Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 13 Salah Paham

Bab 13 Salah Paham

"Baiklah, untuk kali ini."

Levi tersenyum puas dengan jawaban yang diberikan Arin. Ia berjalan menuju mobilnya dengan Arin yang mengekor di belakangnya.

Arin menghentikan langkahnya ketika melihat Angel yang berdiri tak jauh dari mobil Levi. Tatapannya tertuju ke arah Arin, tajam. Seolah mengisyaratkan sesuatu.

Arin jadi teringat dengan ancaman yang pernah dilayangkan oleh Angel padanya. Apa gadis itu sedang marah pada Arin?

Angel tak lama berjalan pergi meninggalkan parkiran.

"Arin?"

Arin tersadar ketika Levi menegurnya.

"Masuklah."

Arin pun menuruti perintah Levi. Ia membuka pintu mobil dan segera duduk di kursi sebelah Levi.

"Sudah?"

Arin mengangguk setelah memasang seatbelt-nya sendiri. Tentu saja ia tidak mau kejadian saat itu terulang lagi. Di mana ia terasa bodoh kebingungan mencari seatbelt.

Levi mulai menyalakan mesin mobilnya. Kedua tangannya memegang setir. Mobil pun mulai bergerak keluar area sekolah. Levi mengemudikannya dengan kecepatan sedang.

"Oh ya, kau tinggal di mana? Waktu itu aku tidak jadi mengantarmu pulang karena kau tiba-tiba saja kabur dari apartemenku, kan?"

Arin menoleh sekilas ke arah Levi. Ia kembali menatap pemandangan luar melalui kaca mobil. Ternyata Levi masih mengingat kejadian itu.

"S Harbor Place," jawab Arin datar.

Levi berpikir sejenak. Tidak bisa dipungkiri kalau ia merasa asing dengan nama itu. Ia baru beberapa minggu saja tinggal di Kota Portland dan belum begitu hapal dengan jalan-jalan atau daerah-daerah yang ada di sini. Yang ia tahu hanya jalan menuju apartemennya, sekolah, dan mungkin minimarket.

"Nanti ku arahkan. Kau pasti tidak tau di mana tempat itu," ujar Arin seolah mengetahui isi pikiran Levi.

Levi tersenyum. Arin menjelaskan rute yang harus Levi ambil. Levi mengangguk-angguk paham dan mencoba mengingatnya sebaik mungkin. Siapa tahu ia bisa berkunjung ke rumah Arin lagi suatu saat nanti.

"Oh ya, omong-omong soal yang tadi, aku tidak berkencan dengan Angel."

Levi melirik ke arah Arin. Sayangnya Arin tidak menaruh perhatian sama sekali dengan perkataannya dan lebih memilih menikmati pemandangan luar. Levi menghembuskan napas berat. Ia biarkan saja mulutnya tetap bersuara, menjelaskan kesalahpahaman yang sempat terjadi tadi.

"Aku mengajak Angel untuk berbicara. Aku sudah tau siapa yang mengurungmu di ruangan itu."

Arin tertegun dengan perkataan Levi. Benarkah itu? Bagaimana bisa?

"Angel, kan, yang melakukan itu padamu?"

Arin hanya diam. Ia sudah tidak ingin membahas kejadian buruk itu lagi. Ia hanya ingin hidup tenang tanpa ada gangguan.

"Aku tidak terima dan menegur Angel atas tindakannya padamu. Jika kau bertanya-tanya kenapa aku bisa tau kalau Angel-lah pelakunya...," Levi tersenyum miring. "... aku punya berbagai cara untuk mencari tahu semuanya. Termasuk tentangmu, Arin."

Arin merasa aneh dengan kalimat Levi. Namun, ia tidak ingin terlalu memikirkannya. Ia hanya diam sambil menatap pemandangan luar.

"Ada yang ingin kutanyakan padamu, Arin."

Arin menoleh dengan tatapan bertanya.

Levi manatap Arin intens. "Apa Angel pernah mengancammu?"

Arin tertegun dengan pertanyaan Levi. Bagaimana bisa Levi berpikir seperti itu? Kenapa laki-laki itu suka sekali menebak-nebak?

"Katakan saja yang sejujurnya. Aku hanya bertanya dan sudah seharusnya pertanyaanku dibalas dengan jawaban. Tidak perlu takut Angel akan mengusikmu lagi karena dia sudah kuperingati tadi."

Arin menimbang-nimbang. Ia sedikit ragu untuk mengatakannya pada Levi. Takut jika Angel akan bertindak lebih kejam dari waktu itu.

Arin menghela napas dan menganggukkan kepala singkat. "Iya. Dia pernah mengancamku."

Tebakan Levi benar. Ia sudah menduga hal ini. Arin tidak mau mengatakan siapa orang yang telah mengurungnya di ruangan bekas perpustakaan itu karena dia diancam. Gadis itu terdesak.

Levi mengangguk paham. Ia tidak melanjutkan pertanyaannya karena ia hanya ingin memastikan dugaannya saja. Ia juga tidak ingin Arin berpikir berlebihan tentang hal ini karena kejadian ini sudah berlalu.

