Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

4

Hidupku tak pernah sempurna, tapi setidaknya aku pernah merasakan kebahagiaan sederhana. Rumah ini, meskipun tak besar, adalah tempat di mana aku dibesarkan dengan penuh cinta. Namun, malam ini, semua kenangan indah itu dihancurkan dalam sekejap. Dalam hitungan detik, aku menyaksikan dunia kecilku runtuh, menyisakan luka dan kepedihan yang terlalu sulit untuk disembuhkan.

Namun, pria itu hanya tertawa kasar dan melanjutkan serangannya pada ayah dan paman. “Kalian harus belajar untuk membayar hutang kalian. Kalau tidak, kami ambil semuanya!”

Paman Dante, yang sebelumnya terjatuh, berusaha bangkit meskipun tubuhnya gemetar. “Kami akan bayar, tolong beri kami waktu.”

Namun, waktu sudah habis. Pria itu menatapku dengan tatapan tajam. “Kalian cuma punya satu minggu. Kalau dalam waktu itu hutang ini tidak dilunasi, rumah ini milik kami. Dan kalau masih berani melawan, kami tak segan-segan menghancurkan lebih banyak hal di sini.”

Setelah mengucapkan ancaman itu, pria tersebut dan anak buahnya pergi meninggalkan kami. Mereka tidak hanya meninggalkan luka fisik, tetapi juga kehancuran mental yang tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Aku memandangi ruangan yang berantakan, benda-benda yang sebelumnya menjadi saksi kebahagiaan kecil keluarga kami kini berserakan di lantai.

Aku terdiam beberapa saat, tubuhku lemas, tak tahu harus berbuat apa. Rumah yang dulu penuh dengan kenangan indah kini hancur, dan ayah serta paman masih terbaring lemah. Aku mencoba melangkah, tapi lututku terasa lemah. Rasanya seperti aku sedang terjebak dalam mimpi buruk yang tak berujung.

Aku mendekatkan tubuhku pada ayah yang berusaha bangkit dengan susah payah. “Ayah, kita harus ke rumah sakit. Kita harus perbaiki semuanya,” kataku dengan suara bergetar, mencoba menyembunyikan ketakutanku.

Ayah menatapku, lalu menggelengkan kepala dengan lemah. “Tidak, Savannah. Maafkan Ayah. Ini semua salah Ayah.”

Aku menggenggam tangan ayah erat, berusaha memberikan kekuatan. “Tidak, ini bukan salah Ayah. Kita akan melalui semua ini bersama. Aku akan cari cara untuk melunasi hutangnya.”

Paman Dante yang terjatuh mencoba duduk dengan susah payah. Wajahnya terlihat suram, penuh rasa bersalah. “Savannah, ini sudah sangat parah. Kita harus segera mencari jalan keluar. Mereka tidak akan berhenti sampai hutang itu lunas.”

Aku hanya mengangguk pelan. Sejujurnya, aku tidak punya solusi apa pun. Tetapi satu hal yang aku tahu, aku tidak akan membiarkan mereka merebut semuanya dari kami. Aku harus menemukan cara. Entah bagaimana caranya, aku akan melindungi keluargaku.

Aku menjadi cemas, kejadian tadi tidak bisa dianggap remeh. Ancaman pria itu terus terngiang di kepalaku, membuat dadaku sesak setiap kali mengingatnya. Rumah yang hancur, ayah dan paman yang terluka, serta hutang yang menggunung—semuanya terasa seperti beban yang terlalu berat untuk kutanggung. Tapi aku tak punya pilihan. Aku harus melakukan sesuatu.

Aku mengotak-atik ponselku dengan tangan gemetar, mencoba menghubungi Andrew, satu-satunya orang yang mungkin bisa memberiku solusi. Nada sambung terdengar, tapi panggilanku tak juga dijawab. Berkali-kali aku mencoba, namun hasilnya tetap nihil. Pesanku juga hanya menunjukkan centang satu, tak ada balasan sama sekali.

“Sepertinya dia sangat sibuk dengan pemotretan,” pikirku, mencoba memahami meskipun hatiku mulai dipenuhi rasa frustrasi. Aku menarik napas panjang, berusaha menenangkan diri, tapi setiap tarikan napas hanya membuatku semakin sadar bahwa waktu terus berjalan, dan aku masih belum menemukan jalan keluar.

Aku meletakkan ponselku di atas meja dengan kasar, lalu menjatuhkan diriku ke sofa yang penuh debu akibat kekacauan tadi. Kepalaku terasa berat, pikiranku penuh dengan berbagai kemungkinan buruk yang bisa terjadi jika kami tidak melunasi hutang dalam waktu seminggu.

“Mungkin aku harus mencoba menghubungi orang lain,” gumamku pelan. Tapi siapa? Kami tidak punya banyak kenalan yang bisa dimintai bantuan. Keluarga besar Ayah sudah lama memutuskan hubungan dengan kami. Teman-temanku? Tidak mungkin mereka memiliki uang sebanyak itu.

Aku meraih ponselku lagi, membuka daftar kontak, berharap menemukan nama lain yang mungkin bisa membantu. Tapi setiap nama yang kulihat hanya menambah rasa putus asaku. Tidak ada yang cukup dekat, tidak ada yang bisa kumintai pertolongan sebesar ini.

Kepalaku bersandar ke sandaran sofa. Air mataku mulai mengalir tanpa bisa kutahan. “Kenapa semuanya jadi seperti ini?” bisikku pelan. Rasanya aku ingin menyerah, ingin berhenti melawan. Tapi, di balik semua itu, bayangan wajah Ayah yang penuh penyesalan dan rasa sakit membuatku tidak bisa menyerah. Aku harus kuat, untuk Ayah dan Paman Dante.

Aku memejamkan mata sejenak, mencoba mengatur napas. “Baiklah, Savannah. Kalau Andrew tidak bisa dihubungi, aku harus mencari cara lain,” kataku pada diriku sendiri. Aku bangkit perlahan, mengambil secarik kertas dan pena dari meja. Aku harus membuat daftar apa saja yang bisa kulakukan, siapa saja yang bisa kumintai bantuan, dan apa yang bisa kujual untuk mendapatkan uang. Tidak peduli seberapa kecil kemungkinannya, aku tidak akan berhenti mencoba.

Namun, semakin lama aku menatap kertas kosong itu, semakin besar rasa putus asa yang melingkupiku. Tidak ada ide yang terlintas. Tidak ada jalan keluar yang terlihat jelas. Waktu terus berjalan, dan aku masih terjebak di tempat yang sama, tenggelam dalam ketidakpastian. Aku menggigit bibirku, para sepupuku yang lain juga menghilang entah kemana. Aku keluar dari kamar, langkahku berat meskipun rumah sudah terlihat rapi kembali. Bekas-bekas kekacauan tadi sudah dibersihkan, tetapi suasana suram masih terasa menghantui setiap sudut. Di ruang tengah, aku melihat ayah dan Paman Dante sedang duduk di sofa, mengompres luka-luka mereka sendiri dengan kain basah. Aku menghela napas panjang, mencoba menenangkan pikiranku yang masih penuh amarah.

“Di mana Paman Nicholas, Aurora, Laeticia, dan sepupu-sepupu yang lain?” tanyaku akhirnya, suara penuh nada tajam. Aku tidak bisa menyembunyikan kegeramanku. Bagaimana bisa mereka tidak terlihat saat kejadian sebesar tadi?

Paman Dante tersenyum kecil, tapi senyum itu jelas dipaksakan. “Mereka sudah kami suruh pergi mengamankan diri. Kamu lihat sendiri bagaimana kacaunya tadi, Savannah,” jawabnya sambil menatapku dengan sorot mata lelah.

Aku hanya mengangguk kecil, meskipun dalam hati aku masih merasa kesal. “Sepertinya hutang kalian lebih banyak dari yang kukira, dan ini pasti sudah terjadi sejak lama. Jadi pantas saja kalau semua ini sampai terjadi,” ujarku dengan nada malas, lebih kepada melampiaskan rasa frustrasi.

Ayah dan Paman Dante saling berpandangan sejenak, seolah berbicara tanpa kata-kata. Ayah akhirnya menghela napas berat dan menundukkan kepalanya. “Kami memang menyembunyikan ini darimu. Kami tidak ingin kamu khawatir,” katanya dengan suara pelan, hampir seperti bisikan.

“Tapi lihatlah sekarang,” potongku cepat, suara meninggi tanpa sadar. “Kalian pikir aku tidak khawatir sekarang? Ancaman mereka bukan main-main, Ayah! Kita punya waktu satu minggu, dan aku bahkan tidak tahu dari mana harus memulai untuk menyelesaikan semua ini.”

“Kami sedang mencari cara, Savannah. Percayalah,” jawab Paman Dante, berusaha menenangkanku. Tapi kata-katanya terdengar hampa, seperti janji yang tidak akan pernah terpenuhi.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel