2. Upaya Melarikan Diri
Bagi Bintang memutuskan aliran listrik seperti itu, bukanlah hal yang sulit. Ibunya yang seorang pengusaha dan bergerak dibidang listrik sering mengajaknya ke kantor.
Di sana Bintang banyak bertanya kepada karyawan yang sedang melakukan uji coba tentang listrik. Karena itulah Bintang tahu bagaimana cara membuat kebakaran melalui jaringan listrik, mengatur jarak, hingga tidak menimbulkan korban.
“Kak, apa kita sudah menang? Mami dan Papi mana?”
“Pertandingan belum berakhir, masih ada yang harus kita lakukan. Ikuti kakak ya?”
Bintang membawa Mentari ke dalam kerumunan orang-orang dan menghilang di antara gang sempit.
Melihat segerombolan laki-laki yang mengenakan jas hitam menatap sekeliling, seperti sedang mencari sesuatu. Bintang segera menarik sang adik ke dalam persembunyian dan membungkam mulut sang adik.
Walaupun tidak yakin kalau segerombolan lelaki berjas itu adalah penjahat, tapi bagi Bintang sekarang waktunya untuk waspada.
Begitu ada kesempatan Bintang langsung mengajak adiknya bersembunyi di dalam mobil pick up yang isinya spring bed.
Bintang dapat bernafas lega ketika mobil itu mulai melaju meninggalkan kota.
“Kak, kita mau ke mana? Kenapa mami dan papi tidak ada?” bisik Mentari di telinga Bintang.
Haruskah aku terus berbohong? Tapi Mentari terlalu kecil untuk tahu kalau sekarang mami dan papi sudah tiada! Apa yang harus aku lakukan sekarang? Kenapa Tuhan mengambil mami dan papi secara bersamaan? Kenapa juga dengan cara sekeji ini?
Kata orang, hidup dan mati seseorang ditentukan oleh sang pencipta, tapi apakah ini takdir orangtuaku? Kenapa? Mentari masih kecil! Mentari tidak tahu apa-apa, Dia masih butuh kasih sayang orangtuanya! Kenapa Engkau mengambil mami dan papi dari kehidupan kami? Kenapa?!
Adilkah hidup ini? Ada yang hidupnya sampai sembilan puluhan tahun, tapi kenapa ada juga yang masih kecil sudah meninggal? Orangtuaku masih tigapuluh tahunan, kenapa Engkau memanggil mereka secepat itu? Dengan cara yang mengenaskan pula?!
Tidak! Ini bukan takdirmu, manusia kejam itulah yang membuat aku dan adikku harus kehilangan orangtua. Aku akan membalaskan kematian mami dan papi!
“Kenapa kakak menangis? Apa Mentari salah?”
Pertanyaan sang adik menambah rasa sakit di hatinya.
“Kakak tidak akan nangis lagi, tapi Mentari harus janji tidak akan menyebut nama mami dan papi kepada siapapun mulai sekarang, walaupun itu teman baik Mentari. Mami dan papi pesannya gitu,” bisik Bintang sambil memeluk sang adik.
Mentari menatap sang kakak dalam kebingungan dan bertanya, “Maksudnya?”
“Jangan menyebut nama mami dan papi lagi. Setelah usia Mentari sepuluh tahun, kakak janji akan memberitahukan apa yang sebenarnya terjadi.” Jelas Bintang.
“Apa Mentari sayang sama mami dan papi?”
“Sayang.”
“Kalau sayang … ikuti saja perintah kakak ya? Karena mami dan papi menginginkan Mentari baik-baik saja. Janji sama kakak. Mentari tidak akan pernah mengatakan kalau kita adalah keluarga Morales.” Kata Bintang, jari kelingkingnya diangkat keatas.
“Janji.” Mentari menyilangkan jari kelingkingnya dan disatukan dengan jari kelingking sang kakak.
Setelah hampir empat jam perjalanan, mobil berhenti disebuah restoran kecil, di tempat terpencil.
Bintang menatap dua orang yang turun dari mobil, memasuki restoran.
‘Pembunuh mami dan papi bukan orang biasa, kalau aku dan adikku hanya menggunakan mobil ini tentu saja bisa dilacak lewat CCTV. Aku yakin cepat atau lambat mereka pasti akan menemukan kenyataan, kalau anak keluarga Morales belum meninggal,' batin Bintang yakin.
Walaupun bingung, tapi Mentari hanya mengikuti, ketika Bintang memberi komando padanya untuk ikut turun.
Berlahan keduanya melangkah, menerobos dinginnya malam.
Walaupun dingin menyengat, tapi itu sama sekali tidak dirasakan Bintang. Ingatannya kembali kepada lelaki yang membunuh orangtuanya secara tragis.
“Mentari kedinginan, Kak.”
Bintang menarik nafas panjang, tidak ada yang dapat dilakukannya selain memeluk sang adik dengan erat, “Bertahanlah, Dik.”
Merasakan tubuh sang adik agak hangat, membuat Bintang gemetaran.
‘Tidak! Mentari tidak boleh demam, di sini tidak ada siapapun, di sini juga tidak ada dokter!’ batin Bintang khawatir.
Namun, harapan Bintang sia-sia. Tubuh adiknya mengigil, sedangkan suhu badannya panas.
Tidak mau terjadi sesuatu dengan Mentari, Bintang berusaha menghentikan mobil yang lewat di jalanan sepi itu.
Bukannya berhenti, mobil justru semakin melaju. Seperti baru melihat hantu.
Sampai akhirnya tidak ada pilihan lain bagi Bintang, selain mempertaruhkan nyawanya demi sang adik.
Saat ada mobil hendak lewat, Dia dengan berani langsung berdiri menghadang di tengah. Matanya terpejam, tangannya gemetar.
“Apa kamu gila, ha? Kalau mau mati jangan di sini! Lompat dari Gedung atau terjun di sungai atau apalah, yang penting tidak merugikan orang lain!” gerutu lelaki muda yang keluar dari mobil dengan penuh amarah.
“Maaf, kak. Adikku demam, aku tidak tahu harus minta tolong siapa lagi.” Kata Bintang pasrah, jari telunjuknya menunjuk Mentari yang duduk dipinggir jalan dengan tubuh mengigil.
Lelaki itu langsung saja mendekati Mentari dan memeriksa suhu tubuhnya. “Kenapa kalian berdua sendirian di sini? Mana ayah dan ibumu?”
“Maaf, kak, Kami hanyalah gelandangan, kami terbiasa hidup berpindah-pindah. Kami tadi mengikuti mobil pick up, tapi saat mobil berhenti kami ikutan turun untuk melihat-lihat. Saat kami balik mobil itu sudah pergi.” Kata Bintang berbohong.
“Kamu jangan coba berbohong, pakaian yang kalian kenakan jelas sekali merek mahal, atau ….” Lelaki itu menatap Bintang.
Bintang tercekat mendengar hal itu, dia sama sekali tidak memikirkan kalau pakaian yang dikenakannya dan sang adik merupakan barang brend ternama.
“Cepat naik ke mobil kakak.” Perintah lelaki itu dan membantu Mentari berjalan.
Lelaki tidak dikenal itu langsung menghidupkan pemanas mobil dan memberikan pakaian ganti kepada Bintang. “Ini pakaikan kepada adikmu, juga kamu. Maaf kakak hanya punya kaos itu. Tapi tak apalah, nanti kalau sampai di toko pertama, kakak belikan pakaian untuk kalian berdua. Dan ingat … jangan mencuri lagi.”
Lelaki itu mengira Bintang dan Mentari mencuri jemuran orang.
Tidak lama setelah berganti pakaian dan minum obat, Mentari terlelap dalam pangkuan sang kakak.
Hampir satu jam perjalanan, mobil berhenti disebuah toko dipinggiran kota. “Kalian berdua tunggu di sini saja, nanti kakak balik lagi.”
Tidak sampai sepuluh menit lelaki itu telah kembali. “Ini pakaian untuk kalian.”
Bintang menerima pemberian lelaki itu dan mengucapkan terima kasih.
Walaupun bingung, tapi lelaki itu tidak dapat berbuat apa-apa ketika Bintang dan sang adik bersikeras menolak untuk tinggal di rumahnya.
“Ya sudah, ini uang untuk kalian. Jika suatu saat kalian membutuhkan bantuan, ini kartu nama kakak. Simpan baik-baik.” Kata lelaki itu sambil memberikan kartu nama kepada Bintang.
“Terima kasih, kakak ganteng.” Kata Mentari tersenyum.
Mobil lelaki itu meluncur dengan kecepatan sedang meninggalkan Bintang dan Mentari.
"Kenapa kita tidak ikut kakak ganteng itu saja, kak?" tanya Mentari bingung.
‘Maaf, Dik. Kakak tidak mau menyeret orang lain ke dalam masalah kita,’ batin Bintang.
Ya! Bintang tidak mau kalau lelaki itu ikutan meninggal di tangan pembunuh orangtuanya.
Uang yang diberikan lelaki itu, digunakan Bintang untuk naik bus tiga kali, kemudian naik kereta api.
Bintang memilih meninggalkan tempat asalnya, dan pergi sejauh mungkin. Walaupun dia sendiri tidak punya tempat tujuan.
