Pustaka
Bahasa Indonesia

Dear Kamu, Asisten Ayahku

42.0K · Tamat
Kanalda Ok
40
Bab
3.0K
View
9.0
Rating

Ringkasan

Semua orang tahu, sudah lama aku menyukainya.Semua orang pun tahu, sampai saat ini aku belum berpaling darinya.Ketika remaja dan sampai saat ini aku dan dia telah menjadi dewasa, semua tetap sama.Aku berjuang dan dia menunggu tanpa memberitahu apakah aku yang sedang ditunggu?Kisah ini memang berlebihan, aku seperti bucin yang berusaha membuatnya tetap berada di sebelahku.Jarak kupangkas, cuek kuganti acuh, dia diam aku bertingkah, dia menunggu aku mati penasaran.Perjuanganku berawal dari sini.

Cinta Pada Pandangan PertamaWanita CantikTuan MudaRomansaBillionaireSweetPernikahanKeluargaFlash MarriageMemanjakan

1 : Aku Punya Pilihan

Di tempat pengukuhan mahasiswa strata dua universitas negeri yang dinaungi perempuan itu untuk menuntut ilmu, ia berdiri di sebelah mobilnya menunggu sang bunda mengobrol dengan seseorang di ujung sambungan telepon.

"Kita ke halaman aula, Khanza ada di sana," ucap wanita yang melahirkannya.

Hari ini perempuan yang ia kagumi sedang berbahagia setelah menyelesaikan studi strata dua dan menjalani proses wisuda.

Ramainya para mahasiswa dan mahasiswi yang sedang berbahagia, memaksanya untuk menajamkan pandangan mencari Khanza dalam keramaian. Beban yang ia gendong terdiam menyembunyikan wajah di bahu. Risya--adiknya, sangat pemalu dan tak suka tempat ramai.

Pengganggu dalam pandangannya adalah buket bunga yang ia bawa. Ini mungkin akan mudah jika Risya tidak ia gendong, maka bunga yang indah itu tidak akan menghalangi pandangan.

Ia menyesal membeli ukuran besar.

"Dhan!" panggil seseorang.

Ia menoleh mendapati Andra, kakak dari perempuan yang ingin ia temui--mengangkat tangan memberikan kode untuk mendekat. Mungkin Andra sedang berusaha menjadi fokus, tetapi itu tidak berlaku untuknya, karena sekarang perhatian telah jatuh kepada perempuan yang tersenyum kepadanya.

Perempuan itu mengenakan baju terusan, menyentuh mata kaki, berwarna merah muda pucat, senada dengan kemeja yang dikenakan Andra.

Jelas, ini unsur kesengajaan.

"Kak Aja!" seru Risya melompat turun dari gendongan Dhan.

Rafardhan Athala Kenan, anak sulung dari pernikahan Kenan dan Nada, memiliki adik bernama Risya yang berjarak delapan belas tahun dengannya.

"Selamat, ya, Za," ucap Dhan kepada perempuan yang kini tengah mengecup gemas pipi Risya.

Mereka berdua memang dekat. Dhan yang memilih kuliah di luar negeri, kalah dengan kedekatan antara Khanza dan Risya. Kendati gadis kecil itu adalah adik semata wayangnya.

"Makasih, Dhan," balas Khanza dengan senyum lembut.

Sudah lama Dhan mengagumi perempuan itu. Khanza Ashadiyah Hermawan, adalah cinta pertamanya sejak mereka masih bersekolah di tempat yang sama.

"Ini buat kamu," ucapnya sembari memberikan buket bunga yang tadi membuat repot saat mencari keberadaan Khanza.

"Makasih." Khanza menerima sembari menyematkan senyum tulus. "Tante Nada, makasih udah mau datang."

"Sama-sama, Sayang," balas Nada. "Orang tuamu di mana?"

Perempuan itu menolehkan kepala ke kiri. Dhan ikut melihat ke arah pandang Khanza, di sana orang tua perempuan itu tengah mengobrol dengan seorang lelaki.

"Itu siapa?" tanya Dhan spontan kepada Andra.

"Akbar, temennya Khanza."

"Oh." Dhan bergumam.

Mereka tampak akrab, bahkan tak ada celah yang terlihat untuk memisahkan. Mungkin ini hanya cemburu kecil, tetapi rasanya ada yang runtuh dalam diri Dhan.

Sesuatu yang telah ia bangun lama, kepercayaan diri untuk berada di sebelah Khanza.

"Hanya teman, bukan calon suami," celetuk Andra membuat Dhan terkekeh sumbang.

---

Kepala berdenyut setelah dipakai untuk berpikir akan ia bawa ke mana tujuan hidup ini. Dikarenakan telah bertemu dengan saingan yang kuat, mau tak mau ia harus menjadi lebih layak dan menyingkirkan terlebih dahulu rasa mindernya.

Rafardhan Athala Kenan, terdiam di atas ranjang, menatap langit-langit kamar, lengan berada di kening menutupi setengah cahaya lampu. Ia sedang menimbang, mempertanyakan peluang pada keputusannya nanti.

Tangan meraih ponsel, sebelum mendial satu nama. Seseorang yang mungkin saja akan menertawakannya.

"Halo, Assalamualaikum," sapanya.

"Wa alaikumsalam."

"Yang, lo sibuk?" Dhan bangun dari rebahan, duduk di tepi kasur.

"Nggak, kenapa?"

"Gue mau nanya, di tempat lo nerima karyawan baru?"

"Ada, sih," jawab Hayan di ujung sambungan.

"Kalau gitu gue coba lamar kerja di tempat lo, deh," ucapnya tanpa nada bercanda.

"Apa?"

Sebenarnya ucapan itu sudah jelas, hanya saja temannya sangat hiperbola. "Gue mau ngelamar di tempat lo," ulangnya.

"Dhan, bokap lo jatuh miskin?"

Ia menghela napas pelan, sudah ia prediksi akan seperti ini. "Nggak, gue cuma mau merangkak dari bawah."

"Mending lo tidur Dhan, ini udah malam."

"Gue serius, Yang," tekannya.

"Gue juga serius, Dhan. Ya ampun, masa iya anak konglomerat kerja di tempat gue yang cuma berlantai dua, sedangkan kantor bokapnya berlantai-lantai."

Dhan mendengkus, ia rebahkan kembali tubuh ke atas kasur, "Gue pengin mandiri."

"Lo udah mandiri, tinggal sendiri di negara orang itu nggak mudah. Mending sekarang bilang ke gue, ada yang mengganggu lo?"

Tepat. Hayan memang paling tidak bisa disembunyikan sesuatu.

"Gue cuma pengin memulai dari awal, nggak mau dibayang-bayang keluarga," alasannya.

Di ujung sambungan, Dhan mendengarkan Hayan mendengkus sebelum berujar, "Gue nggak yakin orang tua lo bakalan setuju. Secara lo penerus satu-satunya."

Dhan tahu itu, tidak perlu diperjelas. Namun, meskipun menentang ia berharap orang tuanya mengerti. "Gue nggak tahu mau ngomong apa," muramnya.

"Kenapa? Cerita aja, gue siap dengar."

Ia menghela napas berat, rasanya ada yang menumpuk di dada sehingga menghambat jalan napasnya. "Lo ingat Khanza?"

Ada jeda, sepertinya Hayan sedang berpikir.

"Yang pernah lo cerita waktu SMA?"

"Hm," sahutnya, "gue galau karena dia."

"Ya ampun Dhan, terakhir lo juga kayak gini waktu SMA."

Dhan berdecak.

"Lo masih suka sama dia?"

"Jangan ngeledek."

Hayan tertawa di ujung sana, "Setia banget lo."

"Gue lagi serius."

"Kenapa? Khanza udah punya calon suami?"

"Yaaa ... begitulah," balasnya.

"Yaudah, cari yang lain."

Dhan memutar bola mata, meskipun Hayan tidak melihat bahwa sekarang ia sudah merasa kesal menjadi bahan candaan. "Gue matiin, nanti kita bicara lagi," katanya.

"Lah? Ngambek."

"Nggak, gue lagi mau merenung," elaknya.

"Jangan disimpan. Kalau memang sakit, menangis pun tidak masalah."

"Masa bodoh," dengkusnya, tawa Hayan mengalun puas di telinganya, segera ia matikan sambungan secara sepihak.

Hayan tidak bisa membantu, maka yang harus ia lakukan adalah mencari sendiri. Namun, sebelumnya ia harus mengatakan kepada ayah dan bunda untuk niat yang begitu besar ini.

Dhan keluar dari kamar menuju ruang keluarga di mana suara Risya terdengar melengking menusuk telinga. Entah siapa yang sedang membuat gadis kecil itu tertawa histeris. Jujur, ia belum terbiasa tinggal di bawah atap bersama anak kecil, jadi bisa dikatakan Risya sedikit mengganggunya.

Mungkin karena sudah lama hidup sendiri, membuat Dhan bersikap egois tak menyukai keributan di dalam ruangan.

"Bun," panggil Dhan saat tiba di tempat tersebut.

"Ya?" Bundanya menyahuti sembari menolehkan pandangan dari tingkah ayah dan putri yang sedang bercanda.

"Ada yang mau Dhan omongin," katanya begitu serius.

Detik kemudian tawa Risya berhenti, ia memantapkan diri ketika melirik sang ayah kini ikut menaruh perhatian kepadanya.

"Mau ngomong apa?" Nada menepuk bagian sofa yang kosong, meminta Dhan duduk. "Mukanya, kok, serius gitu?"

Ia duduk di sebelah bundanya, bunyi jarum jam terdengar begitu jelas karena suasana yang telah tercipta akibat wajah seriusnya, "Aku mau cari kerja," ucapnya tanpa mengubah ekspresi.

"Lanjut kuliah dulu," cetus ayahnya tanpa basa-basi.

"Maksud aku bukan di kantor Ayah," selanya, "aku ingin mulai dai nol."

"Kalau kamu ingin bekerja, bisa di kantor ayah. Tidak perlu pergi jauh," putus Nada. "Kamu juga bisa sambil lanjutkan studi."

"Bun, a--"

"Tidak ada bantahan," interupsi Nada.

"Itu keterlaluan, Bun. Aku juga punya pilihan." Dhan merasa kurang ajar karena menaikan nada bicaranya ketika membalas ucapan sang bunda.

"Dhan," tegur Kenan.

Sudah ia duga, ini terlewat batas, tetapi mau bagaimana lagi, bundanya tidak ingin mengerti.

"Apa yang dikatakan bunda itu yang terbaik buat kamu," kata Kenan.

Tidak ada dukungan, tidak ada persetujuan. Dhan menghela napas pelan menahan emosi yang tersirat.

"Aku tetap pada pilihanku," cetusnya tak ingin bantahan.

"Bunda tetap ngelarang kamu."

"Bun, tolong ngerti," pelasnya kepada wanita yang kini memasang wajah serius.

"Ayah di pihak bunda." Kenan menambah beban di punggung Dhan.

Ada jeda yang terjadi, Dhan tak bisa membantah meskipun ingin memberontak. Ia bukan anak kecil lagi, semuanya harus diselesaikan dengan kepala dingin.

Memang ini tidak akan mudah, ayahnya hanya memiliki ia sebagai penerus. Melihat pria itu tidak menyinggung akan kedudukannya sekarang, maka Dhan asumsikan beliau sedang berusaha untuk tidak menyerang sisi sentimental.

"Mas, kenapa marah-marah?" Suara Risya terdengar memecah hening.

"Mas lagi nggak mood, jadi marah-marah." Nada yang menjawab.

"Bun, aku serius soal tadi, Bun." Dhan masih berusaha untuk dimengerti.

Nada melirik, "Pilihan kamu hanya itu, ayah nggak punya siapa-siapa selain kamu."

Akhirnya keluar juga kata-kata itu. Batinnya terluka, hidup tanpa pilihan, padahal ia berencana berdiri sendiri tanpa bantuan.

Mungkin ini hanya karena lelaki yang bersama orang tua Khanza, tetapi baru kali ini ia begitu serius pada keinginannya. Bukan hanya ucapan belaka, ia ingin mewujudkan pilihan kecil yang tak dikehendak oleh orang tuanya.

"Minggu lalu kamu menawarkan diri kerja sama Ayah," ucap ayahnya.

Dhan ingat kejadian itu, tetapi sekarang keadaan sudah berubah, ada yang ingin ia taklukan dengan usahanya sendiri.

"Ayah udah nolak," balas Dhan.

"Bukan nolak, Ayah maunya kamu lanjut kuliah. Tapi kalau kamu mau banget kerja, Ayah terima."

Dengan catatan ia akan disetir. Begitulah yang Dhan asumsikan.

"Ayah tahu kamu ingin mandiri. Tapi Ayah pun butuh kamu," tambah ayahnya, masih membujuk.

"Lagi ngomong apa, sih? Risya nggak ngerti," celetuk adiknya sembari melihat satu per satu wajah mereka. "Mending main lagi, yuk. Mas juga boleh ikutan."

Kenan tertawa sembari menggendong putri kecilnya, setelah itu memutuskan untuk meninggalkan Dhan bersama Nada di ruang keluarga.

Dhan tahu ayahnya sedang memberikan kesempatan kepada wanita ini untuk menengahi ketegangan.

"Dhan dengerin Bunda," mulai Nada sembari menatap intens wajah putranya.

Sungguh Dhan tak ingin mendengarkan karena ia tahu apa yang akan dikatakan wanita itu kepadanya. Tentu saja masih dengan sikap tidak setuju pada pilihan ini.

"Ayah hanya punya kamu. Bukannya tidak ingin membebaskan, tapi ayah benar-benar butuh kamu."

Dhan tahu, tetapi ia tak ingin mengerti. "Aku ke kamar, Bun," ucapnya tak ingin melanjutkan percakapan ini.

"Ayah berdiri sampai sekarang hanya karena kamu. Mempertahankan semua ini sangat tidak mudah, jadi Bunda harap kamu ngerti."

"Terus kapan aku dimengerti?" balas Dhan tak ingin tinggal diam.

Nada diam sejenak, kemudian membalas ucapan putranya, "Ada yang mengganggumu?"

Dhan bergeming.

"Kamu lagi cemburu?"

"Apa sih, Bun," elaknya membuang pandangan.

Bundanya ini memang sangat mengerti tentang ia. Apalagi kemarin saat bertemu saingan, beliau berada di sana dan mungkin mengawasi setiap ekspresi Dhan.

"Namanya Akbar. Bunda sempat kenalan," kata Nada.

"Aku nggak peduli."

"Tapi takut Khanza diambil Akbar."

"Khanza bukan siapa-siapaku, Bun," balasnya.

"Oke, Bunda percaya. Tapi Dhan, sampai kapan pun Bunda nggak mau kamu bekerja di luar kantor ayah."

Dhan kalah telak. Bundanya tahu alasan di balik keinginan itu. Ia yakin akan menjadi kartu as bagi Nada untuk ke depannya nanti.

"Pembahasan selesai, kamu harus tetap lanjut studi dan kalau ingin kerja, ke kantor ayah," putus Nada tak ingin bantahan.