11. Sebuah Larangan
Julia saat ini sedang dalam kondisi hati yang berbunga-bunga, siang ini dia akan pergi ke rumah Jacob dan hal itu membuatnya tak bisa tidur dengan nyenyak semalaman.
Akan tetapi, meski kurang tidur dan terdapat kantong mata hitam di bawah matanya, Julia tak akan membiarkan kebahagiaan ini berlalu begitu saja.
Dia sudah menantikan ini sejak lama, jauh sebelum keduanya bertemu untuk yang pertama kalinya. Julia sangat inginke rumah Jacob sejak dia mengenal pria itu.
Selesai menghabiskan sarapannya, Julia langsung berpamitan dengan seluruh anggota keluarganya yang saat itu ada di rumah. Momen ini cukup jarang, mengingat kakaknya Julia, Louis, sangat sibuk dalam pekerjaannya. Namun sepertinya, Louis akan segera tinggal di rumah dan tidak akan pergi ke tempat kerjanya yatu restoran.
Padahal, Louis lebih suka di rumah daripada restoran di mana dia bekerja selama ini. Namun Charlie tidak suka melihat anak laki-lakinya bermalas-malasan.
Julia sendiri tidak keberatan kakak laki-lakinya i rumah, dia justru senang saat melihat kakaknya menyambut kedatangannya.
Kebetulan, hari ini adalah giliran sang mama untuk mengantarkan Julia pergi ke sekolah. Meski gadis itu sudah menolak dengan halus, dengan alasan Julia lebih senang jalan kaki, tetapi Meggan bersikeras ingin mengantar anak kesayangannya itu.
Dibandingkan dengan anggota keluarganya yang lain, Meggan lah yang paling jarang mengantar anak perempuannya itu.
Walaupun kegiatan belajar di sekolah Julia telah usai, dan ujiannya telah selesai, tetapi itu semua tidak menjadi alasan untuk membolos. Julia tidak ingin tidak menghadiri kegiatan di sekolahnya. Gadis Peterson itu masih harus datang ke sekolah untuk menyapa semua teman dan gurunya. Memang bukan sebuah keharusan, tetapi Julia ingin lebih banyak menghabiskan waktunya di sekolah sebelum upacara kelulusan tiba.
"Semangat, ya, Sayang. Dan tolong tetap ingat dengan pesan yang kemarin Mama katakan padamu itu, ya," ucap Meggan begitu anak gadisnya keluar dari dalam mobil. Julia hanya mengangguk kecil dengan sorot matanya yang terlihat sayu. Apa dia punya hak untuk melawan ibunya kali ini? Julia tak yakin bisa.
"Kau harus berhati-hati dengan laki-laki, Nak. Jangan terbuai cinta sampai kau rela menyerahkan harta berharga milikmu."
Julia tersenyum tipis dan menjawab pelan, "Baiklah, Ma. Julia akan lebih berhati-hati."
Meggan tersenyum dan mengusap pipi Julia. "Jatuh cinta itu diperbolehkan, Anakku. Asal jangan kelewat batas," pesannya. "Ingat itu baik-baik, Sayang. Jangan sampai kau hamil hanya karena ulah seorang laki-laki. Jika itu terjadi, Mama tak akan segan-segan menindaklanjutinya dan membawa laki-laki yang kau cintai itu ke ranah hukum."
"A-apa yang akan Mama lakukan?"
Meggan kembali tersenyum. "Kekasihmu akan kumasukkan ke dalam penjara."
Duar, ekspresi Julia seketika berubah. Dia seperti mendengar sesuatu yang sangat mengejutkan. Julia yang awalnya menyunggingkan senyum manis dengan wajah yang sudah kembali ceria, seketika runtuh semua. Hancur sudah segala kebahagiaan yang Julia rasakan pagi hari itu.
Mamanya masih saja ... bersikap seperti itu padanya. Padahal Julia sudah berjanji tidak akan melakukan sesuatu yang akan membuat keluarganya marah. Mamanya masih tidak memberikannya kesempatan untuk memberitahu dan menjelaskan, betapa baiknya Jacob itu.
Julia ingin sekali membalas kalimat yang Meggan lontarkan. Namun, belum sempat gadis itu membalas ucapan sang mama, dan mengoreksinya dengan baik, Meggan sudah lebih dulu menjalankan mobilnya dengan kecepatan sedang. Wanita berparas cantik itu meninggalkan anak gadisnya berdiri mematung di depan gerbang sekolah.
Dengan segala perasaan dan suasana hati yang buruk, gadis itu menatap nanar mobil hitam yang perlahan menjauh darinya.
Apa dia tak punya kuasa untuk melawan walau hanya sedikit saja?
+++
Beberapa hari kemudian, di saat Julia sudah benar-benar melupakan segala bentuk sakit hatinya kepada sang mama, Jacob benar-benar mengajak Julia datang ke rumahnya.
Julia kini tak lagi memikirian ucapan pedas yang ibunya lontarkan. Sebab, di hari Kamis yang cerah, Jacob akan menjemputnya.
Lelaki itu menjemput Julia di taman Testa atas permintaan sang gadis, alasannya karena Julia bersikeras untuk tidak pergi jika Jacob menjemputnya di rumah. Mengingat suasana hati gadis itu yang langsung memburuk ketika membahas keadaan di rumahnya.
Julia tidak mungkin mengatakan kepada sang mama bahwa dia akan pergi ke rumah Jacob. Entah apa lagi yang akan wanita itu katakan kepadanya, ia tak ingin tahu.
Julia yang terlalu senang ketika mendapat ajakan bertamu itupun, nekat pergi tanpa meminta izin kepada anggota keluarganya yang lain. Tidak ada seorang pun yang tahu kemana gadis itu akan pergi.
Julia memilih untuk tidak peduli. Toh, Papa dan Mamanya tak ada di rumah siang hari itu. Hanya ada sang kakak yaitu Louis yang dengan kemurahan hatinya mau mengantarkan Julia pergi ke taman. Sebenarnya, tidak biasanya lelaki itu mau mengantarkan Julia selain ke sekolah, tetapi setidaknya sang kakak bukan tipe orang yang akan mengadu kepada orang tua mereka.
Julia menarik napas panjang-panjang, merasa senang untuk kebebasan sesaat yang ia rasakan. Ia memang naif, hanya saja ... cukup sulit dijelaskan. Menginginkan kebebasan? Mungkin itu hasrat terpendam Julia.
Sesekali menjadi anak yang pembangkang, jelas tidak mengapa, bukan? Julia tidak sedang melakukan dosa besar.
Baru satu kali ini saja ia melakukan pembangkangan. Jadi, menurutnya ini semua tak apa-apa asal tidak berkelanjutan.
Julia yang sedang berada di kursi belakang motor mendekap erat sang kekasih, lantas menyandarkan kepalanya di punggung Jacob yang berbalut jaket hitam. Keduanya sedang dalam perjalanan menuju rumah pria berkulit sedikit gelap, tetapi eksotis dan tampan.
Masih di belakang Jacob yang sibuk berkonsentrasi mengendarai kuda besinya, Julia mengeluskan pipinya secara perlahan di permukaan jaket sang kekasih, lalu kemudian ia terkekeh pelan. Betapa beraninya dia, kemana sikap naifnya selama ini?
Jacob tak berkomentar apa-apa saat tangan Julia yang berada di perutnya lantas berpindah ke atas paha dan mengelusnya secara perlahan.
Dengan gerakan lembut—terkesan erotis—Julia mengusap paha Jacob yang bisa dijangkau oleh tangannya berulang kali. Ketika tak sengaja tangannya merangkak naik ke bagian sensitif milik pria itu, Julia terdiam sesaat sambil sesekali mengingat ajaran yang diberikan oleh Hana beberapa hari yang lalu.
Ketika sedang asyik bercerita dengan sang sahabat, tepat di hari Jacob yang mengajaknya ke rumah, Julia dengan rasa penasarannya yang tinggi pun meminta tips kepada gadis yang tidak pernah berpacaran.
Hana yang memang telah belajar banyak hal dari film-film yang pernah ia tonton pun dengan penuh kesabaran—dan juga semangat—mengajari Julia cara bertamu ke rumah pacar dan berboncengan di motor yang benar kepada sang sahabat.
Julia yang tidak tahu-menahu dengan judul-judul film yang disebutkan Hana hanya diam saja mendengarkan dengan antusias. Mulai sekarang, Hana akan menjadi guru khusus masalah percintaannya. Begitulah kira-kira pemikiran Julia saat itu.
Melihat Jacob hanya diam saja dengan tindakannya, membuat Julia kembali mempraktikkan apa yang dikatakan oleh Hana. Gadis itu dengan lugunya meremas bongkahan di celana sang kekasih sesuai dengan apa yang telah ia pelajari.
"Julia, berhenti melakukan itu," tegur Jacob secara tiba-tiba . Julia tersentak dan langsung menjauhkan tangannya. "Kenapa? Tidak ... boleh ya?" Tanyanya lirih.
"Bukan, karena kita sudah sampai." Bersamaan dengan ucapan itu, Jacob melambatkan laju kendaraannya dan berhenti tepat di depan sebuah gerbang rumah minimalis berwarna biru yang terlihat nyaman.
Julia turun dari motor dengan hati-hati, lalu menatap rumah sang kekasih dengan antusias.
Jacob yang telah selesai menyimpan motor besar kesayangannya di bagasi kecil yang terpisah dari rumah, lantas menghampiri sang kekasih seraya menyodorkan tangannya kepada Julia. "Ayo, masuk."
Julia menerima uluran tangan tersebut dengan perasaan riang.
+++
Jacob mengajak Julia mengelilingi rumah satu lantai yang berhasil ia beli setelah berjuang untuk menabung selama tujuh tahun lamanya.
Desain luar rumah yang terlihat sederhana, tetapi ternyata sangat elegan di dalam, suasana tiap ruangan yang terasa hangat, belum lagi perapian yang menambah kesan indah dari istana kecil milik kekasihnya.
Membuat Julia menjadi sangat senang dan tidak menyesal karena telah pergi tanpa memberitahukan kedua orang tuanya. Gadis itu benar-benar sudah jatuh terlalu dalam.
"Aku sudah tinggal di rumah kecil ini sejak umurku menginjak 17 tahun." Ucapan Jacob berhasil mengejutkan Julia yang sedang mengamati interior rumah.
"Orang tuamu?" Tanya Julia seketika, sungguh ia tak tahu jika pertanyaannya itu akan membuat Jacob kembali mengingat masa lalunya yang kelam.
Jacob tersenyum tipis, gurat kesedihan tampak di wajah tampannya. Lelaki dengan anting di telinga kanannya itu lalu menggeleng pelan. "Aku sudah tak lagi mempunyai orang tua," ucap Jacob dengan tenang, tetapi berhasil mengejutkan Julia.
"Maaf," bisik sang kekasih dengan penuh penyesalan, Julia lalu menundukkan kepalanya dalam-dalam. Gadis itu takut kekasihnya marah, dan ekspresi memelas gadis itu membuat Jacob yang melihatnya tersenyum tipis. Ia merasa tak ada yang salah dengan pertanyaan Julia, karena itu semua adalah pertanyaan biasa.
Pria itu lalu memberantakan rambut panjang berwarna cokelat gelap milik Julia sampai tidak lagi terlihat rapi. "Tak perlu minta maaf, karena hidup harus tetap berjalan, bukan?"
Julia yang sebelumnya menundukkan kepala, sontak menengadah dan menatap iris mata yang serupa dengannya. Jantung gadis itu berdegup kencang. Mungkinkah sekarang adalah saat yang tepat untuknya mencoba ajaran Hana yang baru?
Gadis itu menggeleng cepat, hingga menimbulkan tanda tanya bagi Jacob yang sedari tadi memperhatikan. Ini bukan saatnya untuk mencoba. Julia harus membangun suasana yang pas dulu, ia harus mencari waktu yang tepat.
"Ada apa?" Tanya Jacob. Wajahnya terlalu dekat dengan sang kekasih, hingga menyebabkan wajah kekasihnya itu bersemu merah.
Julia menjawab, "Ti-tidak. Bukan apa-apa."
Jacob lalu mengajak Julia ke dapur, untuk membuatkannya minuman. Kemudian pria berbadan tegap dengan pundak lebar membawa kekasihnya ke ruang tamu. "Kau mau nonton film, Julia?" Tanyanya sambil membongkar kotak DVD.
Julia yang sudah duduk di sofa panjang, lantas menatap pria yang berjongkok di bawah televisi. Memperhatikan dengan saksama tubuh sang kekasih dari belakang. Benar-benar terbentuk. Seksi. Idaman.
Gadis itu jadi teringat dengan ucapan Hana, sahabat pirangnya pernah mengatakan bahwa lelaki idaman itu adalah mereka yang memiliki bentuk tubuh yang ideal dan nyaman untuk dipeluk. Julia waktu itu sempat sangsi, sebab Hana belum pernah memiliki kekasih.
Kini, ia justru mengiyakan ucapan sang sahabat dan percaya dengan kata-kata yang sebelumnya pernah ia remehkan. Kekasihnya itu ... sungguh seksi. Benar-benar lelaki sejati.
Sambil berusaha menenangkan diri, karena teringat dengan salah satu pesan Hana yaitu jangan agresif dan bersikap tenang saja, membuat Julia hanya duduk diam memandangi Jacob.
Bosan menunggu kekasihnya selesai memilah kaset, Julia lantas mengedarkan pandangannya ke sekitar. Mereka berdua memang berada di ruang tamu, tetapi ruangan itu tidak terasa seperti ruang untuk menjamu tamu.
Sama sekali tak ada bingkai foto berisi potret anggota keluarga di dinding ruang tamj. Padahal itu adalah ciri khas dari setiap rumah. "Sayang, kenapa rumahmu tak punya gantungan foto di dinding?" Tanya Julia penasaran.
"Oh, itu ya?" Jacob yang telah selesai mencari film yang bagus untuk ditonton, beranjak mendatangi sang kekasih, kemudian duduk di sampingnya. "Karena adikku tak pernah menyukainya. Jadi, untuk menjaga perasaan masing-masing, kami tidak pernah memasang foto di dinding."
Julia mengangguk mengerti, lalu kembali bertanya, "Jadi ... adikmu sekarang di mana?"
Jacob yang hendak menunjukkan film yang ingin ia tonton bersama Julia segera menoleh ke arah sang kekasih. "Adikku? Ah, tadi dia pergi terburu-buru. Padahal aku ingin mengenalkanmu padanya," jawab Jacob dengan tenang. "Kau mau menonton ini?"
"Apa itu?" Julia berangsur merapat pada Jacob, seraya menatap DVD berjudul Shame di tangan kekasihnya. "Seperti apa filmnya? Apakah seru?" Tanyanya ingin tahu.
Jacob mengedikkan bahu. "Aku belum pernah menontonnya, tapi adikku pernah," jawab lelaki itu dengan tenang. "Kau mau menonton ini?"
Melihat sampul depan DVD yang tampak sedikit mencolok karena pemerannya yang tampan, membuat Julia penasaran terhadap isi dari film yang judulnya hanya terdiri dari lima kata. "Boleh," jawab sang gadis.
Jacob pun berdiri dan memutar kaset film tersebut. Keduanya lalu menonton dengan tenang. Semula, filmnya berjalan lancar hingga tiba di adegan di mana sang pemeran utama bercinta. Kontan saja Julia terperangah, dan Jacob dengan sigap menutup mata sang kekasih.
"Ah, tak apa kok!" Seru Julia dengan panik. Pembelajarannya dengan Hana akan gagal total, jika ia tak bisa melihat film seperti yang terpampang jelas di depannya. Gadis itu perlu contoh dan film ini memberikannya sebuah gambaran yang bagus.
Untuk pertama kalinya, Julia menonton film yang ternyata memiliki banyak sekali adegan erotis di dalamnya, gadis itu dapat mengambil kesimpulan bahwa film ini bercerita tentang kehidupan di kota New York yang cenderung rumit.
Dengan tingkat stres orang-orangnya yang tinggi, hubungan seks dianggap sebagai jalan keluar. Tetapi di balik semua itu, film yang sedang mereka saksikan ini ternyata ingin mengajarkan bahwa terlalu banyak berhubungan seks justru bisa jadi hal yang memalukan.
Sejauh menonton film di depannya, Julia dapat merasakan emosinya naik turun, bersamaan dengan perasaan bergejolak yang tidak ia ketahui berasal dari mana.
Julia lalu menoleh ke arah Jacob yang ternyata juga memandang dirinya. Keduanya lalu bertatapan cukup lama.
Sepasang kekasih itu terlihat sama-sama sibuk mengantarkan perasaan panas dan penuh gejolak ke hati masing-masing.