Bab 4 Masih Ada Harapan
Setelah puas melontarkan semua yang ada di hati dan pikiran, maka Yosef segera meninggalkan rumah itu dengan tatapan jijik pada Frans yang tak berkutik. Bahkan, dia terduduk lemas karena apa yang disembunyikan telah dibongkar Paola dan meletus sudah hingga kedua orang tuanya tahu kemalangan yang dialami. Rasa sakit dan kecewa mengisi hati Frans setelah makian didapat dari Yosef serta amat merendahkannya. Bahkan, sebutan pria cacat seakan terngiang di otaknya dan terus terulang sampai tak sadar kalau ada suara yang terdengar sejak tadi.
"Frans! Frans!" Suara itu harus terulang beberapa kali dan akhirnya menyadarkan Frans dari lamunan. Sontak, dia menoleh ke arah datangnya suara di mana Elena menatap sedih kini. Namun, Frans masih bergeming disusul Elena menghampiri dan duduk di sampingnya. Bahkan, dia sengaja menggenggam tangan Frans yang tampak pucat dan bingung. Tentu saja kedatangan Yosef tak pernah diduga karena kemalangannya sudah sepakat akan dirahasiakan.
"Dengar, Sayang. Apapun yang terjadi padamu, kau adalah anak Mama."
"Aku yang salah, Ma, karena tak berkata jujur pada kalian tentang kecacatanku," jawab Frans dengan lesu dan suara rendah. Sontak, Elena menggeleng di mana dia tak setuju dengan kalimat barusan.
"Tidak. Kau bukan pria cacat seperti ucapan Yosef tadi. Kau adalah pria sempurna dan dia salah besar jika berkata demikian. Iyakan, Pa?" balas Elena dan justru meminta pengakuan senada dari Reynold yang masih bungkam.
Dalam diam Reynold menatap sedih putra semata wayang yang baru saja di hina habis-habisan oleh Yosef karena merasa kecewa dengan apa yang dialami. Walaupun hatinya merasa terpukul dengan kenyataan yang tak bisa dibantah, Reynold tetap mencintai Frans sepenuh hati dan selalu menganggap dirinya laki-laki sempurna. sejenak Reynold memejamkan mata untuk menekan rasa terluka di hati mendengar ucapan Yosef yang begitu menyakitkan. Hinaan yang keluar dari mulutnya tak hanya melukai perasaan Frans, tapi dirinya juga selaku orang tua. Dia berusaha mengatur nafas agar kembali normal di mana jantungnya berdegup kencang sebelum matanya terbuka dan menatap lembut pada Frans yang terduduk lesu sambil dielus punggungnya oleh Elena. Apa yang terjadi barusan tak bisa diputar ulang dan kini saatnya dia harus tetap mendukung Frans apapun yang menimpa. Maka, Reynold segera mendudukkan tubuh di samping Frans dan mengatakan sesuatu dengan suara lembut.
"Dengar, Frans. Apapun yang dikatakan oleh Yosef tadi tak bisa dipungkiri memang menyakitkan dan untuk pertama kalinya juga Papa harus mendengar kau dimaki seperti itu seolah begitu hina. Namun, bagi kami kau tetap anak laki-laki kami yang sempurna dan kami sayangi. Kau bukanlah pria cacat karena kau terlahir dengan sempurna tanpa kekurangan apapun. Tak bisa memiliki keturunan bukan berarti hidupmu berakhir sampai di sini. Kau akan tetap bisa mencari kebahagiaanmu sendiri dengan jalan yang akan ditunjukkan oleh Tuhan padamu. Jadi, jangan kau larut dalam duka dan terpuruk." Itulah kalimat panjang dilontarkan oleh Reynold untuk menyejukkan hati Frans yang amat terluka. Namun, kalimat tersebut nyatanya tak membuat Frans mengangkat wajah menjadi tegak karena tetap menunduk. Melihat putra kesayangan mereka yang demikian terpuruk membuat Elena tak bisa membendung air mata dan akhirnya tumpah membasahi pipi. Bahkan, Elena berusaha menahan isaknya agar tak pecah dengan menggigit bibir sendiri.
"Kasihan sekali aku, ya, Pa. Mau bahagia saja susah betul. Padahal aku merasa sangat sehat, tapi ternyata tak menjamin aku bisa punya an—"
"Jangan bicara seperti itu, Nak. Kita akan mencari dokter paling handal untuk menyembuhkanmu. Diagnosa bisa benar, tapi bisa juga salah dan kita akan ke luar negeri untuk memeriksa ulang. Papa akan cari dokter hebat untukmu dan tak lupa minta kesembuhan pada Tuhan sebagai pemilik kehidupan." Suara Reynold terdengar lagi di mana sudah banyak rencana mengisi kepala demi kesembuhan Frans.
Reynold tak patah semangat dan akan melakukan berbagai cara untuk menyembuhkan apa yang dialami oleh Frans, meskipun sudah dua rumah sakit memberikan diagnosa yang sama. Sayangnya Frans menggelengkan kepala seolah menolak apa yang disarankan oleh Reynold untuk dirinya.
"Benar, Sayang. Kita akan ke luar negeri dan Mama juga sedikit ragu dengan diagnosa itu karena bisa saja ada kesalahan," sambung Elena ikut berkomentar dan menggenggam tangan Frans.
"Kemanapun aku pergi tetap saja diagnosa akan berakhir sama di mana mereka akan mengatakan kalau aku adalah pria mandul. Asal kalian tahu kalimat seperti itu benar-benar membuat hatiku hancur dan aku tak sanggup untuk mendengar hal yang sama berulang kali!" terang Frans dengan mata menatap lurus pada Reynold kali ini. Amat jelas Reynold menemukan kesedihan teramat dalam dirasakan oleh Frans yang menolak untuk melakukan pengobatan ke luar negeri. Apa yang dinyatakan barusan ada benarnya karena jika hasil pemeriksaan tetap sama, maka Frans harus mendengar berulang kali kenyataan pahit yang dia alami.
Maka, Reynold menghela nafas pelan dan menarik nafas dalam-dalam karena merasakan dada yang amat sesak saat ini melihat Frans yang terluka. Dia tak menyangka kalau hari ini harus terjadi dan menyaksikan dengan mata kepala sendiri kalau putra semata wayangnya dihina habis-habisan oleh ayah kandung dari gadis yang dicintai. Kini, harapan untuk menggelar pernikahan harus dibatalkan dan semakin menanggung malu jika semua orang tahu apa yang menjadi alasan pesta batal digelar. Tak ayal Reynold akhirnya memeluk erat Frans yang bisa melepaskan kesedihan dalam pelukan kedua orang tuanya saat ini. Apa yang terjadi di ruangan tersebut nyatanya disaksikan seorang pembantu ikut meneteskan air mata karena mendengar kabar yang menimpa tuan muda di rumah itu.
"Ya Tuhan, berat sekali cobaan yang kau berikan untuk Den Frans, hiks ...."
Sebuah mobil melesat dengan kecepatan yang lumayan kencang dan memasuki perumahan mewah yang terletak di Jakarta Selatan. Setelah melewati beberapa blok mobil itu akhirnya memasuki pintu pagar yang segera dibuka oleh seorang penjaga rumah setelah mendengar bunyi klakson. Selepas mobil itu melewati pintu, penjaga tersebut segera menutupnya kembali seolah tak pernah dibuka. Dengan cepat mobil itu berhenti di halaman depan dan berbaris rapi dengan dua mobil yang terparkir lebih dulu. Selanjutnya pintu bagian belakang sebelah kiri dibuka dari dalam oleh seseorang dan terlihat sepatu hitam mentereng pemilik dari seorang pria yang tak lain adalah Yosef. Wajahnya terlihat merah menahan rasa kesal di hati, meskipun sudah diluapkan beberapa saat lalu, tapi tak membuatnya puas. Segera dia membawa kakinya menuju pintu di mana tiba-tiba terbuka dan terlihat seorang wanita berdiri menyambut kepulangannya. Niat hati wanita tersebut ingin menyapa dengan senyum yang sudah terukir, tapi harus diurungkan ketika matanya menangkap raut wajah yang begitu menyeramkan. Bahkan, dia lebih memilih untuk menggeser tubuhnya seakan membiarkan Yosef untuk melewati pintu tersebut tanpa ada yang menghalangi. Benar saja Yosef justru memberi lirikan tajam kepada wanita tersebut yang mendadak langsung mendudukkan kepalanya. Setelah dia berlalu barulah wanita tersebut berani mengangkat wajahnya dan justru berlari menuju halaman di mana seorang supir sedang berdiri di samping mobil.
"Eh, Imam! Pak Yosef kenapa wajahnya merah macam udang rebus. Ada aap, sih!?" ucap wanita itu dikenal suka mencari tahu apa yang terjadi di rumah majikan dan bernama Siti. Sopir yang disapa dengan sebutan Imam mendengar jelas apa yang diucapkan oleh Siti dan sedang menanti jawabannya.
"Entahlah. Yang jelas hatinya sedang tak baik dan maklum saja wajahnya begitu namanya juga habis ngomel-ngomel!" balas Imam santai dan justru bersandar di pintu mobil dengan mata menatap ke arah pintu rumah dan tak ada seorang pun di sana.
"Memang Pak Yosef habis ngomelin siapa? Untung jantungnya tidak kumat lihat wajah menakutkan macam iblis pencabut nyawa!" kata Siti menaruh perhatian, tapi lebih dominan rasa ingin tahunya.
"Sebaiknya kau jangan ikut campur urusan majikan, Ti, atau kau kena sembur karena perkara kali ini sangat menguras emosi Bapak. Aku saja tak berani tanya dan membisu selama perjalanan. Ogah betul aku digorok karena salah bicara!" balas Imam memperingatkan agar Siti tak banyak tanya. Jawaban itu mampu membuat wajah Siti ditekuk dan tertahan pertanyaan lain yang belum sempat terucap karena Imam segera menyambung kalimatnya.
"Tap—"
"Stop bertanya padaku. Sebaiknya buatkan kopi karena kepalaku lumayan pusing dengar orang teriak-teriak!"
Setelah mengatakan kalimat itu Imam segera meninggalkan Siti yang terpaku di samping mobil. Matanya menatap kepergian Imam menuju pos depan bersama penjaga yang sedang sibuk dengan kegiatannya. Adapun Siti yang tak mendapat jawaban pasti dari Imam merasa jengkel, sedangkan hatinya begitu penasaran dengan peristiwa yang membuat Yosef pulang dalam keadaan tak sedap dipandang. Selanjutnya dia menoleh ke arah pintu yang terbuka lebar karena tak ditutup oleh Yosef.
"Ya sudah kalau tak mau bilang akan kucari tau sendiri!"