Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

BAB. 4 Melawan Kemacetan Demi Bertemu Gadis Impian

Di sebuah gedung perkantoran megah dengan dinding kaca yang menjulang tinggi, suasana siang itu tampak sibuk seperti biasa. Para karyawan berlalu-lalang dengan berkas-berkas di tangan mereka, dan beberapa tampak sedang berdiskusi serius di sudut-sudut ruangan.

Sedangkan di lantai paling atas, di dalam sebuah kantor besar yang didominasi oleh perabotan modern dan minimalis, Fritz Eliot Hez, seorang CEO muda yang sangat tampan, tampak berjalan mondar-mandir dengan wajah cemas.

Fritz baru saja menerima pesan penting dari asistennya, Arga. Kiran, gadis yang telah mencuri hatinya sejak lama, sedang berada di sebuah kafe di mall Senayan City. Fritz berhenti sejenak, menarik napas dalam-dalam, lalu mengambil telepon genggamnya dan mulai menghubungi sahabatnya, Harvey.

Fritz :

“Harvey, kamu di mana sekarang?”

tanya Fritz dengan nada terburu-buru.

Harvey :

“Aku lagi di kantor. Ada apa, Fritz?”

jawab Harvey dari ujung telepon dengan nada penasaran.

Fritz :

“Kamu mungkin nggak akan percaya apa yang akan ku katakan.”

Harvey :

“Ada apa, Bro? Cepat katakan, jangan bikin aku menjadi semakin penasaran,”

tukasnya kepada sang sahabat.

Fritz :

“Aku baru mendapatkan informasi dari Asisten Arga, jika Josie, sekarang lagi di Mall Senayan City, bareng Kiran!” Fritz menjelaskan cepat.

Harvey :

“Apa? Josie ada di sana?” Kita harus ke sana sekarang juga, Bro!”

seru Harvey, terdengar antusias

Fritz :

“Aku sudah siap berangkat. Kamu juga sebaiknya cepat!” serunya sebelum menutup telepon.

Tanpa berpikir panjang, Fritz segera keluar dari kantornya, meninggalkan beberapa staf yang hendak menyampaikan laporan. Dia menganggukkan kepala singkat pada Arga, sang asisten yang baru saja tiba di kantor, yang berdiri di dekat pintu dengan raut wajah mendukung penuh rencana sang atasan saat ini.

“Arga, tolong urus semua yang ada di sini sementara aku pergi,” serunya lantang.

“Siap, Bos Fritz! Semoga berhasil,” jawab Arga dengan senyum kecil, paham betul situasi yang dihadapi bos mudanya ini.

Fritz lalu bergegas menuju lift, menekan tombol lantai dasar dengan perasaan berdebar. Begitu pintu lift terbuka, dia langsung menuju tempat parkir.

Di saat yang hampir bersamaan, di gedung perkantoran lain yang tak kalah megahnya, Harvey juga sedang bersiap meninggalkan kantornya. Dia meletakkan kunci laptopnya di atas meja, bergegas mengambil jasnya, dan memanggil asistennya.

“Anton, tolong handle meeting yang ada setelah jam makan siang. Aku ada urusan mendadak,” ujarnya sambil berjalan cepat.

“Baik, Bos Harvey. Akan saya atur semuanya,” jawab Anton sambil mencatat di tablet yang dibawanya.

Harvey kemudian menuju tempat parkir, mempercepat langkahnya seolah-olah setiap detik begitu berharga. Ketika dia masuk ke dalam mobil sport hitamnya yang mengilap, pria itu segera menyalakan mesin dan menginjak pedal gas.

Di dua tempat berbeda, Fritz dan Harvey sama-sama mulai melajukan mobil mereka menuju Mall Senayan City. Fritz, dengan ekspresi serius di wajahnya, melihat jalanan di depannya yang mulai padat. Dia mengerutkan kening.

"Sial! Jalanan malah macet ," gumamnya pada diri sendiri.

Sementara itu, Harvey yang sudah di tengah perjalanan juga mulai merasakan hal yang sama.

“Kenapa tiba-tiba macet parah begini?” keluhnya sambil menepuk setir mobil dengan kesal. Dia melihat ke depan, deretan mobil yang hampir tak bergerak mengular panjang.

Fritz melihat jam tangannya, kemudian meraih teleponnya lagi dan menghubungi Harvey.

Fritz :

“Harvey, jalanan di sini macet banget. Kalau kamu bagaimana?”

Harvey :

“Aku juga kena macet di sini, Fritz. Kayaknya ada galian pipa optik di beberapa titik jalan,” jawab Harvey, nada frustasi jelas terdengar darinya.

Fritz :

“Gila, ini benar-benar bikin kesal! Aku harap kita bisa sampai tepat waktu. Aku nggak mau kehilangan kesempatan ini untuk ketemu Kiran,”

seru Fritz sambil menepuk setir mobilnya dengan geram.

Harvey :

“Ha-ha-ha! Sama, Bro. Aku juga nggak mau melewatkan kesempatan ketemu Josie. Tapi apa boleh buat, kita cuma bisa berharap kemacetan ini cepat mereda.” Harvey tertawa kecil, meski terdengar kesal.

Keduanya terdiam sejenak, fokus pada jalanan di depan mereka. Fritz mencoba mencari jalan alternatif di GPS-nya, namun jalanan Jakarta tampak macet di mana-mana. Dia menghela napas panjang, merasa sedikit putus asa.

Keduanya masih tersambung dalam panggilan telepon,

Fritz :

“Harv, kayaknya nggak ada jalan lain. Kita benar-benar terjebak di sini,” ucap Fritz lagi.

Harvey :

“Iya, kita cuma bisa sabar sekarang. Semoga asja mereka masih di sana pas kita sampai nanti.” Harvey mengangguk, meskipun Fritz tidak bisa melihatnya.

Fritz :

“Kamu benar, Bro. Kita tunggu aja. Aku yakin ini worth it.”

Fritz menatap lurus ke depan, mencoba menenangkan dirinya

Waktu terus berlalu, dan kemacetan tampak semakin parah. Fritz memandang keluar jendela mobilnya, melihat para pengemudi lain yang tampak sama frustasinya. Beberapa pengemudi bahkan keluar dari mobil mereka untuk melihat apa yang menyebabkan kemacetan.

Di mobilnya, Harvey mencoba menghibur dirinya sendiri dengan memutar musik favoritnya. Namun, pikirannya terus melayang ke Josie. “Kenapa sih aku harus ketemu macet begini? Padahal aku lagi buru-buru,” gumamnya sambil tersenyum miris.

Di sisi lain kota, Fritz memutar kepalanya, mencoba mencari cara untuk melewati kemacetan. Namun, semuanya tampak sia-sia. Dia merasa waktu bergerak begitu lambat, dan pikirannya hanya dipenuhi oleh wajah Kiran.

“Aku nggak akan menyerah gitu aja,” katanya, seolah meyakinkan dirinya sendiri.

Setelah hampir satu jam terjebak dalam kemacetan, akhirnya jalanan mulai sedikit bergerak. Fritz melihat ini sebagai kesempatan dan segera menginjak pedal gas lebih dalam.

“Akhirnya! Ada sedikit pergerakan,” serunya dengan semangat baru.

Harvey juga melihat perubahan ini dan mempercepat laju mobilnya.

“Yeah, sepertinya aku punya kesempatan! Sebaiknya aku mempercepat laju mobilnya!”

Keduanya pun melaju dengan kecepatan yang lebih tinggi, mencoba memanfaatkan setiap celah yang ada. Meskipun jalanan masih cukup padat, mereka merasa ada harapan untuk bisa sampai di mall tepat waktu. Di dalam benak mereka, hanya ada satu tujuan bertemu dengan gadis yang mereka sukai.

Setelah beberapa waktu, mereka akhirnya tiba di area parkir Mall Senayan City. Fritz dan Harvey sama-sama keluar dari mobil mereka dengan cepat dan langsung menuju pintu masuk mall.

“Cepat, kita harus ke kafe itu sekarang,” ucap Fritz sambil berlari kecil menuju lift yang akan membawa mereka ke lantai tempat kafe tersebut berada.

Harvey mengikuti dari belakang.

“Iya, semoga mereka masih di sana. Kita harus lebih cepat.”

Setibanya di lantai kafe, keduanya lalu melihat sekeliling, mencari sosok Josie dan Kiran. Tiba-tiba, mata Fritz menangkap bayangan yang dikenalnya.

“Itu mereka!” seru Fritz sambil menunjuk ke arah sebuah meja di sudut kafe.

Harvey menoleh ke arah yang ditunjuk Fritz dan segera mengenali Josie dan Kiran. Mereka sedang duduk, tertawa bersama, dan tampaknya sedang menikmati momen santainya.

Fritz dan Harvey saling bertukar pandang dan tersenyum. Mereka berjalan mendekati meja tersebut dengan sedikit gugup namun penuh semangat.

“Hey, kalian berdua!” sapa Fritz ketika mereka sudah cukup dekat.

Josie dan Kiran menoleh, tampak terkejut namun segera tersenyum melihat kedatangan Fritz dan Harvey.

“Oh, ya ampun. Kak Fritz, Kak Harvey! Apa yang kalian lakukan di sini?” tanya Kiran dengan mata berbinar.

Harvey tersenyum lebar,

“Kami cuma kebetulan lewat dan melihat kalian ada di sini. Boleh gabung?”

Josie mengangguk,

“Tentu saja boleh, Kak! Kami juga senang kalian datang.”

Dengan perasaan lega dan senang, Fritz dan Harvey duduk bersama Josie dan Kiran, akhirnya bisa menikmati waktu bersama gadis-gadis yang mereka sukai setelah melalui perjalanan yang penuh tantangan. Kemacetan yang tadi keduanya rasakan, kini terasa sepadan dengan momen berharga ini.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel