Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 2 Gairah Nakal Sang Bibi

"Ahhh... Bibi, kau sangat hebat." Ujar Seno sambil menggeleng-gelengkan badan. "Saya tak dapat menahan diri lagi." Ia memegang kepala Bibi Sinta dan mengarahkan penisnya kearah muka Bibi Sinta. Bibi Sinta yang sedang jongkok mengulum penis Seno dengan sangat liar membuat Seno merasakan kenikmatan yang sangat hebat.

Bibi Sinta mengulum penis Seno dengan sangat liar dan juga membelai-belai penis Seno dengan tangannya. Ia sangat kagum dengan ukuran penis Seno yang besar dan panjang. Ia mulai mempercepat mengulum penis Seno dan membuat Seno merasakan kenikmatan yang sangat hebat.

Dalam ruangan kamar mandi itu, suasana begitu panas dan intim. Bibi Sinta yang telah memiliki birahi begitu tinggi tidak dapat menahan dirinya untuk tidak menyentuh tubuh Seno. Setiap sentuhan jemari-jemari mungilnya pada tubuh pria itu membuatnya semakin terangsang hebat.

Seno sendiri begitu kaget dengan tindakan agresif Bibi Sinta. Tapi begitu ia mulai merasakan kenikmatan yang diberikan Bibi Sinta, ia mulai membalas ciuman sang bibi. Kedua-duanya saling beradu ciuman, lidah mereka saling beradu dan bersentuhan. Suara-suara kecupan serta erangan napas mulai terdengar dalam ruangan itu.

Bibi Sinta pun tidak segan-gan untuk memegang penis Seno yang sudah sangat tegang. Ia mengelus-elusnya dengan sangat lembut dan menggelitik-gelitik kepala penisnya, membuat Seno menghela napas panjang dan terangsang hebat. Tangan Bibi Sinta yang lain bergerak ke bawah, menjelajahi buah zakarnya dan membuat Seno semakin tak dapat menahan dirinya.

"Ah...Bibi Sinta, terlalu geli..." gumam Seno lirih, sambil melampai-lampai.

"Iya, tahu kan aku suka banget ngini, mana tau kau tahan?" kata Bibi Sinta sambil membelai-belai rambut Seno.

Bibi Sinta beranjak dan menggandeng tangan Seno lalu membawanya kekamar tidurnya. Ia membuka pintu kamar dan masuk ke dalam. Ia menutup pintu dan mengunci pintu kamar. Ia beranjak mendekati Seno dan memegang badan Seno.

"Kau sangat hebat, Seno." Ujar Bibi Sinta sambil menatap muka Seno. "Saya ingin bercinta dengan kau."

Bibi Sinta menggandeng tangan Seno dan membawanya keatas kasur. Ia meniduri badan Seno yang telanjang dan membelai-belai penis tegang milik Seno. Seno memejamkan mata dan menggeleng-gelengkan badan saat Bibi Sinta mengulum penisnya dengan sangat liar.

"Ahhh...Bibi...kau sangat hebat." Ujar Seno sambil menutup mulutnya. "Saya tak dapat menahan diri lagi, saya ingin bercinta dengan kau."

Namu tiba-tiba terdengar suara Pintu depan rumah mendadak terdengar terbuka. Suara langkah kaki yang dikenali Sinta sebagai suaminya, Adi, membuatnya melonjak kaget. Ia baru saja selesai bercinta Seno dan berupaya untuk berpura-pura sehabis dengan berdiskusi serius dengan keponakannya, Seno, tentang rencana proyek kebun belakang yang mereka rancang selama ini. Namun, suasana serius itu segera berubah menjadi kepanikan.

"Aduh, kenapa dia sudah pulang?" gumam Sinta dengan nada cemas sambil merapikan baju dan celananya setelah sebelumnya sempat bugil di kamar itu.

Seno, yang masih memakai pakaiannya, menjadi lumayan panik. "Bibi, kalau Paman tahu saya di sini, dia pasti curiga! Kan dia maunya saya pulang cepat tadi."

"Tenang dulu, Seno," kata Sinta sambil menarik napas panjang, berusaha menenangkan dirinya sendiri. "Kita nilang aja kalo kita nggak ngapa-ngapain. Kita bilang aja kalo Ini cuma rencana proyek biasa."

Namun, tidak bisa dimungkiri bahwa nada suaranya sedikit bergetar. Adi memang tipe suami yang protektif, apalagi kalau sudah menyangkut waktu bersama keluarganya.

Terdengar suara Adi dari ruang tamu. "Sinta? Kamu di mana?"

Sinta melirik Seno dengan wajah tegang. "Cepat bantu rapikan meja ini. Kita pura-pura lagi diskusi ringan aja."

Dengan sigap, Seno memasukkan beberapa alat gambar ke dalam tasnya dan menyusun dokumen dengan rapi di sudut meja. Baru saja selesai, Adi sudah berdiri di ambang pintu kamar kerja.

"Wah, lagi sibuk apa nih?" tanya Adi sambil tersenyum kecil, tetapi matanya menyapu ruangan, tampak penuh perhatian.

"Oh, Mas Adi!" Sinta menyambut dengan sedikit terlalu bersemangat. "Kok pulang cepat? Aku kira masih ada rapat di kantor?"

Adi melipat lengannya. "Ada perubahan jadwal. Jadi, aku pikir lebih baik pulang. Eh, ini kenapa kalian kelihatan tegang? Lagi bahas apa?"

Seno segera menjawab dengan cepat, "Kami lagi ngobrol soal desain taman belakang, Paman. Bibi punya ide bagus, jadi aku bantu gambar."

Adi mengangguk pelan. "Oh, desain taman? Coba tunjukkan. Aku penasaran."

Sinta melirik Seno sekilas, lalu memberikan senyum canggung. "Ini, Mas. Baru coretan awal sih. Belum rapi."

Adi mengambil kertas dari meja dan melihatnya dengan saksama. Setelah beberapa detik, dia mengangguk. "Hmm, menarik juga idenya. Tapi kenapa kalian harus panik segala? Kayak lagi sembunyi sesuatu aja."

Seno dan Sinta saling berpandangan.

"Bukan panik, Mas," Sinta akhirnya bicara, berusaha terdengar santai. "Cuma kaget aja kamu pulang lebih awal. Biasanya kalau pulang cepat, kan selalu kasih kabar dulu."

Adi menatap istrinya beberapa detik sebelum akhirnya tertawa. "Ya sudah, santai aja. Kalau proyek ini jadi, aku senang-senang aja kok. Kalau butuh bantuan, bilang ya."

"Siap, Mas," jawab Sinta lega.

Setelah itu, Adi berbalik menuju ruang tamu, sementara Seno dan Sinta menarik napas panjang hampir bersamaan.

"Aduh, hampir aja," bisik Seno dengan senyum kecil.

"Sudah, ayo lanjut rencana taman ini," jawab Sinta dengan nada yang lebih santai. "Tapi besok-besok, kalau kerja sampai malam lagi, kabarin Paman dulu, ya."

"Siap, Bibi," kata Seno sambil tertawa kecil.

***

Keesokan harinya, Sinta terbangun dengan perasaan aneh. Biasanya, pagi-pagi sekali, Adi sudah sibuk menyiapkan diri untuk berangkat kerja. Namun, hari itu, ia masih duduk santai di ruang tamu, membaca koran dengan segelas kopi di tangan.

"Mas, kok belum berangkat?" tanya Sinta dengan heran sambil menata meja makan.

Adi menoleh dan tersenyum tipis. "Lagi cuti. Kan sudah lama kamu bilang aku terlalu sibuk, jadi kupikir, hari ini luangin waktu buat di rumah."

Sinta mengangguk kecil. Seno, yang menginap semalam, ikut muncul dari kamar dengan wajah sedikit bingung. "Pagi, Paman," sapanya.

"Pagi, Seno," jawab Adi. "Tumben kamu bangun pagi juga. Biasanya anak muda jam segini masih mager."

Seno tertawa canggung. "Lagi coba disiplin aja, Paman."

Mereka duduk bersama di meja makan. Adi tampak lebih santai dari biasanya, sementara Sinta dan Seno sesekali saling pandang dengan isyarat yang sulit diterjemahkan. Hari itu ternyata menjadi tantangan tersendiri karena keberadaan Adi sepanjang hari membuat ruang gerak Sinta dan Seno untuk kembali bercumbu menjadi sangat sulit dilakukan.

Setelah sarapan, Adi menatap Sinta dan Seno. "Eh, ngomong-ngomong, proyek taman itu gimana? Perlu bantuan apa hari ini? Kan aku lagi libur."

Sinta hampir tersedak kopinya. "Ehh, nggak apa-apa, Mas. Itu masih rencana awal. Belum perlu apa-apa sekarang."

Seno ikut menimpali, "Iya, Paman. Nanti kalau sudah siap, saya kabarin."

Adi mengangguk, meski ekspresinya sedikit penasaran. "Baiklah, kalau begitu. Aku mau ke gudang sebentar, beresin barang-barang lama."

Begitu Adi pergi ke gudang, Sinta berbisik pada Seno. "Aduh, kok dia di rumah seharian? Susah juga kita mau lanjut rencana ini."

"Tenang, Bi," jawab Seno pelan. "Kita cari waktu aja nanti. Sekarang pura-pura aja sibuk bantuin dia."

Hari itu berlalu dengan penuh kewaspadaan. Adi, yang biasanya sibuk di luar rumah, justru menghabiskan waktu memantau segala hal. Setiap kali Sinta dan Seno mencoba mendiskusikan proyek mereka, Adi selalu muncul tiba-tiba dengan pertanyaan-pertanyaan kecil.

Menjelang sore, Adi akhirnya duduk santai di teras sambil membaca buku. Sinta dan Seno memanfaatkan momen itu untuk berbicara pelan di dapur.

"Seno, kayaknya kita harus kasih tahu Paman soal proyek ini," kata Sinta akhirnya. "Aku nggak suka sembunyi-sembunyi begini."

"Tapi, Bibi yakin? Kalau Paman nggak setuju gimana?"

"Kalau alasannya masuk akal, dia pasti dukung. Lagipula, ini untuk kebaikan rumah kita juga, kan?"

Akhirnya, setelah makan malam, Sinta memutuskan untuk jujur pada Adi. Mereka bertiga duduk di ruang keluarga.

"Mas, sebenarnya aku dan Seno ada rencana kecil," kata Sinta pelan.

Adi mengangkat alis. "Oh ya? Rencana apa?"

"Kami mau renovasi taman belakang jadi lebih hijau dan nyaman. Aku tahu ini mendadak, tapi Seno sudah bantu bikin desainnya. Kami cuma mau tahu pendapat kamu."

Adi terdiam sejenak, lalu tersenyum. "Kenapa nggak bilang dari awal? Aku malah senang kalian mau bikin rumah kita lebih bagus. Kalau butuh bantuan, aku siap kok."

Seno dan Sinta saling pandang, merasa lega. Hari yang awalnya penuh ketegangan berakhir dengan suasana keluarga yang hangat.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel