Bab 6 : Satu Ranjang Lagi
Selama makan bersama, Wina terus saja bicara, memuji dan membanggakan Maura. Sementara Fathan dan Neira hanya mendengarkan saja tanpa ada niatan ikut dalam pembicaraan mereka. Fathan pun terlihat buru-buru menghabiskan makanannya. Karena melihat Fathan yang seperti itu, Neira pun mengikutinya.
Catatan, Fathan tak memakan semua masakan buatan Wina dan Maura yang semua menunya dari ayam dan ikan. Jadinya Neira mendadak memasak dengan bahan yang ada di kulkas. Hanya memasak menu yang simple saja yang tidak memakan waktu lama.
"Fathan, Maura baru pulang dari luar negeri loh. Mungkin kamu bisa ajak Maura jalan-jalan keliling kota," ucap Wina. Neira yang mendengar itu tetap melanjutkan makannya. Benarkan perkiraannya? Wina ingin mendekatkan Fathan dengan wanita bernama Maura tersebut.
"Tak perlu, Nek. Fathan pasti sibuk kerja," balas Maura, sok pengertian. Padahal dari lirikan matanya dia memang berharap Fathan setuju dengan perkataan Wina.
"Itu benar. Aku sibuk kerja dan tak punya waktu untuk melakukan hal seperti itu." Tanpa diduga, Fathan memberikan respon yang seperti itu. Wina langsung berhenti tersenyum saat mendengar itu.
"Tuhkan benar. Fathan pasti sibuk, Nek," ujar Maura lagi. Neira hanya mengangkat kedua alisnya mendengar itu. Caper sekali.
"Kan kamu ini pemimpin perusahaan, Fathan. Kamu bahkan sekarang pemiliknya. Bisalah ambil cuti satu hari untuk menemani Maura." Wina terus berbicara, mengabaikan fakta kalau Neira yang masih ada di sana adalah istri sah Fathan.
Neira menghela nafas mendengar itu. Kebetulan makanan di piringnya sudah habis, Neira pun langsung beranjak meninggalkan meja makan dan menyimpan piring kotornya di wastafel. Setelah itu, Neira melenggang pergi meninggalkan mereka semua menuju ke kamarnya. Neira cukup sadar diri kalau dia adalah orang asing di antara mereka bertiga.
Fathan diam sesaat setelah Neira pergi meninggalkan meja makan. Dia langsung menatap neneknya dengan tatapan tajam, dan berhasil membuat Wina gelagapan.
"Lain kali minta izin dulu dariku saat akan melakukan apapun. Aku tidak suka orang asing berbuat seenaknya dirumahku dan Neira," ujar Fathan. Dia bangkit berdiri dan langsung menyusul Neira ke kamar. Meninggalkan Wina dan Maura yang kaget mendengar penuturan Fathan barusan.
"Cih. Sudah pasti Fathan dihasut oleh wanita tak tahu diri itu," desis Wina kesal. Sedangkan Maura, melihat ke arah perginya Fathan barusan. Ternyata, Fathan masih bersikap dingin padanya sampai sekarang. Padahal, sudah lama mereka tak bertemu. Apa mungkin Fathan belum memaafkannya?
***
Neira berdiri di dekat cermin dan melihat pantulan dirinya sendiri. Dia tidak cantik. Karirnya biasa saja, dan dia juga berasal dari keluarga menengah ke bawah. Hanya sebuah kebetulan saja saat ternyata ayahnya berteman baik dengan ayah Fathan. Hingga akhirnya, dia dan Fathan dijodohkan dan menjadi suami istri sampai sekarang.
Sejak awal Neira sudah tahu kalau rumah tangganya dengan Fathan tak akan berjalan seperti pasangan yang normal. Fathan dingin, cuek, bahkan terkesan menghindari. Neira akui, dia pernah mencoba mendekati Fathan. Melayani kebutuhan Fathan dari pakaian sampai makanan dengan sedikit sikap ingin diperhatikan. Namun, tatapan Fathan malah membuat Neira merasa dirinya mengganggu Fathan. Hingga akhirnya, Neira memilih diam saja dan mengikuti alur yang dibuat oleh Fathan.
Neira bertahan demi orang tuanya. Berpura-pura bahagia demi orang tuanya. Neira tak menyesal menikah dengan Fathan, karena ternyata menikah dengan Fathan menjadi keinginan terakhir orangtuanya yang bisa dia kabulkan.
Lamunan Neira terhenti, saat terdengar suara pintu kamarnya yang dibuka. Neira langsung berbalik dan menatap orang yang baru saja masuk ke dalam kamarnya. Dan orang itu adalah Fathan.
"Ada apa?" Neira bertanya saat Fathan sudah masuk ke dalam kamarnya dan menutup pintu.
"Sudah selesai?" Bukannya menjawab, Fathan malah balik bertanya. Matanya menatap sekeliling, dan Neira baru mengerti apa yang dimaksud oleh Fathan.
"Aku rasa itu tidak perlu, Mas. Nenekmu tidur di lantai bawah dan-"
"Neira, ini perintah." Fathan memotong perkataan Neira dengan tegas. Neira menghela nafas pelan mendengarnya. Dia malas berdebat saat suasana hatinya sedang tidak baik. Jadi, sudah mengalah saja.
Neira pun segera mengeluarkan semua pakaiannya dari dalam lemari. Tanpa diminta, Fathan pun membantu membawa barang-barang Neira yang lain. Mulai dari tas, sepatu, dan buku-bukunya. Neira dan Fathan melakukannya dengan sangat cepat. Fathan tak mau neneknya sampai tahu keadaan rumah tangganya selama ini. Walau tahu kalau neneknya akan senang, tetap saja semuanya tak akan berakhir baik.
Setelah selesai, Neira segera membereskan barang-barangnya lagi. Rupanya, Fathan sudah menyiapkan lemari kosong untuk Neira. Bahkan Fathan juga sudah menyiapkan rak buku dan meja juga untuk Neira.
Neira menghela nafas pelan dan menggelengkan kepala. Dia sungguh tak mengerti kenapa Fathan memaksanya melakukan ini. Padahal harusnya Fathan mempermudah situasi saja. Jika Wina tahu mereka pisah kamar, pasti Wina akan senang dan bisa saja nenek itu berhenti membuat masalah. Namun nyatanya, Fathan malah melakukan sebaliknya. Dengan alasan, demi ibunya. Tapi, Neira juga tak bisa menyangkal kalau sampai sekarang dia bertahan dengan Fathan juga karena ibu mertuanya yang baik, yang sudah menganggapnya sebagai anak sendiri. Dan entah kapan dia bisa lepas dari Fathan.
Suara ketukan di pintu membuat Neira yang sedang membereskan pakaiannya berhenti sesaat. Matanya memicing, menerka siapa yang mengetuk pintu. Lalu Neira menatap sekeliling, dan Fathan tak ada di sana. Kemana perginya pria itu?
Ketukan pintu masih terdengar, dan akhirnya Neira terpaksa berdiri dan mendekati pintu. Dia langsung membukanya, dan sosok Maura lah yang ternyata mengetuk pintu kamar. Perhatian Neira langsung teralih pada nampan yang dibawa Naura. Segelas kopi.
"Mana Fathan?" Maura bertanya dengan nada ketus. Kepalanya bergerak, melihat ke dalam kamar mencari sosok Fathan.
"Bisa minggir? Aku mau bertemu Fathan," ucap Maura lagi dengan sinis.
"Kamu yakin dia mau bertemu denganmu?" tanya Neira tanpa senyum sedikit pun. Maura terlihat geram dengan respon Neira. Saat dia hendak mengatakan sesuatu pada Neira, Fathan muncul. Ternyata dia baru saja dari kamar mandi.
"Ada apa, Neira?" Fathan bertanya dan berjalan mendekat. Maura langsung memasang senyum semanis mungkin saat Fathan melihat dirinya.
"Aku membuatkan kopi untukmu." Maura berucap seraya menyodorkan nampan yang dia bawa. Neira menghela nafas dan kembali masuk ke dalam kamar. Membiarkan Fathan mengurus wanita itu. Sedangkan dia kembali membereskan pakaiannya.
"Aku tidak minum kopi. Kamu minum saja sendiri." Neira bisa mendengar suara Fathan yang menolak kopi buatan Maura.
"Tapi ini perintah dari Nenek."
"Kalau begitu berikan saja pada Nenek." Terdengar suara pintu yang ditutup dan langsung dikunci. Neira kini sedang membayangkan bagaimana ekspresi wajah Maura karena lagi-lagi ditolak oleh Fathan.
"Ini sudah malam. Apa dia juga akan menginap di sini?" Neira bertanya pada Fathan yang hendak membaringkan tubuh di atas ranjang.
"Aku tak peduli," jawab Fathan. Dia langsung merebahkan tubuhnya di samping kanan ranjang.
Setelah beberapa saat, Neira pun sudah menyelesaikan tugasnya. Dia lalu melirik ke arah ranjang, dan dia tak yakin harus tidur di sana.
"Tidurlah di sini. Aku tidak akan melakukan apa-apa." Fathan bersuara saat tahu kalau Neira berniat tidur di atas sofa. Neira hendak bertanya, namun ternyata Fathan sudah memejamkan mata. Neira tak mau berdebat lagi, karena dia sudah lelah. Akhirnya dia mengalah lagi dan berbaring di samping Fathan. Ada sebuah guling di antara mereka, sebagai pembatas. Dan Neira tak menyangka, dia akan tidur satu ranjang lagi dengan Fathan, setelah satu tahun lamanya mereka tidur terpisah.