Bab 11
Entah sudah berapa lama Farrel disini. Yang jelas, Retha semakin tidak leluasa untuk bergerak.
Farrel, ia meminta selimut tambahan kepada receptionist hotel. Belum sampai disitu, cowok itu juga membungkus dirinya.
Retha sekarang benar-benar seperti lemper. Dengan di gulung dua selimut tebal, namun hal ini berhasil membuat hawa dingin yang ia rasakan berkurang.
Farrel kembali mengukur suhu tubuh Retha. Dahi cowok itu kembali mengernyit.
"Re, lo masih kedinginan?" tanya Farrel cemas.
Retha hanya mengangguk lemas sebagai jawaban, cukup untuk membuat gurat kekhawatiran di wajah Farrel semakin menjadi-jadi.
"Tapi, badan lo panas banget. Masa lo kedinginan?" tanya Farrel gusar.
Retha tidak menjawab, malas. Ia kembali memejamkan mata, sesekali menghembuskan nafas berat.
Tenggorokannya sakit, badannya sangat panas, namun yang ia rasakan hanyalah dingin. Aneh memang, namun itu nyatanya.
"Gue panggilin dokter, ya?" tawar Farrel.
Retha menggeleng. "Nggak mau, ntar gue di suntik." balasnya dengan suara serak.
Cukup sudah. Farrel mengacak rambutnya frustasi. "Ntar lo kenapa-kenapa, Re!"
Re, Retha baru sadar kalau Farrel memanggilnya Re. Tidak seperti kebanyakan orang yang memanggilnya, Tha.
"Gue baik-baik aja, Rel." ujar Retha dengan suaranya yang hampir habis.
"Astaga," Farrel mengacak rambutnya frustasi. "Lo sebenarnya kenapa, sih? Tadi lo sehat bugar, sekarang kok jadi gini? Suara lo, kok bisa gitu sih? Lo kenapa, sih?"
"Gue nggak papa, Farrel." jawab Retha.
Sudah, cukup. Farrel bisa gila kalau melihat Retha terus-terusan begini. Sampai mati sepertinya Retha akan mengatakan bahwa ia tidak apa-apa.
"Ayo, kita ke rumah sakit." cetus Farrel final.
Farrel bergerak hendak menggendong Retha, namun gadis itu dengan segera menggulingkan badannya menjauh dari Farrel.
"Farrel, nggak mau!" tolak Retha.
"Gue nggak terima penolakan!" Farrel memutar tubuhnya ingin menangkap Retha, namun gadis itu kembali berguling ke sisi yang lain.
"Farrel, please. Gue nggak mau!" bantah Retha sekali lagi.
Farrel menggelengkan kepalanya. Dengan cepat, ia naik ke atas kasur dan menangkap Retha. Di sibaknya selimut yang membungkus Retha, membuat gadis itu kembali memekik.
"FARREL, DINGIN!"
Farrel tidak memerdulikan itu, ia menarik gadis itu. Menggendongnya ala bridal style, dan bersiap hendak ke luar. Hampir, kalau saja Retha tidak terisak dan membuat Farrel berhenti.
"Gue phobia rumah sakit, jarum, obat, gue nggak suka!" ucap Retha di sertai isakan tangisnya.
Astaga, gadis itu menangis dan Farrel yang menyebabkannya. Sungguh, Farrel sangat membenci hal itu.
Kembali ia merasakan, sesuatu di dalam dirinya yang kembali berdenyut hebat. Sakit, itu ia rasakan lagi.
Kenapa gadis ini sangat mempengaruhi dirinya? Kenapa gadis ini bisa membuat sosok acuh menjadi sangat peduli seperti ini?
Sihir apa yang ia gunakan, sehingga mengubah sosok batu menjadi permen jelly? Apa?!
"Farrel, gue nggak mau..." ucap Retha lagi. Ia terisak, sembari memukul-mukul dada Farrel minta di lepaskan.
Farrel tidak tega melihat Retha memohon seperti ini, ia merasa sangat bersalah atas jatuhnya air mata itu.
Dengan lembut, Farrel kembali menurunkan Retha di atas kasurnya. Menyelimuti lagi gadis itu, dan mengusap kepalanya.
"Maaf," ucapnya penuh rasa bersalah.
Retha tidak menjawab, ia masih terisak. Bayang-bayang tentang masalalunya dan yang membuatnya phobia pada Rumah sakit kembali terputar.
"Gue takut..." lirih Retha. Air matanya terus mengalir, tanpa ada tanda akan berhenti.
Melihat itu, membuat Farrel tidak tega. Ia menggerakkan tangannya, menghapus bulir demi bulir air mata di pipi Retha.
"Jangan nangis," ucapnya menenangkan. "Gue nggak suka."
Farrel mengusap-usap rambut Retha, menggenggam satu tangan gadis itu hingga membuatnya terlelap.
Retha tertidur dengan damai, entah ia sadar atau tidak, yang jelas ia menggenggam erat tangan Farrel.
"Sleep tight, baby." bisik Farrel seraya mengecup kening Retha.
*****
Pagi hari telah tiba, Retha mulai membuka matanya perlahan. Agak sulit, karena matanya semalam berair, pasti menimbulkan kerak mata.
Retha menyadari satu hal, sedari tadi tangannya menggenggam sesuatu. Di tatapnya benda itu, dan seketika ia ingin memekik.
Itu tangan Farrel.
Retha menatap sekelilingnya, masih kamar hotel yang sama. Hanya, bedanya bukan Valerie yang bersamanya. Melainkan Farrel.
Cowok itu tertidur di sisi kasurnya, dengan kepala yang di telungkupkan dan tangannya yang Retha genggam erat. Iya, erat.
Pergerakan Retha, membuat Farrel terbangun. Cowok itu mengerjap-ngerjapkan matanya, dan ia langsung menatap Retha.
Retha melepaskan genggamannya. Membuat Farrel berdiri, mungkin cowok itu akan kembali ke kamarnya.
Namun, Retha salah. Farrel kembali menyentuh dahinya, mengecek lagi suhu tubuhnya dan kemudian Farrel tersenyum.
"Syukur demam lo udah turun." katanya seraya mengusap kepala Retha sayang. "Gue panik banget semalem, badan lo panas banget. Mau gue kompres, tapi tangan gue nggak mau lo lepasin. Kalo gue paksa lepasin, ntar lo malah kebangun terus pusing."
Ini bukan mimpi, kan? Retha tidak mengigau, kan? Farrel benar-benar di hadapannya, kan? Sedang mengkhawatirkannya, ini benar Farrel kan?
"Gue tambah panik, waktu lo ngigo. Teriak-teriak manggil Bunda, Lo." lanjut Farrel lagi.
Kalau Farrel bilang ia mengigau, berarti sekarang ia benar-benar di dunia nyata?
"Re?" panggil Farrel.
Retha terkesiap. "I-iya, kenapa?" jawabnya dengan suara serak.
"Kenapa lo bengong?"
Retha menggeleng. "Nggak papa."
Farrel menautkan alisnya. "Bener?"
Retha mengangguk, ia tiba-tiba merasakan perih di lehernya. Tangan Retha bergerak menyentuh di daerah perih yang ia rasakan.
"Rel, ini berdarah ya?" tanya Retha seraya menunjuk di daerah lehernya.
Farrel menyipitkan matanya, kemudian mengangguk. "Iya, bekas di cakar Cindy kemaren, ya?"
Retha menghendikan bahunya. "Gue nggak tau penyebab luka ini, tapi sekarang gue tau kenapa gue bisa demam."
"Kenapa?"
"Gue nggak bisa luka, pasti gue langsung demam." jelas Retha. "Badan gue sensitif."
Farrel mangut-mangut saja. Kembali terputar kejadian tadi malam, saat Retha mengigau. Gadis itu menangis, berteriak memanggil Bunda. Untung itu tidak berlangsung lama.
"Re, tadi malam lo ngigo manggil-manggil 'Bunda, bangun, Bunda jangan tinggalin Retha..' lo jerit keras banget, emang nyokap lo kemana?"
Retha terdiam. Haruskah ia menceritakan pada Farrel?
"Masih inget waktu lo ke rumah gue, yang lo kena ranting itu?" tanya Retha dan dijawab anggukan oleh Farrel. "Lo nanya kemana nyokap gue, kan?"
Farrel mengangguk lagi. "Lo bilang nyokap lo tidur."
"Iya." Retha mengangguk. "Tidur panjang. Nyokap gue koma."
"Koma?"
"Iya, nyokap gue jadi korban tabrak lari. Satu tahun yang lalu."
Jantung Farrel terasa mau copot. Berdetak dengan ritme yang cepat, rasanya kembali mengingat sesuatu yang sudah sangat lama di lupakannya.
"Tabrak lari?" tanya Farrel lagi.
"Kata orang-orang yang nemuin Bunda, Bunda pingsan dengan banyak darah di kepalanya. Bunda di tabrak waktu mau nyebrang, naik ke mobil."
Mengingat kejadian itu, Retha kembali ingin menangis. Matanya di lapisi kaca bening yang siap tumpah dengan sekali kedip.
"Itu yang bikin gue phobia rumah sakit." lanjutnya lagi. "Karena, di tempat itu Bunda hampir aja meninggal."
Farrel masih terdiam. Tidak tau harus berkata apa. Lidahnya kelu, bibirnya tidak dapat terbuka. Tubuhnya seakan di jatuhi ribuan balok kayu.
"Re, gue mandi dulu, ya?" pamit Farrel sebelum ia pergi meninggalkan Retha.