Bab 3. Hutang Budi
Napas Isabel seakan sesak akibat dipenuhi dengan kata-kata Joseph. Bulu kuduknya sampai merinding ketakutan. Untungnya, dia dilepaskan dan dibiarkan untuk kembali ke kamar sekarang ini.
“Ya Tuhan, kenapa aku bodoh sekali?” Isabel menepuk keningnya, merutuki kebodohannya yang langsung masuk kamar, tanpa sama sekali mengetuk pintu.
Isabel mondar-mandir tidak jelas di dalam kamarnya. Sungguh, dia tidak menyangka kalau akan melihat adegan seperti tadi. Seumur hidup, dia belum pernah melihat adegan seperti itu.
Isabel menghempas tubuhnya ke ranjang dan meraih bantal untuk menutupi wajahnya. Perasaan malu, takut, semuanya campur aduk. Yang dia sesali adalah dirinya harus melihat adegan seperti tadi. Andai saja rasa penasarannya tidak tinggi, pasti dia tidak akan melihat adegan itu.
Isabel memaksakan diri untuk memejamkan mata. Meskipun tidak lagi mengantuk, tapi tidak masalah. Yang penting dia memaksa diri untuk tidur, agar esok hari dirinya bisa tenang berhadapan dengan Joseph.
Sinar matahari begitu tinggi. Berawal dari Isabel yang tidak bisa tidur, dan berakhir dengan dia menjadi bangun tidur terlambat. Waktu menunjukkan pukul sepuluh pagi, dan dia baru saja membuka kedua matanya.
“Astaga!” Isabel sampai menjerit terkejut melihat waktu menunjukkan pukul sepuluh pagi. Dia sama sekali tidak mengira kalau akan bangun sampai sesiang ini. Padahal tadi malam dia tak bisa tidur.
Isabel segera melompat dari tempat tidur dan berlari masuk ke dalam kamar mandi. Sungguh, dia benar-benar tidak enak bangun terlambat. Bagaimanapun dirinya masih menumpang tinggal di penthouse Joseph.
Lima belas menit kemudian, Isabel bergegas keluar dari kamar. Dia memutuskan ingin membantu pelayan untuk membersih-bersihkan penthouse milik Joseph. Setidaknya dia harus melakukan sesuatu sebagai bentu terima kasih.
“Nona, apa yang Anda lakukan?” seorang pelayan terkejut di kala Isabel membersihkan meja.
Isabel menggigit bibir bawahnya pelan. “A-aku ingin membantumu.”
Sang pelayan tersenyum sopan. “Tidak usah, Nona. Saya bisa melakukan tugas saya. Lebih baik, Anda menemui Tuan Joseph. Beliau tadi berpesan kalau Anda sudah bangun, untuk menyusul beliau di kolam renang.”
“Joseph di kolam renang?” ulang Isabel memastikan.
Sang pelayan mengangguk. “Iya, Nona. Tuan Joseph ada di kolam renang.”
“Baiklah, aku akan ke sana.” Perlahan, Isabel melangkah pergi meninggalkan sang pelayan—dan menuju ke kolam renang. Debar jantungnya berpacu kencang seakan ingin berhenti berdetak. Dia bingung, malu, dan cemas jika bertemu dengan Joseph.
Byurrr
Joseph melompat ke kolam renang tepat di kala Isabel datang. Gadis itu tidak berani beranjak mendekat ke kolam. Yang dilakukannya hanya memainkan kuku sambil menggigit bibir bawahnya.
Joseph muncul di permukaan, menatap Isabel berdiri cukup jauh dari tepi kolam. Dia berenang hingga ke tepi dan berkata, “Mendekatlah.”
“Aku?” Isabel menunjuk dirinya sendiri.
Joseph berdecak. “Memangnya ada siapa lagi selain dirmu?”
“Eh, i-iya.” Buru-buru, Isabel mendekat ke tepi kolam. “Aku minta maaf hari ini bangun terlambat.”
“Sepertinya apa yang terjadi tadi malam, membuat tidurmu terlalu nyenyak sampai bangun terlambat,” balas Joseph dingin dan datar.
“Eh?” Baru saja Isabel memekik bingung, tiba-tiba kakinya sudah ditarik oleh Joseph, hingga membuat tubuhnya tercebur di kolam renang.
Byurrr
Isabel gelagapan di kala tercebur di kolam renang. Dia berusaha meraih apa pun agar bisa muncul di permukaan. Joseph yang melihat Isabel gelagapan panik—langsung meraih tubuh gadis itu dan memeluknya erat.
“J-Joseph—”
“Kau itu lemah sekali!” seru Joseph jengkel.
Tubuh Isabel menggigil kedinginan. Gadis itu memegang bahu Joseph. “A-aku tidak bisa berenang, Joseph.”
“Kau tidak bisa berenang?” Manik mata hazel Joseph, menatap manik mata hijau Isabel.
Isabel mengangguk. “Iya, aku tidak bisa berenang.”
Joseph mengembuskan napas kasar. “Apa sebenarnya kebisaanmu? Aku lihat fisikmu ini terlalu lemah dan kau ceroboh.”
Isabel menggigit bibir bawahnya.
Joseph tersenyum samar. “Jangan katakan padaku, kalau kebisaan yang kau lakukan hanya menggigit bibirmu?”
Mendengar ucapan Joseph, membuat Isabel tidak lagi menggigit bibirnya. “J-Joseph, maafkan aku.”
“Kau minta maaf untuk kesalahanmu yang mana?”
“Untuk kecerobohanku, dan untuk tadi malam.”
“Menurutmu hanya minta maaf saja cukup?”
Isabel menunduk tak berani menatap Joseph.
“Angkat dagumu ketika bicara dengan seseorang, Isabel,” titah Joseph tegas.
Isabel memberanikan diri mengangkat dagunya, menatap Joseph. “Joseph, aku benar-benar minta maaf. Harusnya aku juga tahu diri karena sudah kau berikan tumpangan tinggal sementara di penthouse-mu. Hm, apa kau berkenan aku menjadi salah satu pelayanmu? Aku akan membantu membersihkan penthouse-mu. Aku juga bisa memasak. Meski masakanku tidak terlalu hebat, tapi aku akan belajar lebih rajin lagi.”
Joseph terdiam sebentar mendengar apa yang Isabel katakan. Banyak pertanyaan yang muncul di dalam benaknya, namun pria itu memilih untuk mengabaikan segala hal yang ada di kepalanya. Dia memilih untuk fokus pada satu hal saja.
“Pelayanku sudah banyak di sini. Aku tidak membutuhkan pelayan lagi,” tukas Joseph dingin.
Isabel menggigit kembali bibir bawahnya. “Kau tidak usah membayarku, Joseph. Aku hanya ingin berterima kasih saja padamu. Bagaimanapun, aku berhutang budi padamu.”
Jika bukan karena Joseph menampung Isabel, entah bagaimana nasibnya. Dia hanya sebantang kara. Tidak memiliki siapa pun. Hal itu yang membuat Isabel ingin menjadi pelayan di penthouse Joseph.
Joseph terdiam belum menjawab apa yang Isabel katakan. Rupanya gadis itu tahu berbalas budi. Namun, sayangnya Joseph tidak tertarik untuk menjadikan Isabel sebagai salah satu pelayan yang bekerja di penthouse-nya.
“Jadi kau ingin balas budi padaku?” Joseph menarik dagu Isabel, mendekatkan bibirnya ke bibir Isabel
“I-iya.” Isabel menelan saliva-nya susah payah. Hanya satu kali gerakan bibirnya saja sudah pasti bibirnya akan menempel ke bibir Joseph. Sungguh, ini benar-benar moment yang ambigu. Bahkan seluruh tubuh Isabel seakan lumpuh, tidak mampu berkutik sama sekali.
Napas Isabel tercekat ketika embusan napas Joseph menerpa kulit di atas bibirnya. Ujung hidung Joseph sudah menyenggol ujung hidung Isabel. Rasanya Isabel ingin pingsan ketika dalam keadaan intim dengan Joseph.
Sudut bibir Joseph membentuk senyuman tipis melihat Isabel yang gugup. “Balas budi padaku sangatlah mudah, dan aku yakin kau bisa melakukan itu.”
Mata Isabel mengerjap beberapa kali. Sekujur tubuhnya merinding. Air kolam yang dingin semakin membuat bulu kuduk Isabel berdiri. Posisi tangan Isabel tadi memegang bahu Joseph, menjadi melingkar di leher Joseph.
“A-apa yang harus aku lakukan, Joseph?” tanya Isabel dengan suara tercekat ketakutan. Seluruh organ dalam tubuhnya seakan meronta di dekat Joseph. Ini benar-benar membuatnya menjadi tidak nyaman. Jantung yang berdebar terlalu kencang, membuat sekujur tubuhnya melemas.
Joseph mendekatkan bibirnya ke telinga Isabel seraya berbisik serak, “Relaks, Isabel. Jangan tegang. Aku akan memberi tahumu nanti. Yang pasti sesuatu hal yang mudah agar kau bisa melakukannya dengan mudah.”