Arin memberitahu Levi kalau mereka sudah hampir sampai di daerah S Harbor Place. Awalnya Arin meminta agar Levi menurunkannya di persimpangan saja tetapi Levi langsung menolaknya. Laki-laki itu keukeuh berkata akan mengantar tepat di rumahnya.

Arin membiarkan saja kemauan Levi.

Mobil pun berhenti di sebuah rumah bergaya sederhana. Bangunan yang didominasi warna putih dan abu-abu dengan pekarangan lumayan luas.

Pandangan Levi terjatuh pada seorang wanita yang tengah duduk di kursi teras. Yang membuat Levi terheran adalah asap putih tipis yang membumbung di depan wajah wanita itu. Levi sampai menyipitkan matanya untuk memastikan kalau ia tidak salah lihat dan salah duga.

Ia menoleh ke arah Arin.

"Siapa wanita itu?"

Arin menatap ke arah yang ditunjuk oleh Levi.

"Mama," jawabnya singkat. "Eum... terimakasih sudah mengantarku. Kuharap kau masih ingat jalan untuk pulang."

Baru saja Levi ingin bersuara Arin sudah keluar terlebih dahulu dari mobil. Levi dengan gerak cepat ikut keluar dari mobil menyusul Arin.

"Kenapa kau mengikutiku?" tanya Arin ketika tiba-tiba saja Levi berada di samping kanannya.

Levi memasang senyumnya. "Aku ingin berpamitan terlebih dahulu pada Mamamu."

"Lebih baik kau pulang saja." Arin menghentikan langkahnya.

"Hei, itu justru tidak sopan, Arin. Lagipula, aku juga ingin berkenalan dengan Mamamu."

"Arin!" Teriakan seorang wanita dari arah teras mengalihkan perhatian Arin dan Levi.

Arin dengan tergesa berjalan menghampiri Aretha—mamanya, meninggalkan Levi yang masih terdiam di tempatnya berdiri.

"Iya, Ma?"

Aretha menghembuskan asap rokoknya. Arin sampai terbatuk tak sengaja menghirup asap putih yang menelusup masuk ke pernapasannya itu. Inilah salah satu hal yang membuatnya kurang betah berada di rumah. Berdiam di rumah, berarti ia harus siap dengan asap rokok, aroma minuman beralkohol, juga amarah Aretha yang kadang-kadang tersulut tiba-tiba. Padahal Arin merasa tidak membuat kesalahan sedikitpun.

Aretha menatap tajam ke arah pemuda yang asing di matanya itu. Kemudian, tatapannya beralih ke arah putrinya. "Siapa laki-laki itu?"

Arin menatap sekilas ke arah Levi yang mulai menghampiri mereka.

"Jawab, Arin!" bentak Aretha.

Arin terhenyak mendengar suara keras Aretha. "Dia hanya teman sekolah, Ma."

"Kamu sudah berani, ya, pulang ke rumah dengan membawa anak laki-laki. Mama tidak suka kamu dekat dengan anak laki-laki yang tidak jelas seperti ini. Siapa yang mengajarimu seperti ini, ha? Arin, lihat Mama!" bentak Aretha.

Arin tertunduk takut tak berani menatap mamanya. Apalagi ketika suara lantang Aretha menggema di telinganya.

Levi merasakan atmosfer yang menegangkan di sini. Dengan mata kepalanya, ia melihat Arin dimarahi oleh mamanya sendiri. Padahal Arin tidak salah.

"Maaf, ini bukan salah Arin, Nyonya. Aku sendiri yang memaksa untuk mengantar Arin pulang ke rumah," sela Levi.

Langsung saja Levi dihunjam tatapan tajam oleh Aretha. "Beraninya kau memaksa anakku, hah!"

Levi menelan salivanya mendengar suara lantang Aretha. Sepertinya ia sudah salah bicara.

"Maaf, Nyonya. Maksudku—"

"DIAM!"

Levi pun bungkam setelah diteriaki oleh Aretha. Nyalinya ciut seketika.

"Arin, sampai kapanpun mama tidak pernah memberikanmu izin untuk berteman dengan laki-laki. Mau siapapun itu, dari manapun itu. Paham?"

Arin mengangguk.

"Masuk!"

Arin pun masuk ke dalam rumahnya dengan perasaan tak karuan. Dadanya terasa sesak karena kembali menjadi sasaran kemarahan Aretha.

Aretha beralih menatap Levi. "Dan kau, jangan ikut campur urusan kami."

"Tapi, Nyonya, Arin tidak bersalah sama sekali. Tidak seharusnya Nyonya memarahinya. Aku yang keukeuh ingin pulang bersama dengan Arin."

"Pergi!"

"Ak—"

"PERGI!"

Levi pun memilih menutup mulutnya dan mengikuti perintah Aretha untuk pergi dari rumah Arin. Kesan yang buruk bertemu dengan Aretha untuk pertama kalinya.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel