1. Pertemuan Pertama
***
Kantor sangat ramai dengan gosip menjelang kedatangan CEO baru esok hari. Kabar yang beredar menggambarkan sosok CEO tersebut sebagai orang yang tegas dan tak kenal ampun, siapapun yang melakukan keaalahan,l siapa pun yang melanggar aturannya, maka jangan harap mendapatkan ampunan dari CEO nan kejam yang dikenal sebagai monster itu.
Sarah, bagaimanapun, tak terlalu ambil pusing. Baginya, sebagai karyawan biasa, kemungkinan bertemu langsung dengan atasan baru itu sangat kecil. Selama ini, dia bahkan belum pernah berjumpa langsung dengan CEO sebelumnya. Jadi, mau sekejam dan mirip monster pun, ia tak peduli. Baginya lebih baik fokus pada pekerjaannya saat ini.
“Sar, lembur lagi? Jam segini?” tanya Nitha.
“Iya nih, Bu Sonia minta proposal ini segera selesai dan harus dikirim malam ini,” jawab Sarah sambil fokus mengetik.
“Baiklah, aku pamit duluan ya. Bye-bye,” kata Nitha sebelum pergi, meninggalkan Sarah yang tengah sibuk.
Sarah hanya mengangguk sebagai tanggapan.
“Akhirnya selesai! Waktunya pulang,” gumam Sarah, tetapi tiba-tiba ia terdiam.
“Pulang? Ke mana aku seharusnya pulang? Hatiku kosong, tak ada rumah yang kuharapkan. Dan ketika pulang, tak ada yang menyambut. Betapa menyedihkannya, Sarah,” bisiknya sambil tersenyum pahit.
Sarah berjalan menuju pintu depan gedung kantor yang megah sambil menunggu ojek online. Ketika akan menyeberang, tiba-tiba sebuah mobil melaju dengan cepat, hampir menabraknya.
BRUKKK!
Sarah hampir tertabrak, namun berhasil menghindar. Meski terhindar dari benturan, tangan dan kakinya lecet dan memar.
Di dalam mobil, penumpang terkejut. “Pak, cepat turun dan tanyakan berapa biaya ganti ruginya!” perintah Kevin kepada sopirnya.
“Tentu, Tuan,” jawab Agus sebelum turun dan menghampiri Sarah yang baru saja ditabrak.
“Mbak, maaf. Kamu tidak apa-apa, kan?” tanya Agus dengan khawatir.
Sarah mendengus kesal. “Pak, lihatlah! Kakiku memar dan tanganku lecet. Apa Bapak pikir ini tidak apa-apa? Mengapa mobil ini melaju begitu cepat? Dan lampu merah sedang menyala, mengapa mobil ini menabrak? Jangan sembarangan melanggar aturan!” ujarnya dengan nada emosi.
Kevin yang menunggu di dalam mobil melihat jam tangannya. Waktunya terbatas, dia harus segera menyelesaikan masalah ini. Kevin turun dari mobilnya.
“Berapa yang kamu butuhkan untuk ganti rugi?” tanya Kevin tegas.
Sarah terdiam sejenak menatap pria yang turun dari mobil, lalu ia menatapnya dengan kesal. “Apa? Uang? Jangan terlalu yakin pada dirimu sendiri!”
Kevin tersenyum sinis. “Kenapa tadi kamu terdiam? Ekspresimu sudah menjawab bahwa kamu terpesona olehku,” kata Kevin dengan angkuh.
Sarah menggelengkan kepala dan tertawa pelan. “Aku terdiam karena mencoba memahami bagaimana orang kaya seperti kamu merasa aturan tidak berlaku bagimu. Apa uang adalah segalanya bagimu?”
Kevin terdiam sejenak, tidak mengerti apa yang diucapkan Sarah.
“Uang bukan segalanya di dunia ini, Tuan angkuh!” tambah Sarah dengan kesal.
“Aku tidak percaya bahwa kamu tidak membutuhkannya,” ujar Kevin mengejek.
Kevin tersenyum, lalu memberikan cek ganti rugi kepada Sarah sebelum pergi.
“Tunggu!” panggil Sarah, lalu menyerahkan cek itu kembali kepadanya. “Dan ini, aku membayar waktu yang kamu buang. Jadilah lebih baik di masa depan, jangan terlalu sombobg, tuan lampu merah, kata Sarah sambil memberikan uang ke Kevin sebelum pergi dengan langkah yang menahan rasa perih di kakinya, Lalu, Sarah berbalik dan menatap pria itu, “Aku harap di masa depan kita tidak akan bertemu lagii!”
Kevin terdiam, terpesona oleh sikap Sarah. Dia memutuskan untuk mencari tahu lebih banyak tentang gadis itu. “Apakah gadis itu bekerja di perusahaanku yang baru?” gumamnya.
***
Saat Kevin tiba di rumahnya, dia langsung menuju kamar anak kesayangannya, Sophia. Kevin adalah seorang duda yang telah bercerai dengan mantan istrinya empat tahun yang lalu, dan mereka memiliki satu anak, Sophia. Kevin memiliki hak asuh atas Sophia, karena mantan istrinya setuju Sophia tinggal bersamanya dengan imbalan finansial yang besar.
Meskipun sudah larut malam, Sophia masih belum tidur.
"Besok kita punya rencana, sayang. Kamu mau pergi ke mana?" tanya Kevin dengan lembut.
"Ada apa, Papi?" Sophia menjawab dengan nada acuh.
"Apakah kamu marah karena Papi tidak bisa menjemputmu di sekolah kemarin?" Kevin bertanya dengan suara lembut.
"Selalu begitu. Sudah biasa," jawab Sophia datar.
"Ayo, sayang. Jangan begitu. Kemarin Papi ada urusan mendadak," kata Kevin memberi penjelasan.
"Urusan dengan perempuan-perempuan yang tidak berguna itu?" Sophia menjawab dengan nada tajam, membuat Kevin terkejut. Bagaimana mungkin anaknya bicara seperti itu, mengingat Sophia baru berusia tujuh tahun.
"Baiklah, biarkan. Besok Papi punya waktu untukmu. Kamu ingin melakukan apa? Busr Papi yang akan mengabulkan. Mau apa, sayang?" tanya Kevin.
"Aku ingin pergi ke Time Zone dan menunjukkan pada papi bahwa aku pandai," jawab Sophia dengan semangat.
Kevin tersenyum melihat semangat Sophia dan jauh dalam hatinya yang dalam ia merasa bersalah karena tak mempunyai waktu untuk putri semata wayangnya itu.
"Baiklah, ayo kita pergi," ajak Kevin, membuat Sophia sangat bahagia.
“Hore! Terima kasih Papi, sayang,” kata Shopia dengan kegembiraan yang meluap.
Keesokan harinya, Kevin akhirnya memenuhi janjinya untuk menemani Sophia, tetapi di tengah perjalanan, Kevin mendadak harus pergi ke kantor dan tidak bisa ikut dengan Sophia.
Hal itu membuat Sophia sangat kecewa, dan dengan wajah yang murung, ia hanya pergi bersama asistennya dan pengasuhnya. Padahal, hari itu adalah hari libur. Sophia mendengus kesal karena ayahnya lagi-lagi melanggar janji.
Kevin memang sibuk dengan urusannya. Dia dikenal sebagai Kevin Hadiwijaya, seorang pengusaha sukses di usia tiga puluh lima tahun, yang memimpin perusahaan properti, pertambangan, dan media. Dia salah satu orang terkaya di Indonesia dan banyak wanita yang tertarik padanya, mulai dari selebritis, model, hingga pengusaha. Namun, bagi Kevin, prioritasnya adalah Sophia, anak semata wayangnya.
Bagi Kevin, tidak ada yang bisa mencuri hatinya lagi, karena pada dasarnya dia tidak menyukai sentuhan wanita.
Sophia terus memperlihatkan wajah kesal dan mood-nya sangat buruk, bahkan setelah tiba di Time Zone. Dia kehilangan semangat karena ayahnya selalu sibuk. Akhirnya, Sophia menghabiskan akhir pekannya sendirian.
Dia mendekati seorang gadis dewasa yang membawa banyak keranjang berisi boneka. Sophia takjub dengan kemampuan wanita itu.
"Kakak, ajariku, Kak," pintanya dengan semangat.
Wanita itu berbalik dan tersenyum, "Tentu, tapi sebelum itu, kita belum saling kenal. Siapa namamu, Sayang?"
"Namaku Sophia," jawab Sophia.
"Nama yang cantik seperti dirimu," puji wanita itu.
"Kakak juga cantik, mata Kakak sangat indah," kata Sophia dengan jujur. Entah kenapa ia mendadak ramah dengan orang asing, padahal keduanya baru bertemu pertama kali.
"Nama Kakak adalah Sarah, panggil aku Kak Sarah!" Sarah memperkenalkan dirinya sambil tersenyum.
"Oke, Kak Sarah. Kak, ajariku!" pintanya dengan manja.
"Oke, karena kamu sangat manis dan lucu, Kakak akan memberimu trik khusus," bisik Sarah, membuat Sophia senang dan bersemangat. “Sudah siap, sayang?”
***