Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

3 : Cari Kerja

"Ayah," panggil Dhan di luar ruang kerja ayahnya, punggung tangan mengetuk pintu.

"Masuk," sahut pria yang berada di dalam ruangan.

Meskipun ini akhir pekan, tetapi ayahnya pasti akan menyempatkan diri untuk bekerja. Bukan berarti Dhan tak pernah menawarkan bantuan, ia sering melakukannya, tetapi beliau akan langsung menolak dan mengatakan untuk menikmati liburannya.

"Ayah, boleh bicara?" Sebenarnya sedikit canggung untuk memulai obrolan dengan pria itu, apalagi setelah ia menghindari sarapan tadi pagi bersama keluarganya.

"Boleh, ada apa?" tanya Kenan, ia mengangkat wajah dari berkas yang berada di atas meja.

"Ayah lagi nyari asisten, 'kan?"

Ayahnya mengangguk, "Kenapa?"

"Masih ada lowongan?"

"Mau mendaftar? Masukkan lamaran ke Ibu Aura." Di mata Dhan, ayahnya berubah menjadi sales.

"Bukan," selanya, "bukan buat aku."

"Oh, bantu teman lagi?"

Maksud ayahnya adalah kejadian dua tahun lalu, ketika ia membantu Afif untuk mencari kerja. Dhan meminta sang ayah untuk menerima temannya. Waktu itu ia sedikit memaksa dengan beberapa kalimat bahwa Afif teman sebangkunya selama SMA dan sangat baik padanya.

Ayah mengalah, tidak, menang pun, tidak. Afif diterima, tetapi menjadi bagian anak perusahaan yang berada di Bogor.

"Iya," akunya.

"Siapa lagi?" Ayahnya kembali bertanya.

"Khanza," jawab Dhan.

Pria itu tidak mengubah ekspresi ketika mendengarkan nama Khanza, maka ia asumsikan permintaan ditolak.

"Dapat apa kalau Ayah bantuin Khanza?"

Memutar bola mata, Dhan mendengkus, "Dapat asistenlah," sewotnya.

Pria itu terkekeh. "Suruh berikan lamaran ke Bu Aura, minta bantuan resepsionis kalau nggak tahu siapa Bu Aura," kata Kenan, kemudian kembali pada berkasnya, "kali ini Ayah nggak mau nerima karena embel-embel pertemanan," tambahnya.

"Afif nggak bisa diandalkan, ya?" Dhan menarik kursi, duduk di hadapan sang ayah, bersiap mendengarkan kinerja temannya itu dalam dunia kerja.

"Ayah nggak tahu, selama manager di cabang nggak ngeluh, pasti dia kerjanya bagus."

"Alhamdulillah," ucap Dhan bersyukur.

"Tapi itu tidak menjamin, siapa tahu Pak Hamdi cuma nggak mau ngomongin kekurangan karyawannya ke Ayah."

Dhan meringis, dalam hati ia berdoa semoga Afif tidak melakukan kesalahan fatal sehingga dirinya ikut terbawa dalam masalah tersebut. Biar bagaimanapun temannya itu masuk tanpa seleksi karena dirinya.

"Jadi ...." Dhan menggantung ucapannya. "Khanza nggak bisa masuk tanpa seleksi?"

Ayahnya melirik sebelum berujar, "Temani adikmu masak ayam goreng, siapa tahu Ayah berubah pikiran."

"Apa hubungannya dengan Risya?"

"Dari kemarin adikmu penasaran sama masakanmu," jawab Ayahnya, pria itu melihat sekilas kepada Dhan masih duduk di hadapannya.

Satu hal yang harus Dhan terima dalam hidup ini setelah kelahiran Risya, ia bukan lagi satu-satunya di keluarga yang menyandang status sebagai anak kandung. Ketika pulang saat liburan, ia harus terima sang bunda lebih menaruh perhatian kepada adiknya.

Delapan belas tahun menjadi anak tunggal, jelas saja Dhan harus belajar menerima. Beruntung saat Risya lahir ia sudah terbiasa hidup sendiri, maka tidak masalah, kecuali jika ayahnya  menghentikan transferan uang jajan. Jangan salahkan Dhan jika rumah akan menjadi kapal pecah.

"Hei, masih mau di sini atau gimana?" tanya Ayahnya memecahkan lamunan.

"Yah, aku kerja, ya?" Keluar topik, ia ingin memastikan ayahnya berubah pikiran atau masih pada pendirian.

"Di kantor Ayah?" Kenan melepaskan pena yang di tangan.

"Bukan."

Apa yang dikatakan Khanza memang benar, tetapi Dhan masih ingin berjuang memiliki restu dari orang tuanya.

Ayah kembali meraih pena, menilik lagi berkas yang ada di hadapannya, "Ayah rasa kemarin sudah jelas."

"Kalau gitu aku juga nggak mau kuliah lagi dan kerja di kantor Ayah," tantang Dhan.

"Yaudah, kamu jadi pengangguran juga Ayah nggak masalah," balas ayahnya, enteng. "Temenin adikmu dulu, siapa tahu Ayah berubah pikiran."

Ia memutar bola mata, hanya orang bodoh yang mau dibohongi seperti itu. "Nggak mau," ujarnya kemudian berdiri, bersiap keluar ruangan.

Ayahnya berdehem sebelum berujar, "Jangan nyesel."

"Aku bukan anak kecil lagi, Yah," protesnya.

Ya, sampai saat ini ia merasa beliau memperlakukannya seperti anak kecil. Memang sudah ada Risya yang bisa menggantikan posisinya, tetapi ayah berperilaku adil menyamaratakan perhatian untuknya dan juga adiknya.

Cara ayahnya memberikan perhatian selalu ia anggap salah. Dhan tahu bahwa jarak pernah tercipta di antara mereka, sehingga waktu bersama tak pernah ada saat ia masih kecil, tetapi  tetap saja ia ingin ayahnya melihat situasi sekarang. Dhan sudah dewasa, bukan anak kecil yang harus diatur semaunya.

"Iya, Ayah tahu." Pria itu terlihat tenang dengan pekerjaannya.

"Jangan samakan aku dengan adik, aku juga mau kayak teman-temanku yang punya pilihan untuk menentukan hidup. Aku bukan anak ke--"

"Tapi kamu tetap anak Ayah," interupsi ayahnya menatap langsung manik mata. "Bukan Ayah nggak ngerti perasaanmu, tapi Ayah benar-benar butuh kamu di sini." Tatapan pria itu, meminta Dhan untuk mengerti.

Ia diam, menimbang untuk membalas ucapan ayahnya. Biar bagaimanapun ia adalah anak, maka sikap sopan santun harus dilakukan. "Aku capek, Yah. Ujung-ujungnya aku yang kalah," pasrah Dhan.

Mungkin ayahnya memang suka memberi perhatian lebih, tetapi beliau sangat tegas. Meskipun di mata Dhan, lebih pada pandai bersikap tegas dalam mengontrolnya. Perlawanan pasti akan berujung kalah. Entah itu kalah karena bisa menerima kenyataan atau kalah yang tak bisa berkutik.

----

"Mau ke mana?" tanya bundanya ketika ia melintas ruang tamu.

"Ke rumah nenek," jawab Dhan.

Matahari sangat terik di luar sana, tetapi ia bersegera untuk meninggalkan rumah. Menepi ke rumah Kakek Ferdi menurutnya sangat tepat, atau jika bosan ia akan ke rumah Kakek Ravi menemui Arnathan yang mungkin berada di sana.

Kembali ke tanah air, Dhan seperti harus kembali beradaptasi di tengah keluarga. Meskipun semua akan menyambutnya dengan hangat, tetapi ia takut membuat kesalahan. Seperti lupa pada kebiasaan lama anggota keluarga.

"Kamu belum makan siang," ucap wanita itu.

"Yaudah, nanti makan bareng kakek nenek." Dhan menyahuti. "Aku pergi dulu, Bun," pamitnya.

"Jangan ngebut."

"Iya."

Kaki melangkah keluar rumah, di sana ia melihat Pak Kurni sedang mengelap mobil milik ayahnya. Di bagian kanan mobil, Risya ikut mengelap. Dhan sedikit terkejut melihat pemandangan itu.

"Risya?" Ia pikir adiknya sedang tidur siang sembari memeluk guling dan bergelung di selimut.

"Mas, selamat siang," sapa gadis kecil itu dengan senyum cerah.

"Ngapain?"

"Bantuin Pak Kurni," jawab Risya kemudian kembali melanjutkan aktivitasnya yang Dhan pikir tidak berguna untuk sekadar mengurangi beban sopir ayahnya.

Ya, Risya hanya mengelap di bagian itu saja dan tidak berpindah ke mana-mana.

"Mas Dhan mau ke mana?" tanya Pak Kurni.

"Ke rumah Kakek Ferdi, Pak."

Pak Kurni sudah lama bekerja pada keluarga Mahadri, jauh sebelum mereka pindah ke rumah ini. Melihat Risya yang lebih akrab dengan Pak Kurni daripada dirinya, sama sekali tidak membuat Dhan heran.

"Saya pergi dulu, Pak," pamitnya.

"Oh iya, Mas. Hati-hati di jalan," balas beliau.

"Daadaa, Mas." Risya melambaikan tangan.

Jika anak lain akan mengikutinya, berbeda dengan Risya. Dugaan Dhan, gadis kecil itu lebih berat meninggalkan Pak Kurni daripada ikut dengannya.

Dasar Risya.

Ingatkan Dhan untuk melakukan saran ayahnya, yang menurut pria itu sebagai syarat memilih masa depan. Ah, ia mengingat hal itu lagi.

Sungguh, ayahnya terlalu kekanakan.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel