Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 6 DJ 5

Berdiri menatap pintu yang tertutup, Pupe melangkah mendekat dan menyentuh gagang pintu, lalu didorongnya perlahan.

"Ceklek"

Pintu terbuka dan membuat orang yang ada di dalam ruangan menoleh pada arah di mana Pupe berdiri dengan tangan kiri masih memegang gagang pintu.

"Pupe!" seru seorang wanita seusianya tersenyum cerah.

"Suci, Raja!" kaget Pupe mendapati kedua sahabatnya. Pupe langsung menutup pintu dan beranjak menghampiri mereka yang tetawa lebar melihatnya.

"Kalian kok bisa datang ke sini? Tahu dari mana?" tanya Pupe yang bingung dari mana mereka tahu keberadaannya di rumah sakit.

"Tadi kami datang ke rumahmu, lalu tetangga bilang kalau Ibu dirawat di rumah sakit. Jadilah kami kemari menyusul dan ternyata benar," sahut Raja yang duduk di sebuah kursi dekat kaki Lusi yang terbaring.

"O, begitu," sahut Pupe singkat.

"Kamu kenapa tak bilang kalau Ibu sakit dan dioperasi? Kami bisa bantu dan datang menemani," kata Suci meminta penjelasan dari Pupe yang memang tak mengatakan pada siapa pun perihal sakit ibunya.

"Maaf. Aku tak bisa berpikir banyak saat itu. Sudahlah, yang penting sekarang Ibu sudah sehat dan semoga cepat pulih terus pulang, deh!" timpal Pupe cengengesan mengalihkan topik pembicaraan.

"Amin," seru Suci dan Raja bersamaan.

Suci dan Raja adalah teman SMA Pupe. Bedanya mereka berasal dari keluarga yang lebih mapan dibandingkan Pupe. Mereka berdua merupakan lulusan Universitas bergengsi di Jakarta dengan pekerjaan yang bagus pula. Namun, hubungan mereka tetap terjalin baik hingga kini dan tak membedakan status sosial Pupe yang tak sepadan dengan mereka karena hanya orang miskin.

****

Di kediaman Aldy, Sopian baru saja tiba dengan membawa kantung plastik berisi telur pesanan Nisa dan sudah tugas rutin baginya untuk membeli telur tersebut setiap minggu dan entah kapan kebiasaan itu akan berakhir.

"Assalamualaikum!" ucap Sopian yang melenggang masuk ke dalam rumah.

"Anjirlah, pada ke mana, sih, sepi banget. Gak sopan ada orang ganteng datang dicueki!" gumam Sopian karena tak ada yang menjawab salamnya.

Sesampainya di ruang keluarga, dilihatnya dua pria dewasa sedang menonton bola sambil berteriak tak jelas, di mana yang satunya memangku anak laki-laki yang terus berteriak.

"Pantesan gak ada yang jawab salam orang ganteng, ternyata pada nonton bola!" gerutunya dengan bahu lemah.

Dari arah dapur, muncullah Nisa membawa cangkir putih berisi teh hangat miliknya yang baru dibuat dan tersenyum manis melihat kedatangan Sopian dengan muka kusutnya sambil menenteng sebuah kantung plastik.

"Kak Pian kapan datang?" tanya Nisa berjalan menghampirinya.

"Baru saja, Dek. Pantas saja tak ada yang jawab salam ternyata sibuk nonton bola!" adu Sopian kecewa.

"Dari tadi mereka nonton bolanya. Icha juga bingung kenapa acara bolanya tak habis-habis!" sahut Nisa yang sudah pusing mendengar teriakan mereka.

"O, iya. Ini telurnya!" ucap Sopian menyerahkan kantung plastik tersebut. Nisa menerimanya dengan senyum berbinar dan tak lama berkerut kening setelah melihat isi kantung plastik tersebut.

"Ini banyak banget, Kak. Berapa kilo?" bingung Nisa menatap Sopian yang sibuk menggantikan Nisa meminum tehnya.

"Kakak sengaja beli 3 kg, stock buat tiga minggu biar gak teriak minta telur terus kamu!" sahut Sopian cepat.

"Hehe ...."

"Eneng mana, Dek? Kakak kangen berat, nih, pengin cepat nyosor!" seru Sopian dengan mata memutar ke penjuru ruangan mencari keberadaan Lissa.

"Ada di kamar lagi nulis surat buat pacar katanya!" sahut Nisa cepat.

"O, ya. Eneng emang mantap. Tak sia-sia ajaran Kak Pian selama ini. Kak Pian kuy dulu, ah!" ujar Sopian yang langsung menyerahkan kembali cangkir teh pada Nisa dan bergegas menaiki tangga untuk menuju kamar Lissa.

"Kenapa Lissa jadi mirip kamu, Kak?" gumam Nisa menggelengkan kepalanya bingung. Menatap kepergian Sopian, Nisa beralih menatap trio sompret yang masih saja fokus menonton bola. Hal tak jauh beda dilihat Nisa yang menghembuskan nafas lelahnya.

"Nasib hidup dikelilingi para pria!" gumam Nisa pelan yang akhirnya beranjak menuju dapur di mana terlihat Mbak Zulfa sedang memasak untuk makan malam yang sudah terlambat.

Di kamar bernuansa pink, Lissa sedang duduk manis dengan meja belajarnya yang berserakan buku dan alat tulis. Mengendap-endap, Sopian masuk kamar seperti maling dan tengah berdiri di belakang Lissa yang tak menyadari kedatangannya.

"Eneng cinta sangat, kita pacalan, yuk!" gumam Lissa sambil mencoretkan pensil di kertas bergaris membentuk huruf A dan B.

"Ayo, ah!" sahut Sopian berbisik di telinga Lissa. Melotot karena kaget mendengar suara, Lissa langsung menoleh dan mendapati Sopian sedang tertawa geli melihatnya.

"Om Popay!" teriak Lissa yang langsung berhambur ke pelukan Sopian dan langsung ditangkapnya.

Keduanya saling berpelukan dengan kedua tangan Lissa melingkar di leher Sopian. Berat berlama-lama menggendong Lissa yang semakin gemuk, Sopian mendudukkan tubuhnya di ranjang.

"Lagi apa Eneng tadi?" tanya Sopian setelah pelukan Lissa terurai dan masih duduk di pangkuannya.

"Nulis sulat buat pacal Eneng!" sahut cepat.

"Bisa?" tanya Sopian lagi.

"He’eh. Kak Dodo yang ajalin Eneng tulis-tulis!" sahut Lissa lagi.

"Wah, hebat dong! Bisa kalah pintar Om Pian sama Eneng!" seru Sopian menimpali.

"Hehehe ... Eneng pintal kayak Papa!" sahutnya bangga.

"Iya pintar. Pintar buntingin adik gue sampai brojol Aldo!" gerutu Sopian dalam hati.

"Pintar dong! Siapa dulu gurunya, Om Popayyyy!" cerocos Sopian sombong.

Keduanya terus bercerita. Lissa tak segan menunjukkan beraneka ragam tulisan ceker ayamnya yang dibuatnya setiap hari, serta membacakan isi surat yang dia tulis menurut versinya. Dengan sabar, Sopian meladeni cerita Lissa hingga Aldo datang ke kamar dan memanggil mereka untuk makan malam.

"Om, Lissa, turun dulu. Kita makan malam!" kata Aldo yang membuka pintu.

"Ayo, kita makan malam dulu. Tulis suratnya lanjut besok. Sekarang isi bensin dulu biar Eneng tak lemas!" kata Sopian yang langsung menggandeng tangan Lissa untuk turun ke bawah.

Sesampainya di bawah, meja makan sudah dipenuhi aneka masakan penggugah selera. Tak lupa sayur asem kesukaan Aldy selalu tersedia. Sopian duduk bersebelahan dengan Mike serta Aldo. Tak menunggu lama, acara makan malam pun dimulai diiringi cicitan suara Lissa yang tak bisa diam membicarakan tentang surat cinta yang membuat mata Aldy melotot menatap Sopian yang terkekeh.

Setengah jam berselang, acara makan akhirnya selesai. Mbak Zulfa dan Nisa sibuk membersihkan meja makan, sedangkan para pria kembali ke ruang keluarga untuk menarik nafas kenyangnya.

"Kak Mike, besok ada acara ke mana?" tanya Sopian.

"Besok? Gak ke mana-mana kok. Memang kenapa?" sahut Mike menatap Sopian.

"Besok kita ke-" ucap Sopian yang langsung dipotong oleh suara dari arah dapur.

"Gak bisa. Besok Kak Mike akan pergi sama Icha ke Bogor!" sahut Nisa yang berjalan ke arah mereka dan duduk di samping Aldy.

‘Cep’

Mike mendadak bungkam dan mengalihkan mata serta tangannya yang pura-pura mencari kesibukkan karena singa betina mulai kumat.

"Ke Bogor ngapain, Dek? Beli talas?" tanya Sopian penasaran.

"Mau lamar cewek yang sudah dibeli keperawanannya sama Kak Mike!" jawab Nisa padat dan jelas.

Mata Sopian sontak melotot. Dia yakin kalau yang diucapkan oleh Nisa bukanlah main-main. Mata melototnya beralih pada Mike yang justru pura-pura sibuk dengan handphone di tangannya.

"Gila kamu, Kak. Diam-diam sompret juga ngalahin aku. Beli di mana cewek perawan? Aku beli satu dong!"

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel