah Seno pergi."

Adi mendekat, menyandarkan bahu di pintu dapur. "Ya wajar, lah. Seno itu sudah kayak anak sendiri buat kita. Tapi kan dia pergi bukan untuk selamanya. Lagipula, dia harus menyelesaikan kuliahnya."

Sinta mengangguk pelan, tetapi kesedihannya sulit ia sembunyikan.

***

Di teras, Seno bersiap untuk pergi. Ia berpamitan pada Adi terlebih dahulu. "Paman, makasih banyak sudah izinkan saya tinggal di sini selama ini. Banyak banget bantuan yang saya dapat."

Adi menepuk bahu keponakannya dengan hangat. "Kamu itu sudah seperti anak sendiri, Seno. Jangan sungkan kalau butuh apa-apa. Kalau ada masalah skripsi, bilang aja. Aku bantu sebisanya."

Setelah itu, Seno menghampiri Sinta yang berdiri di pintu dengan senyum yang dipaksakan.

"Bibi," kata Seno pelan. "Saya nggak akan lama. Kalau nanti sudah selesai, saya pasti balik lagi ke sini."

Sinta menatap keponakannya dengan mata berkaca-kaca. "Hati-hati di jalan, ya, Seno. Jangan lupa makan, jangan terlalu capek. Kalau ada apa-apa, kabarin Bibi."

Seno mengangguk. "Iya, Bi."

Setelah Seno pergi, rumah terasa lebih sepi. Sinta melanjutkan aktivitas seperti biasa, tetapi Adi mulai memperhatikan ada sesuatu yang berubah.

***

Malam itu, saat mereka duduk di ruang keluarga, Adi menatap istrinya dengan penuh perhatian.

"Sinta, aku perhatikan dari tadi kamu sering melamun. Kamu kenapa?"

Sinta terkejut dengan pertanyaan itu. "Eh, nggak apa-apa, Mas. Cuma lagi kepikiran aja. Mungkin karena rumah mendadak sepi setelah Seno pergi."

Adi mengangguk, meskipun matanya masih meneliti ekspresi istrinya. "Ya, wajar sih. Tapi, kamu nggak pernah sedih segitunya kalau tamu lain pergi. Seno itu istimewa, ya?"

Sinta tersenyum kecil, berusaha menutupi perasaannya. "Dia sudah kayak anak sendiri, Mas. Kita kan nggak punya anak, jadi aku merasa kehilangan."

Adi terdiam sejenak sebelum mengangguk. "Kalau gitu, mungkin kita harus sering-sering telepon dia. Biar kamu nggak terlalu kangen."

Sinta hanya mengangguk, meski dalam hatinya ada rasa bersalah yang tidak bisa ia ceritakan.

***

Waktu berlalu, dan Sinta mencoba mengisi kekosongan dengan menata ulang taman belakang, proyek yang pernah ia bahas bersama Seno. Setiap kali melihat hasilnya, ia teringat keponakannya itu dan berharap ia segera kembali.

Adi, meskipun merasa ada yang ganjil, memilih untuk mempercayai istrinya. Dalam pikirannya, mungkin ini hanya bentuk kasih sayang yang mendalam seorang bibi kepada keponakannya.

Namun, suatu malam, ketika Sinta mengira Adi sudah tidur, ia terdengar bergumam pelan di balkon.

"Seno, kapan kamu balik lagi?"

Adi, yang ternyata belum tidur, membuka sedikit pintu kamar dan mengintip. Wajahnya berubah serius, tetapi ia memilih untuk tidak bertanya... setidaknya, untuk sementara.

Adi terbangun dini hari karena mimpi aneh yang membuatnya teringat saat-saat awal pernikahannya dengan Sinta. Dulu, hubungan mereka penuh tawa dan kehangatan, tetapi belakangan ini, ada sesuatu yang terasa berbeda.

Ia menoleh ke arah istrinya, yang tidur membelakanginya. Dengan lembut, ia menyentuh bahunya. "Sinta," panggilnya pelan.

Sinta bergeming, tetapi tidak segera merespons.

"Kamu nggak bisa tidur?" tanya Adi lagi.

Sinta akhirnya menoleh dengan senyum kecil yang terlihat dipaksakan. "Nggak apa-apa, Mas. Aku cuma kepikiran macam-macam."

Adi duduk bersandar di kepala tempat tidur, memandangi istrinya dengan penuh perhatian. "Kamu kelihatan beda belakangan ini. Ada yang mengganggu pikiran kamu? Kalau ada, aku mau kamu cerita."

Sinta mencoba menghindari tatapannya. "Mas, aku cuma lagi banyak pikiran aja. Aku merasa sepi sejak Seno pergi. Rumah ini jadi terlalu sunyi."

Adi menghela napas panjang, lalu menggenggam tangan istrinya. "Aku tahu kamu dekat sama Seno, tapi aku ada di sini, Sinta. Kalau kamu merasa kesepian, aku mau kita hadapi itu sama-sama."

Sinta mengangguk pelan. "Aku tahu, Mas. Aku nggak bermaksud membuat kamu merasa diabaikan."

Adi tersenyum kecil, lalu mengusap pipinya. "Kalau gitu, mari kita coba kembalikan apa yang dulu kita punya. Jangan biarkan kesepian merenggut kebahagiaan kita."

Sinta menatap suaminya, merasa sedikit lega tetapi masih dihantui rasa bersalah yang mendalam. Ia tahu bahwa apa yang ia simpan di hatinya selama ini bisa merusak hubungan mereka jika terbongkar.

***

Keesokan harinya, Adi mengajak Sinta keluar untuk makan malam bersama, sesuatu yang sudah lama tidak mereka lakukan. Di restoran kecil favorit mereka, Adi mencoba mencairkan suasana.

"Ingat nggak, kita pertama kali makan di sini waktu masih pacaran? Kamu pesan spaghetti, terus bilang porsinya terlalu kecil," kata Adi sambil terkekeh.

Sinta tersenyum kecil. "Iya, aku ingat. Mas Adi sampai memesan tambahan pizza biar aku kenyang."

Mereka berbicara lebih banyak malam itu, mengenang masa lalu dan mencoba mengembalikan kehangatan yang sempat memudar. Namun, di tengah tawa mereka, Sinta sesekali terdiam, pikirannya melayang ke tempat lain.

Adi memperhatikan itu, tetapi memilih untuk tidak menyinggungnya. Dalam hatinya, ia bertekad untuk mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi.

***

Malam itu, sebelum tidur, Adi berbicara lagi pada Sinta.

"Sinta, aku tahu kamu lagi nggak sepenuhnya bahagia. Tapi aku mau kita berusaha sama-sama. Aku nggak mau kehilangan kamu, dan aku mau kamu jujur sama aku, apa pun itu."

Kata-kata itu membuat Sinta terdiam lama. Ada keinginan untuk berkata jujur, tetapi rasa takut menguasainya.

"Aku... Aku cuma butuh waktu, Mas," kata Sinta akhirnya, dengan suara pelan.

Adi menatapnya dengan mata penuh kesabaran. "Baik. Aku akan sabar, Sinta. Tapi aku berharap, suatu saat nanti, kamu mau berbagi semuanya."

---SELESAI---

Silakan lanjutkan membaca Novel ini di halaman berikutnya karena ada cerpen Gairah dan Hasrat lainnya yang juga sangat menarik untuk anda baca dan anda ikuti hingga tuntas. Judulnya adalah ‘Pemuas Hasrat Sang Paman’. Selamat membaca dan selamat menikmati!

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel