Bab 7 : Tahap Awal?
Fathan menatap pantulan dirinya di cermin, dan memastikan kalau penampilannya sudah selesai dan rapi, tak ada yang terlewat sedikit pun. Hari memang masih pagi, dan Fathan memang terbiasa berangkat lebih awal.
Setelah selesai dengan penampilannya, Fathan pun turun ke lantai bawah. Matanya menatap sekeliling rumah, mencari keberadaan Neira. Karena saat bangun tadi, Fathan sudah tak menemukan Neira di sampingnya.
Entah kenapa, kaki Fathan langsung melangkah ke dapur, berpikir kalau Neira mungkin sedang memasak dan menyiapkan sarapan untuk mereka berdua, seperti apa yang selalu dilakukan wanita itu setiap hari.
"Ini yang kau masak untuk sarapan cucuku? Cih, memang dasarnya orang kampung dan miskin, masak pun beginian. Gak ada istimewanya."
Langkah Fathan langsung terhenti saat mendengar suara Wina. Kenapa dia bisa sampai lupa kalau neneknya itu menginap? Sungguh, Fathan tidak ingat sama sekali. Padahal alasan Neira pindah ke kamarnya juga karena ada neneknya di sana.
"Iya, Nenek benar. Kok bisa-bisanya sih Fathan kamu kasih makan menu beginian?" Terdengar suara lain, yang Fathan yakini itu bukan suara neneknya maupun suara Neira. Jadi benar Maura menginap semalam? Apakah wanita itu tidur bersama neneknya?
"Kamu harusnya sadar diri kalau Fathan itu derajatnya jauh di atasmu. Makanan seperti ini tidak akan cocok untuknya."
Fathan memejamkan mata dan menghela nafas pelan mendengar itu. Salahkah jika akhirnya dia bertanya kepada Tuhan kenapa harus Wina yang menjadi neneknya?
Fathan berjalan menuju dapur dan mendekati Neira yang rupanya memang sedang memasak. Wanita itu tetap melanjutkan kegiatannya, walau sudah dicerca oleh Wina dan Maura.
"Apa yang kalian lakukan di sini?" Fathan bertanya, membuat Wina dan Maura terkejut. Maura langsung menjauh dari sisi Neira saat tahu Fathan ada di sana.
"Kami hanya mau membantu saja. Tapi istrimu sombong sekali dan berkata tak butuh bantuan," jawab Wina. Tentu saja Fathan tahu kalau Wina hanya mengada-ada saja. Fathan berjalan mendekati Neira yang masih fokus pada kegiatannya. Dia menatap lekat wajah istrinya tersebut yang jelas sedang menahan emosi.
"Kenapa masak banyak-banyak seperti ini?" Fathan bertanya pada Neira yang baru saja mematikan kompor. Namun sebelum Neira menjawab, Fathan kembali bersuara.
"Masaklah dengan porsi yang seperti biasa hanya untuk kita berdua. Kamu tak perlu melayani mereka," lanjut Fathan. Neira langsung menoleh, menatap Fathan yang ternyata juga sedang melihat ke arahnya.
"Fathan, kamu-"
"Masakan istriku bukan selera kalian. Jadi masak saja sendiri," ujar Fathan memotong perkataan Maura. Dia tak memberikan kesempatan untuk Wina dan Maura berbicara. Dan Fathan pun langsung mengajak Neira ke meja makan, untuk sarapan bersama.
Neira sebenarnya cukup kaget dengan apa yang dikatakan dan dilakukan Fathan. Namun, Neira tak protes. Lebih baik dia mengikuti alur yang dibuat oleh Fathan saja.
"Fathan, Maura akan pulang. Mungkin kamu bisa mengantarkannya sekalian berangkat kerja," ucap Wina. Dia dan Maura berjalan mendekati meja makan. Berbicara pada Fathan, bahkan saat Fathan belum selesai makan.
"Maura kan baru pulang lagi ke Jakarta. Kalau pulang sendirian takutnya nanti malah tersesat," lanjut Wina. Neira rasanya ingin tertawa mendengar itu. Duh, sampai segitunya cari alasan agar bisa satu mobil dengan Fathan. Memperlihatkan kebodohan sendiri.
"Aku juga sudah bilang pada Papa kalau aku akan menginap di sini. Kalau kamu mau mengantarku, Papa pasti percaya dan tidak akan mengganggap aku berbohong." Kini Maura yang berbicara. Fathan menelan makanannya lalu mengambil minum. Setelah itu dia menatap Maura yang setia berdiri di samping Wina.
"Itu bukan urusanku." Fathan membalas dengan singkat dan padat. Setelah itu dia melanjutkan acara makannya. Maura cemberut, dan terlihat kesal karena penolakan dari Fathan yang sangat terang-terangan.
Fathan dan Neira selesai makan secara bersamaan. Saat Neira hendak membereskan bekas makan mereka, Fathan melarangnya. Neira memicingkan mata, penasaran apa lagi yang akan dilakukan pria itu.
"Naiklah ke atas dan segera bersiap. Kita berangkat bersama," ucap Fathan seraya menahan tangan Neira yang hendak membereskan piring. Neira menatap Fathan tak mengerti, namun Fathan yang terus menatapnya membuat Neira bingung juga. Akhirnya dia pun memilih menuruti perkataan Fathan saja untuk ke kamar dan bersiap-siap.
"Fathan! Kamu apa-apaan sih?!" Wina berseru kesal saat Fathan dengan tenang membereskan piring kotor di atas meja dan menyimpannya ke wastafel.
"Fathan, itu bukan tugasmu," timpal Maura dengan kening berkerut, terlihat tak suka. Namun, Fathan mengabaikan mereka dan langsung pergi dari sana setelah meja makan bersih.
Wina terlihat sangat geram karena semakin hari Fathan semakin membangkang padanya. Begitu juga dengan Maura, karena Fathan selalu saja menganggapnya tak ada.
***
Hari ini, tanpa diminta dan tanpa pemberitahuan terlebih dahulu, Fathan kembali menjemput Neira saat jam pulang kerja. Karena hal itu, Neira pun digoda habis-habisan oleh ketiga temannya.
Neira merasa bingung dan curiga pada Fathan, walau begitu dia tetap masuk ke dalam mobil pria itu.
"Tak perlu memaksakan diri untuk menjemputku." Neira berujar setelah dia duduk di samping Fathan yang mengemudi. Namun Fathan hanya diam, tak merespon perkataan Neira. Fathan tak mengatakan apa-apa dan langsung melajukan mobilnya di jalanan. Lagi dan lagi, suasana di dalam mobil sangat hening dan terlalu tenang. Neira tidak nyaman, namun dia juga enggan memulai obrolan. Memangnya Fathan akan menyahut?
Neira terus melihat ke arah jendela, dan keningnya berkerut saat mobil Fathan memasuki parkiran sebuah toko kue.
"Mau membeli kue untuk menyambut orang yang baru kembali dari luar negeri?" Neira langsung bertanya dengan sinis. Entah kenapa, pikirannya langsung tertuju begitu saja pada Maura.
"Masuklah denganku ke dalam. Bantu aku memilih kue untuk Mama." Fathan berkata seraya melepaskan sabuk pengaman. Senyum sinis Neira langsung lenyap saat mendengar penuturan Fathan barusan. Kue untuk Mama?
Neira melepaskan sabuk pengaman dan segera keluar dari mobil. Dengan cepat, Neira menyusul Fathan masuk ke dalam toko kue tersebut. Neira baru ingat, kalau hari ini adalah hari ulang tahun Liana, ibu mertuanya.