3
Aku memandang Eleanor yang duduk di depanku, sibuk memilih menu makan siang. Ia tampak tenang, kontras dengan hatiku yang terasa sesak setiap kali memikirkan pertunanganku dengan Andrew. Sesuatu yang seharusnya menjadi momen bahagia malah terasa seperti belenggu yang sulit kulepaskan. Aku mencoba mengalihkan pikiran dengan memainkan ponselku, berharap ada kabar dari Andrew. Namun layar tetap kosong—tidak ada pesan, tidak ada panggilan. Seolah aku sedang terjebak dalam ruang hampa yang sunyi.
Eleanor akhirnya mengangkat wajah setelah selesai memesan. "Savannah, kamu nggak makan?" tanyanya dengan nada lembut, penuh perhatian.
"Aku pesan sama seperti kamu aja," sahutku singkat. Selera makan benar-benar lenyap, dan aku tak punya energi untuk memikirkan makanan. Aku bahkan tidak merasakan rasa lapar sedikitpun. Apa yang dikatakan ayah tadi sangat mengganggu diriku..
Eleanor hanya mengangguk, lalu berkata pelan, "Aku tahu semua ini berat buat kamu. Tapi mungkin kamu bisa pertimbangkan untuk kembali ke Swiss. Kamu sudah terbiasa mandiri di sana, kan?"
Aku mengangguk kecil, meski tanpa keyakinan. Pemikiran kembali ke Swiss memang sempat terlintas, tetapi ada sesuatu di sini yang membuatku merasa perlu bertahan. Entah itu tentang Andrew atau misteri yang menyelimuti keluarga Moana dan warisan mereka.
"Kenapa kamu nggak coba hubungi Moana?" Eleanor melanjutkan dengan nada hati-hati. "Siapa tahu ada kesalahpahaman... atau mungkin ada sesuatu yang lebih dari yang kita tahu."
Aku mendesah panjang, lalu mengetik nama Moana di kolom pencarian media sosial. "Aku nggak punya kontaknya, dan dia kelihatannya nggak aktif di medsos. Aku bahkan nggak tahu mulai dari mana."
Eleanor memandangku dengan tatapan simpati. "Kalau gitu, coba tanyakan ke paman Dante. Dia mungkin tahu sesuatu."
Aku mengangguk lagi, meski ragu. Paman Dante, satu-satunya anggota keluarga yang masih menunjukkan sikap ramah, bisa saja menjadi titik awal. Tetapi akankah jawaban yang kudapat membuat semuanya lebih baik?
Makanan kami tiba, tetapi aku hanya memandangi piringku tanpa selera. Eleanor mulai makan, sementara aku sibuk memainkan garpu dan sendok tanpa benar-benar menyentuh makanan. "Savannah," panggilnya pelan, memecah lamunanku. "Aku tahu ini sulit, tapi kamu nggak bisa terus-terusan seperti ini. Kamu harus menghadapinya."
"Aku nggak menghindar," jawabku pelan, hampir berbisik. "Aku cuma... nggak tahu harus mulai dari mana."
Eleanor menarik napas panjang sebelum menjawab, "Mulai dari yang kecil. Tanyakan ke paman Dante dulu. Kalau dia nggak tahu apa-apa, kita pikirkan langkah berikutnya."
Kata-katanya masuk akal, tetapi hatiku tetap berat. Rasanya seperti melangkah di jalan gelap tanpa tahu di mana ujungnya. Namun, aku sadar Eleanor benar—aku harus mulai dari sesuatu.
---
Setelah selesai makan, kami kembali ke mobil. Eleanor mencoba menghiburku sepanjang perjalanan dengan cerita-cerita ringan tentang kehidupannya di kampus. Aku berusaha tersenyum, meskipun pikiranku tetap penuh kecemasan.
Begitu sampai di rumah, aku langsung masuk ke kamar dan mengambil ponsel. Setelah beberapa saat ragu, akhirnya aku memutuskan untuk menelepon paman Dante.
"Halo, Savannah. Ada apa?" Suara ramahnya terdengar di ujung telepon, memberikan sedikit kelegaan.
"Paman, aku mau tanya soal Moana. Apa paman tahu di mana aku bisa menemukannya?"
Ada jeda sesaat sebelum paman Dante menjawab. "Moana sekarang di Paris. Tapi kalau soal perjodohan... itu sudah dibatalkan tiga tahun lalu. Jadi, kalau itu yang mengganggu pikiranmu, sebenarnya—"
Aku menggenggam ponsel lebih erat. Jadi Moana membatalkan perjodohan, dan aku yang akhirnya menggantikan posisinya? Dadaku sesak oleh amarah bercampur bingung. "Paman, maaf, tapi aku rasa aku nggak harus menggantikan Moana," kataku, mencoba menjaga nada suaraku tetap tenang meski emosiku memuncak.
Paman Dante mendesah pelan. "Bukan Moana yang membatalkan perjodohan itu. Itu keputusan cucu Tuan Wiratama sendiri. Moana juga tidak keberatan karena dia memang tidak mencintai pria itu. Bahkan, mereka belum pernah bertemu."
Aku terdiam, tercengang oleh informasi itu. Jadi ini keinginan pihak pria? Tapi kenapa? Apa motif di balik semua ini?
"Paman, aku... aku harus mencari cara untuk keluar dari ini. Aku sudah punya Andrew," kataku, mencoba menegaskan.
Paman Dante hanya menjawab pelan, "Baiklah, Savannah. Tapi hati-hati dengan setiap langkah yang kamu ambil."
Aku mengakhiri panggilan dan menutup mata, berusaha menenangkan diriku. Semua ini terasa seperti teka-teki yang semakin rumit. Apa yang bisa kulakukan untuk keluar dari situasi ini tanpa harus menikah? Kepala terasa berat, dan akhirnya aku memutuskan untuk membiarkan pikiran ini menghilang sejenak dalam tidur.
Setelah percakapan panjang dengan Paman Dante, aku terbaring di ranjang, tubuhku kelelahan. Namun, pikiranku tak bisa tenang. Ketegangan tentang hutang yang menumpuk dan ancaman para rentenir terus menghantuiku. Meski mata ini ingin sekali terpejam, aku sulit tidur. Tiba-tiba, suara gaduh dari luar kamar membangunkanku. Pintu yang didobrak dengan keras, diikuti teriakan kasar yang menggema di seluruh rumah.
Jantungku berdebar cepat. Dengan gemetar, aku bangkit dan membuka pintu kamar sedikit. Apa yang kulihat di ruang tamu membuat darahku serasa membeku. Beberapa pria besar berdiri di tengah ruangan, wajah mereka dipenuhi amarah. Ayah dan Paman Dante terpojok, tubuh mereka terhuyung-huyung setelah beberapa pukulan yang dilayangkan oleh para rentenir itu.
“Kalian pikir kami main-main? Hutang itu harus dibayar malam ini!” teriak salah satu pria, suaranya penuh amarah.
Ayah berusaha berbicara, meskipun suaranya terdengar lemah. “Tolong beri kami waktu. Kami akan bayar, janji.”
“Janji? Sudah berapa tahun kami tunggu?” salah seorang pria mendekat dan melayangkan pukulan keras ke wajah ayah. Tubuh ayah terjatuh ke lantai.
“Berhenti!” Aku berteriak, keluar dari persembunyian dan berlari ke arah mereka. Semua mata kini tertuju padaku. Salah satu pria besar itu menatapku dengan tatapan penuh ejekan.
“Siapa ini? Anak kecil mau ikut campur urusan orang dewasa?” katanya dengan sinis.
“Aku anaknya,” jawabku, meski suaraku bergetar. “Tolong jangan perlakukan ayahku seperti itu. Kami akan melunasi hutangnya.”
Dia tertawa keras. “Janji kalian nggak akan menyelesaikan masalah ini. Rumah ini akan kami ambil malam ini juga!”
Aku berusaha untuk tetap tegar, namun ketakutan mulai menguasai diriku. “Tolong beri kami waktu!” pintaku lagi.
Namun, itu semua sia-sia. Pria itu memberi isyarat pada anak buahnya untuk terus mengacak-acak rumah. Mereka mulai membongkar perabotan, melempar barang-barang ke lantai dengan kasar. Salah satu dari mereka bahkan menarik lukisan dinding dan merobeknya tanpa ampun, sementara yang lainnya terus menekan ayah dan Paman Dante yang terjatuh.
Aku mencoba untuk menghalangi mereka, namun seorang pria besar mendorongku dengan kasar, membuatku terjatuh ke lantai. Aku menahan rasa sakit yang mulai menjalar di tubuhku, tapi aku tak bisa membiarkan mereka begitu saja menyakiti keluargaku.
“Ayah!” Aku berteriak, berlari menghampiri ayahku yang tergeletak tak berdaya. “Ayah, bangun! Tolong, jangan diam saja!”
Ayah membuka matanya dengan susah payah. “Savannah… pergi ke kamar. Jangan di sini…” suaranya sangat lemah.
Tapi aku tidak bisa pergi begitu saja. Aku tetap berdiri di sampingnya, mencoba melindungi ayah dari serangan lebih lanjut. Namun, salah satu pria itu kembali mendekat dan menatapku dengan penuh kebencian.
“Anak kecil, kamu lebih baik mundur,” katanya, mengangkat tangannya dengan niat yang jelas.
Aku menggigit bibir, menahan rasa takut yang menguasai. “Aku tidak akan pergi. Jangan sentuh mereka lagi!” Aku bersuara dengan tegas, tapi dalam. hatiku dipenuhi dengan kecemasan. sepertinya ayahku dan paman tidak menceritakan jika masalah kebangkrutan ini separah ini. Namun melihat mereka yang seperti ini aku juga jadi tidak tega.