Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 2

Sedangkan sifat Cahya dan Kakaknya benar-benar berbeda. Cahya hangat, perhatian, romantis, tidak pernah tidak tersenyum pada dirinya. Tidak heran Kakak walaupun beberapa tahun lebih tua dari Cahya, tapi dia bahkan belum punya pacar sampai sekarang. Dengan wajah dingin seperti itu, wanita pasti sudah membeku sampai mati sebelum mendekat.

Vania berkata buruk mengenai penguasa di keluarga ini, tentu saja hanya berani di dalam hatinya. Walaupun meminjamkannya seratus keberanian pun dia tidak berani mengatakannya langsung di hadapan Kakaknya.

Mendengar Cahya mengatakan bahwa orang tuanya meninggal lebih awal, ketika berusia 20 tahun Kakaknya sudah mulai mengambil alih bisnis keluarga untuk mempertahankan keluarga ini. Jika bukan karena tangan besi sang Kakak, bagaimana mungkin bisa membuat perusahaan yang sudah bergoyang menjadi lebih besar dan lebih kuat, bahkan hingga tidak ada yang berani untuk meremehkannya.

Kakak yang seperti itu sangat dikagumi, disembah, terlihat seperti dewa, jadi cukup untuk dilihat saja. Vania sibuk di dapur dengan Maudy, bibi dari Cahya dan Dandy. Kemudian mereka membawa sarapan ke meja. Cahya dan Dandy, dua orang itu datang bersamaan dan duduk di ruang makan.

"Cahya, kamu sekarang sudah menikah selama satu minggu, bulan madu juga sudah selesai, hatimu juga sudah harus dikumpulkan. Hari ini pergi melapor ke perusahaan, posisi manajer sudah disediakan untukmu." Dandy berkata pada Cahya.

Cahya sangat enggan, tapi dia sangat patuh dan menganggukkan kepalanya. Ini adalah kesepakatannya dengan Kakaknya. Dia meminta Kakaknya untuk membantunya menggantikannya berhubungan badan dengan istrinya, sebagai imbalannya dia harus pergi bekerja di perusahaan.

Diam-diam Vania memandangi Kakak dan suaminya. Aneh, sebelumnya jika Kakak berkata menyuruhnya pergi ke perusahaan untuk bekerja, dia akan menemukan banyak alasan, kenapa hari ini langsung mengiyakan Kakaknya begitu saja? Apakah setelah bercinta dengannya, dia tahu bahwa dia harus bertanggung jawab untuk melewati hidup?

"Adik ipar."

Vania sedang tidak fokus, tiba-tiba mendengar Kakak memanggilnya, dengan cepat mendongak untuk menatap Dandy, "Kakak."

Dandy mengerutkan alisnya, lalu berkata dengan acuh tak acuh, "Setelah Cahya pergi bekerja, tidak bisa menjemputmu pulang dan pergi ke kampus setiap harinya. Aku sudah membelikanmu mobil di garasi, nanti menyetirlah sendiri pulang pergi ke kampus, perhatikan keselamatanmu."

Vania hampir tidak bisa mempercayai apa yang didengarnya, sejak dia memasuki rumah ini mungkin ini adalah pertama kalinya Kakak berbicara begitu panjangnya pada dirinya. Kakak membelikannya mobil, menyuruhnya memperhatikan keselamatan. Ternyata Kakak tidak sedingin dan sekaku kelihatannya.

Cahya menyentuh Vania di bawah, Vania tahu bahwa dia bertindak tidak sopan, dengan cepat kembali fokus, wajahnya sangat tersipu, "Terima kasih, terima kasih Kakak. Aku tadi, itu..."

Vania biasanya sangat pandai berbicara, tetapi pada saat ini, lidahnya seperti diambil oleh kucing. Mata Kakak yang begitu gelap memandang dirinya sekilas, pasti sedang menyalahkan dirinya yang tidak menghormatinya, menatapnya dengan pandangan lurus.

"Huh, canggung sekali." Gumamnya.

Setelah sarapan, Cahya ditarik ke perusahaan oleh Dandy. Vania pergi ke garasi untuk melihat, "Wah, sebuah mobil kecil berwarna putih. Tidak terlalu mahal, ekonomis, tidak berprofil tinggi juga tidak buruk. Kakak berpikir cukup bijaksana, nantinya dia akan lebih mudah keluar masuk, akhirnya aku tidak perlu diantar setiap hari oleh Cahya dengan menggunakan mobil sport, selalu menyebabkan kerusuhan di gerbang sekolah."

Vania adalah siswa senior, kelasnya sudah tidak banyak, dia pergi ke rumah sakit untuk melihat Ayahnya di sore hari. Ayah memiliki penyakit jantung, pembedahan telah dilakukan selama beberapa kali. Karena ini adalah rumah sakit besar, yang melakukan operasi juga adalah dokter nasional yang terkenal, Ibunya juga merawat Ayahnya dengan hati-hati, sehingga Ayah Vania pulih dengan sangat baik, sudah dapat pulang untuk dirawat di rumah dalam beberapa hari.

