Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

7 : Jangan Dengarkan

"Masih istirahat." Khanza bersandar di kaca jendela, pemandangan dari lantai lima belas menjadi fokus matanya.

"Kirain Kakak ganggu," ujar seseorang di ujung sambungan.

"Enggaklah. Emang kenapa nelepon?"

Ada jeda, Khanza bisa mendengar kakaknya sedang berbicara dengan seseorang. Ia menunggu Andra kembali berbicara dengannya.

"Umi nelepon kamu?"

Seingatnya dua hari yang lalu, di saat beliau berbicara soal Akbar dan keinginan yang harus ia turuti. "Iya, umi udah cerita ke Kakak?"

"Hm, jangan dipikirin. Umi juga lagi desak Kakak buat cari calon istri."

Khanza terkekeh. Biasanya wanita itu tidak terlalu ikut campur soal urusan asmara atau pasangan, tetapi kali ini entah mengapa uminya menjadi seorang pemikir akan hal seperti ini.

"Aku juga nggak terlalu mikirin. Lagian masih terlalu jauh buat aku. Masak aku langkahin Kakak," katanya diakhiri dengan ledekan.

"Kamu ikut-ikutan sama umi?"

"Kalau udah punya, segerakan."

Decakan terdengar di ujung sambungan, Khanza terkekeh karena tanpa sengaja membuat lelaki itu kesal. Kakaknya sudah memiliki kekasih, hanya saja perempuan itu terlalu jauh untuk digapai. Ada pesan di akhir pertemuan dengannya kala seseorang yang dicintai Andra pergi untuk studi.

Kata perempuan itu, jaga kakaknya dari suster-suster nakal. Khanza hanya tertawa ketika mendengar ucapan Alya. Kadang ia merasa iri pada keduanya. Kesabaran Andra yang menunggu sang kekasih pulang dan komitmen yang sampai sekarang belum Khanza dengar telah terlanggar.

"Gimana pekerjaanmu?" tanya Andra.

"Lancar jaya, Pak Kenan baik. Sebelum dan setelah jadi bos, sama aja sikapnya."

Di kantor ia harus memanggil beliau dengan sebutan Pak. Lain hal jika di luar kantor, kata Kenan panggil Om saja. Namun, ia sedikit canggung untuk kembali memanggil pria itu dengan sebutan Om.

"Belum kelihatan aja. Kan, masih baru."

Khanza berdecak. "Apaan, sih."

Di seberang sana, Andra tertawa. "Kan, bisa saja kamu buat salah."

"Jangan didoain." Ia mencebikkan bibir, kesal dengan candaan kakaknya. "Udah dulu, ya. Bentar lagi jam istirahat selesai," ucapnya sembari melihat jam.

"Semangat kerjanya. Assalamualaiku."

"Wa alaikumsalam."

Kaki langsung menuju ke meja kerja yang berada di dekat ruangan Kenan. Di sebelahnya seorang wanita yang menjabat sebagai sekretaris sedang sibuk menempelkan ponsel di telinga. Pekerjaan sekretaris memang sangat berat, berbeda dengan dirinya yang hanya mengatur jadwal Kenan, menyiapkan keperluan beliau dalam hal pekerjaan, dan satu pekerjaan berat menurut Khanza, yaitu berkomunikasi dengan klien.

Sangat berat dan ia berusaha untuk bisa.

Setelah istirahat nanti, ia akan ikut bersama Kenan untuk bertemu klien. Seharusnya jadwal itu saat makan siang, tetapi harus diundur karena klien yang meminta. Alhasil Khanza harus mengatur kembali jadwal bosnya untuk hari ini.

"Lembur lagi kayaknya, Za," kata wanita yang berada di sebelahnya setelah menutup telepon entah dari siapa.

"Semangat, Ce." Khanza tak tahu harus menanggapi apa, karena keluhan di dunia kerja sangat baru untuknya.

Wanita itu bernama Asni, biasa dipanggil Cece oleh para junior. Itu atas permintaan beliau sendiri. Berumur tiga puluh tahun lebih dan memiliki kepribadian tegas, beberapa kali Khanza dibuat ngeri pada sifat Asni.

"Tadi Rani nyariin kamu." Wanita itu berkata sembari menoleh padanya.

"Rani?" Ia berpikir untuk mengingat lagi siapa orang uang disebutkan sekretaris perusahaan.

Asni tertawa kecil karena hal itu. "Cece maklumi, karena kamu masih baru. Rani bagian marketing," jelasnya.

"Oh," ucap Khanza, padahal ia belum mengingat wajah dari orang tersebut.

Marketing berada di lantai empat belas, sudah pasti antara ia dan si Rani ini persentase bertemu bisa dibilang jarang. Wajar saja ia tak mengenal wanita itu.

"Kayaknya dia kepo soal hubunganmu dengan putra Pak Bos."

"Pak Kenan?"

"Siapa lagi bosmu kalau bukan Pak Kenan," ujar Asni.

Khanza mengerutkan kening. Pertanyaan yang muncul di kepalanya adalah, apakah sekarang ia sedang menjadi bahan gosip?

"Nggak usah pikirin. Udah biasa itu, anak baru dikepoin sampai ke akar-akarnya." Asni tersenyum menenangkan.

Dari senyum itu ia menarik kesimpulan bahwa sekarang dirinya sedang masuk dalam masa orientasi kerja. Ternyata orang dewasa pun suka bergosip.

"Jangan private instagram-mu kalau nggak mau orang semakin kepo tentang kamu," saran Asni.

Sebenarnya tidak ada yang perlu dikhawatirkan dengan posting-an di instagram-nya, bahkan ia lupa kapan terakhir membuka aplikasi itu.

Khanza bukan Nadila yang sangat narsis di sosial media, unggahan di akunnya pun hanya terdapat kebersamaan bersama keluarga dan teman kuliah. Foto bersama Dhan, sama sekali tak ada. Lalu, dari mana Rani tahu soal dirinya dan lelaki itu?

"Kenapa jadi mikir keras gitu?" tanya Asni.

Ia segera mengubah ekspresi, sadar bahwa sekarang sedang berpikir pada sesuatu yang belum ia temukan jawabannya.

"Heran aja, Ce. Kenapa bisa ada pertanyaan seperti itu?"

"Cece juga nggak tahu. Mungkin unggahan temanmu."

Selanjutnya Khanza tahu siapa pelakunya. Nadila.

----

Melupakan obrolannya bersama Asni, ia kembali fokus pada pekerjaan. Khanza merapikan berkas yang berada di atas meja, setelah pertemuan bersama klien.

"Sudah selesai?" tanya Kenan yang berdiri menunggunya merapikan berkas.

"Sudah, Pak." Khanza memeluk berkas itu dan segera keluar dari ruangan mengikuti beliau yang berjalan di hadapannya.

Hari ini tempat meeting berada di salah satu restoran mewah. Dua jam bersama para pria berjas dan satu wanita anggun, Khanza dibuat kagum pada sikap profesional mereka yang menyampingkan hubungan persahabatan di dalam pekerjaan.

Ya, sebelum memulai meeting, kata Kenan salah satu di antara klien adalah teman sejak SMA yang baru mau bekerja sama dengan perusahaan beliau.

"Za, akhir pekan ini ke rumah, ya. Risya nanyain kamu terus," ucap Kenan ketika mereka berada di depan restoran menunggu sopir yang masih berada di area parkir.

"Saya sudah punya acara sama teman, Pak." Khanza menolak karena akhir pekan adalah waktunya untuk bersama anak-anak organisasi.

"Masih aktif di sana?" Maksud Kenan adalah mengelolah organisasi.

"Iya, Pak."

"Sekali-kali ajak Dhan buat ikut kajian, dia pasti mau."

Belum pernah terpikirkan akan hal itu. Bahkan seorang Nadila yang sering bersamanya saat masih kuliah, tidak pernah ia ajak untuk bergabung. Apalagi Dhan, seorang lelaki yang membuatnya tak tenang ketika berdekatan.

"Ken," panggil seseorang yang berada lima meter dari tempat mereka menunggu.

Khanza serta yang dipanggil menoleh. Seorang wanita tengah tersenyum ke arah bosnya. Ia tak tahu siapa wanita itu, tetapi tidak asing di matanya.

"Viona," bisik Kenan yang masih bisa Khanza dengar.

Wanita itu melangkah untuk mendekat, fokus Khanza sekarang adalah ekspresi bosnya yang tidak bisa dianggap santai. Ada kewaspadaan menurut kacamata penglihatannya.

"Khanza, jangan ke mana-mana. Tetap di sini." Kenan berucap diakhiri dengan senyum tipis.

Menilik lagi wanita itu dengan sangat teliti, Khanza terseret pada masa lalu di hotel tempat abinya bekerja. Ia pun ikut gelisah karena pertemuan ini.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel