Bab.7. Making Out Kebablasan
Kencan makan malam yang dijalani oleh Aurel dan Reynold terasa asik karena gadis itu selalu bertingkah apa adanya tanpa berniat jaga image. Tanpa Reynold sadari dia mulai merasa nyaman berada di samping Aurel yang sebenarnya dia pacari hanya untuk iseng saja.
Dia hanya berpikir karena Aurel masih begitu belia, tidak akan ada pikiran yang mengarah ke pernikahan atau hal rumit sejenisnya yang telah ia jalani bersama Hesti. Dan memang benar, gadis remaja itu menjalani kencan malam ini dengan tanpa beban, tertawa serta bercanda tanpa merasa malu bersama Reynold.
"Wah, kamu makannya banyak, Rel! Apa nggak takut gendut?" ujar Reynold sambil menyendok lasagna yang masih tersisa setengah porsi di piring saji.
Dengan santai Aurel menjawab sembari menyendok puding mangga lalu mengunyahnya, " Bodo amat sih, gendut itu bukan karena makan banyak, tapi jarang gerak, Ayang Rey!"
Reynold pun terkekeh mendengar jawaban Aurel lalu dia melanjutkan, "Kamu emang suka olah raga apa? Senam aerobik?"
"Zumba, aeroBL, kadang fitness juga di Celebrity Gym tuh di Lippo Mall. Kalau kamu olah raga juga nggak?" jawab Aurel santai. Dia mengamati tubuh berotot padat Reynold dengan menebak-nebak dalam batinnya sepertinya pria di hadapannya itu juga sering ngegym.
"Iya kok sama sih, tapi kita nggak pernah papasan di Celebrity Gym, Rel! Kamu biasanya jadwal ke sana kapan?" sahut Reynold tertarik karena tempat dia memahat tubuh sama dengan langganan Aurel.
"Ohh ... pantes bodi kamu keren, Ayang. Aku 3 kali seminggu tiap Selasa, Kamis, Sabtu sore jam limaan gitu," balas Aurel. Sepertinya dia sudah terlalu kenyang untuk menghabiskan menu makan malam yang masih ada di meja makan restoran itu.
Namun, Reynold yang mengerti pikiran gadis itu pun berkata, "Udahan yuk, Rel. Kita cabut sekarang. Mau kemana lagi nih sudah jam 8 malam lebih?"
"Katanya mau ke apartment kamu tadi—" Aurel pun bangkit dari kursinya.
"Aku bayar bill makan malam kita ya, Cantik! Yuk gandeng aku ...," ujar Reynold menyodorkan lengannya kepada Aurel yang langsung mengaitkan tangannya di sana.
Selepas meninggalkan Portable Bistro, Reynold melajukan mobilnya menuju ke Jasmine Park. Lalu lintas kota Yogyakarta di malam hari tidak terlalu padat bila bukan weekend atau tanggal merah nasional. Sembari mendengarkan siaran radio Swaragama FM yang diputar di sound sistem mobil Reynold, gadis remaja itu bertanya, "Ayang, tumben nggak jalan sama Mbak Hesti? Apa dia nggak nanyain kamu lagi ngapain gitu?"
Mendengar pertanyaan kepo dari Aurel, Reynold pun tersenyum tipis. "Tadi aku bilang ada janji dinner sama temen ke Hesti. Dia bilang boleh tuh," jawabnya santai.
"Kalau Mbak Hesti tahu jalannya sama aku, kayaknya kamu bakal diomelin deh. Ini kita tuh mau backstreet dari dia? Nggak paham aku sama jalan pikiran kamu aslinya gimana—" Aurel menoleh memandangi Reynold yang sedang berkonsentrasi menyetir.
"Aku seneng sih jalan sama kamu, Rel. Lebih santai dan nyaman aja. Lagian daripada kamu ngegodain dan ngejar-ngejar Bang James, mendingan pacaran sama aku aja deh. Emang kamu mau dicap jadi pelakor?" ujar Reynold berkelit dari pertanyaan Aurel yang masih belum ia putuskan kemana arah hubungan mereka yang seumur jagung ini.
"Hmm ... dicoba deh. Cuma kamu lagi mendua hati, Ayang Rey! Kalau aku juga jalan sama yang lain boleh dong? Biar impas gitu," balas Aurel ringan. Dia merasa bahwa Reynold curang dengan menduakannya terang-terangan.
"Eitts ... jangan dong! Kamu nekad ya ngeduain dosen kamu, Non. Nyali kamu gede banget, mau kukasi nilai D di mata kuliah Parasitologi?" ancam Reynold main-main.
Aurel pun berdecak kesal dengan wajah mendung membalas tatapan Reynold. Dia tidak suka diancam begitu. "Ngerasa nggak kalau ngancamnya gak adil, Prof?" tukasnya.
"Biarin aja ... suka-suka aku dong! Pokoknya kamu selama kita pacaran nggak boleh jalan sama cowok lain siapapun itu. Paham?" tegas Reynold dengan otoriter. Kemudian ia pun memarkir mobilnya di parkiran mobil lantai basement sebelum mengajak Aurel turun dari mobil.
Mereka berdua berjalan bersisian menuju ke lift, lengan Reynold merangkul bahu gadis itu. Kemudian mereka naik ke lantai 8 tempat unit Reynold berada.
"Silakan masuk, Baby A! Anggap aja seperti rumah sendiri, oke?" sambut Reynold dengan ramah. Dia melepas alas kakinya lalu mengajak Aurel duduk di sofa ruang tengah sambil menghidupkan TV. Jam dinding menunjukkan pukul 21.15 WIB.
"Kost kamu ada jam malam nggak, Non?" tanya Reynold sambil memeluk tubuh ramping Aurel yang bersandar di sisinya.
"Seharusnya jam 10 malam sudah harus pulang sih. Cuma emang kalau ada perlu kayak ngerjain tugas apa kerjaan gitu bisa hubungi mbak kostnya buat dibukain pintu gerbang," jawab Aurel apa adanya. Dia sedikit menyukai cara Reynold memeluknya, pria itu sopan dan tangannya tidak menggerayangi tubuhnya dengan sembarangan.
Tangan kanan Reynold memegang dagu Aurel hingga gadis itu mendongak menghadapnya. Perlahan bibirnya menyapa bibir merah muda kenyal itu, memberikan pagutan yang dalam dan intens. Lidahnya menelusup masuk membelai lidah Aurel hingga gadis itu memejamkan matanya terbawa kemesraan mereka berdua.
Ketika Reynold melepaskan belitan lidahnya dan juga pagutannya di bibir Aurel yang bengkak, dia mulai menyusuri leher mulus beraroma bunga lembut itu dengan bibir dan hidung mancungnya. Desahan pelan meluncur dari mulut gadis itu merasakan sentuhan Reynold di tubuhnya.
Resleting punggung gaun off shoulder itu diam-diam diturunkan oleh Reynold. Bagian dada gaun itu pun melorot dengan sepasang bulatan kembar yang terekspos di hadapan Reynold. Bibir pria itu melumat puncaknya sembari membelainya dengan jemari tangannya.
Bagi Aurel sentuhan intim dari lawan jenis baru ia rasakan sekali ini. Dia penasaran dan juga merasa keenakan, maka ia pun membiarkan Reynold melakukan apa yang diinginkan dengan tubuhnya.
"Aurel Sayang ... kita cukup sampai setengah badan atas kamu aja ya?" ujar Reynold menatap wajah gadis itu yang merona karena terbakar gairah.
"Iya, jangan diterusin, Ayang. Aku serem ntar keterusan jadi hamil, bisa diamuk bokap nyokap akunya!" jawab Aurel masih waras pikirannya.
Tangan Reynold masih memain-mainkan bulatan kembar yang menggoda indera penglihatannya. "Bagus loh bentuknya ... montok sekalipun badan kamu kurus kering begini. Makanannya nyalurnya ke bagian dada kayaknya," seloroh Reynold yang sontak mendapat cubitan di pinggang dari tangan Aurel.
"Jago bener kalau beginian, Prof. Dulu sering praktik sama cewek bule di Amrik ya?" ujar Aurel kepo maksimal.
"Iya, tiap malam sambil mabok miras. Aku nggak ingat nama mereka dan wajah mereka. Pokoknya puas, itu aja yang kutahu!" jawab Reynold sambil menyosor lagi lehernya dan meninggalkan kiss mark yang banyak di kulit seputih susu itu.
"Ehh, Ayang kamu bikin cupang sih. Besok kan aku kuliah, nanti dilihatin teman-teman jadi malu lho!" tegur Aurel menangkap wajah Reynold yang tadinya menyosornya tiada henti.
"Pake syal aja atau kemeja yang kerahnya tinggi. Jangan lupa kasi bedak!" Usai menjawab keluhan Aurel, dia menelentangkan tubuh gadis itu dan membenamkan wajahnya di lembah yang ada di antara bukit berpuncak merah muda kecoklatan itu.
"Aku dipulangin ke kost jam berapa, Ayang Rey?" tanya Aurel sembari mengacak-acak rambut di kepala Reynold yang masih sibuk mencumbu dirinya.
"Hmm ... nemenin aku bobo di sini aja ya? Janji deh nggak kunaikin, kita pelukan aja sampai pagi. Mau ya?" balas Reynold membujuk Aurel.
"Oke, besok pagi anterin jam enam pulang ke kost ya?" sahut Aurel.
"Oke. Kugendong ke kamar ya? Bobo kamunya naked, aku tetap pakai celana boxer. Mau nggak?" tawar Reynold sembari merengkuh tubuh ramping yang setengah telanjang itu.
"Pokoknya jangan dimacem-macemin aja, Ayang!" Aurel membiarkan Reynold menggendongnya ke kamar tidurnya.
Namun, ketika Aurel melihat foto yang terpajang di dinding kamar Reynold, dia terkesiap. Sebuah foto pengantin dengan 2 orang pria dan seorang wanita cantik. Ketiganya adalah dosen Aurel di kampus.
"Foto yang menarik, Prof. Bisa kamu jelaskan apa artinya?" ucap Aurel dengan mata berkilat berbahaya menatap wajah Reynold yang galau.