Saat makan malam, Cahya dan Dandy pulang bersama. Kakak selalu berwajah dngin, Cahya yang biasanya suka tersenyum juga berwajah tertekan, terlihat sangat tidak senang.

Vania tidak bodoh, suaminya dipaksa bekerja oleh Kakaknya, suasana hatinya pasti tidak baik. Kakak melakukan sesuatu selalu memaksa, tetapi Vania mendukungnya. Lagi pula, Cahya sudah tidak kecil lagi, harus memikirkan karirnya, tidak bisa mengandalkan Kakaknya seumur hidup.

Sebelum tidur, Cahya membawakan Vania segelas susu seperti biasa, "Vania, minumlah selagi panas."

Vania bersikap manja, "Suamiku, aku makan sangat banyak tadi, susu ini tidak bisa kuminum lagi."

Cahya menyerahkan susu itu di depan mulut Vania, "Vania sayangku, minumlah. Setiap malam minum segelas susu bisa tidur dengan nyenyak, dan juga menjaga kecantikan. Kamu lihat betapa bagusnya kulitmu, itu semua dikarenakan susu."

Susu itu diserahkan di depan mulut, Vania hanya bisa minum seteguk besar, masih tersisa sebagian besar, "Suamiku, aku akan minum lagi nanti. Jika meminumnya habis langsung benar-benar sangat sesak."

Cahya mengangguk, membawa sebuah buku ke jendela untuk membaca buku, mendongak sekilas, "Vania, susunya nanti akan dingin."

Suaminya sangat perhatian pada dirinya, Vania hanya bisa meletakkan skripsi di tangannya, mengambil susu dan meminumnya. Tidak banyak yang tersisa dalam gelas, Cahya meletakkan buku kemudian mencium kening Vania, "Vania sangat pintar, aku pergi mandi dulu."

Cahya sedang mengisyaratkan, wajah Vania sangat merah, patuh dan malu menganggukkan kepala, "Ya, kamu pergilah mandi, aku akan menunggumu."

Vania melihat Cahya pergi pergi ke kamar mandi, mengulurkan tangan memegang wajahnya, sangat panas bagai terbakar. Memikirkan kegilaan dan kekasaran Cahya semalam, tubuhnya mulai melemas. Sedikit takut tapi juga sedikit berharap, hanya saja kelopak matanya semakin lama bertambah berat, sangat mengantuk bagai tidak tidur tiga hari tiga malam.

Cahya keluar dari kamar mandi, melihat bahwa Vania sudah tertidur pulas di ranjang. Dia menyimpan buku catatan yang dibuka Vania, meletakkan tubuhnya di atas ranjang dengan baik. Jarinya menyusuri wajah kecil Vania, tidak bisa menahan diri untuk berbisik, "Vania, kamu sangat cantik. Sayangnya, kamu bukan tipeku."

Cahya mengganti pakaiannya, mematikan lampu kemudian meninggalkan kamar.

Di lantai bawah, Dandy memanggil Cahya, menariknya masuk ke kamarnya, dengan suaranya yang rendah berteriak, "Cahya, kamu mau keluar untuk mencari Zahra lagi! Kamu sudah menikahi Vania, kamu harus bertanggung jawab padanya. Kamu membuat Vania menunggu di kamar yang kosong setiap hari, apa tidak takut akan ketahuan!"

Cahya sangat percaya diri, "Kak, masalah itu tidak akan ketahuan. Vania meminum susu yang telah kutambahkan sesuatu, akan tidur hingga pagi."

Wajah Dandy berubah warna dikarenakan marah, "Itu obat, bukan vitamin. Diminum setiap hari, tubuh seperti apa yang bisa tahan? Cahya, kenapa kamu sangat egois, kamu dulu tidak seperti ini!"

Cahya mengabaikan kemarahan Kakaknya. Merapikan rambutnya yang tidak berantakan di depan cermin, "Aku sudah bertanya kepada dokter, obat penenang itu jika diminum selama satu setengah tahun tidak masalah. Bukankah kamu sudah membantuku berhubungan badan dengannya? Kamu harus melakukannya beberapa kali, jika Vania hamil, maka untuk waktu yang lama tidak usah memikirkan hubungan badan antara pria dan wanita, jadi aku juga tidak perlu memberinya minum obat."

Dandy sangat marah hingga mengulurkan tangan ingin memukul adik yang mengecewakan ini. Namun, Cahya malah memajukan wajahnya, berkata dengan sangat pelan, "Kak, jangan menipu dirimu sendiri. Aku tahu kamu menyukai Vania, pasti sangat puas ketika melakukan percintaan kemarin. Lagi pula kamu juga tidak memiliki wanita, memang kenapa membantuku untuk meniduri istriku, kamu juga tidak rugi, nantinya anak yang lahir juga merupakan keturunan keluarga ini. Betapa baiknya itu."

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel