Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 4 : Berangkat Bersama

Bagi Neira, rasanya sudah cukup kemarin dia mendapatkan segala perkataan kasar dari Wina. Dia berharap, untuk jangka waktu lama tak akan bertemu lagi dengannya. Namun sayang, harapan Neira tak dikabulkan. Karena pagi ini, Wina datang lagi.

Bukan hanya Neira, Fathan pun memang keberatan dengan kedatangan neneknya. Apalagi, neneknya datang membawa koper dan berkata akan menginap beberapa hari di rumah Fathan.

"Kenapa harus di sini, Nek? Kenapa tidak di rumah Om Fahri saja?" Fathan bertanya. Wina sebenarnya sadar sekali kalau cucunya pun keberatan akan kedatangannya. Tapi, dia memilih buta.

"Nenek maunya di sini, Fathan. Memangnya kenapa? Istrimu tak mengizinkan?" Wina bertanya dengan nada yang menyebalkan. Neira yang berdiri beberapa langkah di belakang Fathan hanya bisa mengelus dada mendengar itu. Lagi-lagi dia yang disalahkan. Padahal jelas-jelas cucunya sendiri yang bertanya.

"Nek, jangan terus menyalahkan Neira." Fathan berkata dengan kesal. Dia berbalik, menatap Neira yang berdiri di belakangnya. Neira hanya menggeleng pelan, lalu masuk ke dalam, enggan menghadapi Wina.

"Pokoknya Nenek ingin nginap di sini. Titik." Wina berkata dengan keras kepala. Fathan menghembuskan nafas kasar mendengar itu.

"Baiklah. Nenek bisa menempati kamar tamu yang dekat dengan ruang keluarga," ujar Fathan, mengalah. Wina tersenyum penuh kemenangan mendengar itu. Dia pun langsung berdiri dan menyeret kopernya menuju kamar yang disebutkan oleh Fathan.

Sementara Fathan, langsung menyusul Neira yang berada di lantai atas. Wanita itu sedang bersiap-siap untuk pergi kerja, dan tak mau tahu tentang Wina sedikit pun. Pintu kamar Neira terbuka, dan Fathan berdiri di ambang pintunya, melihat Neira yang sedang mencari sepatunya.

"Nenek akan menginap di sini beberapa hari katanya." Fathan bersuara, memberitahukan Neira.

"Silahkan saja. Ini rumahmu, Mas. Aku tidak berhak memutuskan apapun," balas Neira. Nada bicaranya sebenarnya biasa saja, tapi itu berhasil menyinggung perasaaan Fathan.

"Jangan lupa kunci pintu kamar. Aku tunggu di depan, aku akan mengantarkanmu." Setelah mengatakan itu, Fathan berjalan pergi meninggalkan Neira. Alis Neira menukik tajam mendengar penuturan Fathan barusan. Pria itu mau mengantarkannya? Ah, Neira tahu. Hanya drama saja di depan neneknya.

Setelah semuanya siap, Neira pun keluar dari kamar. Dia mengunci pintu kamarnya, seperti yang diingatkan oleh Fathan. Mungkin sebagai jaga-jaga saja jika Wina ingin masuk tanpa izin.

Neira sampai di halaman rumah dengan selamat, tanpa bertemu dengan Wina. Dia bisa menghembuskan nafas lega karena tak berpapasan dengan nenek cerewet itu. Mungkin Wina masih di kamar tamu membereskan pakaiannya. Neira pun yakin kalau Wina akan tinggal di sana lebih dari seminggu.

"Masuklah." Suara Fathan yang masuk ke dalam gendang telinga Neira membuatnya kaget. Namun, Neira pun langsung masuk tanpa bertanya lagi. Dia ingin segera pergi dari rumah untuk menghindari Wina.

Selama di perjalanan, mereka hanya diam dan tak bicara sama sekali. Mereka sama-sama sedang berpikir, menerka apa yang akan terjadi beberapa hari ke depan selama Wina ada di rumah.

Tak lama kemudian, mobil Fathan sudah sampai di dekat kantor tempat Neira bekerja. Neira hendak membuka pintu mobil, namun suara Fathan membuatnya berhenti sesaat.

"Pulang jam berapa nanti? Biar aku jemput." Fathan bertanya. Neira menengok ke arahnya dengan tatapan heran.

"Tak perlu. Aku bisa naik taksi."

"Aku akan menjemputmu ke sini. Kita pulang ke rumah bersama." Fathan mengulangi perkataannya dengan tegas. Neira merotasikan bola matanya mendengar itu.

"Aku selesai kerja pukul empat sore." Akhirnya Neira memberikan jawaban.

"Nanti malam bereskan semua barang-barangmu dan pindahkan ke kamarku." Perkataan Fathan barusan berhasil membuat Neira terkejut.

"Untuk apa?" Neira bertanya dengan kening berkerut.

"Nenek tidak boleh tahu kalau kita pisah kamar." Fathan menjawab dengan singkat.

"Apa gunanya, Mas? Nenekmu akan senang jika tahu keadaan kita yang sebenarnya." Neira menjawab dengan sinis. Tentu saja Wina akan bersorak riang saat tahu kalau selama ini Fathan dan Neira pisah kamar. Karena keinginan Wina memang seperti itu, memisahkan mereka.

"Tak perlu pura-pura baik padaku di depan nenekmu, Mas. Karena semuanya juga percuma. Apapun yang Mas Fathan lakukan, selalu aku yang disalahkan." Setelah mengatakan itu, Neira langsung keluar dari mobil. Dia berjalan masuk ke area kantor tanpa mempedulikan Fathan yang sedang melihatnya dari dalam mobil.

***

Seperti biasa, saat jam istirahat Neira dan ketiga temannya akan menuju ke kantin kantor untuk makan siang bersama. Hari ini, Neira sedikit berbeda dari hari biasanya. Dia lebih banyak diam dan tak ikut ke dalam obrolan teman-temannya. Entah kenapa, perdebatan singkatnya dengan Fathan tadi pagi terus saja berputar-putar dalam kepalanya.

"Kalian tahu gak? Katanya selingkuhan Pak Haris sudah ketahuan." Masih seperti biasa, Riani lah yang selalu memulai gibahan di meja mereka.

"Benarkah? Siapa sih ceweknya?" tanya Yessi penasaran.

"Namanya Rika. Office girl yang baru kerja empat bulan," jawab Riani. Yessi dan Tiara menganga kaget mendengar itu. Neira yang semula tak tertarik juga kaget mendengarnya.

"Duh, Pak Haris ini terkena katarak atau emang sudah buta sih? Selingkuh kok sama OG. Jauhlah dibandingin sama istrinya," ujar Yessi terlihat kesal. Tiara mengangguk, setuju dengan perkataan Yessi.

"Duh, istrinya udah cantik, berpendidikan, hebat, cerdas, masih aja diselingkuhi." Tiara menimpali.

"Gak aneh. Tiap gue buka sosmed dan ada video tentang perselingkuhan, kebanyakan yang jadi selingkuhan selalu dibawah istri sah dalam segi apapun," ujar Riani.

"Emang bener ya kalau cinta itu buta. Yang halal udah cantik dan sempurna aja malah lebih milih yang gak ada apa-apanya." Tiara berkata. Riani dan Yessi mengangguk bersamaan. Lalu secara serentak, mereka bertiga menatap Neira yang sejak tadi hanya diam dan mendengarkan saja.

"Nei, lo kenapa sih? Dari tadi pagi lo diem aja," ujar Riani. Neira hanya menggeleng pelan, malas menjawab.

"Harusnya kan lo seneng gitu hari ini karena dianterin kerja sama suami tercinta," goda Yessi. Riani dan Tiara membelalak kaget mendengarnya.

"Beneran si Neira dianterin suaminya?" tanya Riani. Yessi mengangguk dengan cepat.

"Ya. Gue liat sendiri tadi." Yessi menjawab dengan yakin. Mereka lalu menatap Neira lagi yang tak merespon apa-apa.

"Nei, kalo ada masalah cerita dong sama kita-kita." Tiara berucap. Neira menghela nafas pelan mendengar itu. Dia lalu menatap teman-temannya yang seperti menunggu cerita darinya.

"Nenek Mas Fathan nginep di rumah. Dan gue gak tahu apakah gue akan tahan atau nggak," ujar Neira. Ketiga temannya merasa kaget lagi mendengar itu.

"Dan suami lo beri izin dia nginap?" tanya Tiara. Neira mengangkat kedua bahunya.

"Gue yakin sih kalau Mas Fathan gak beri izin juga neneknya bakalan maksa," jawab Neira.

"Dih, males gue punya nenek toxic begitu," gerutu Yessi. Mereka memang sudah tahu bagaimana tak baiknya sikap nenek Fathan terhadap Neira. Yang mereka ingat, Neira terakhir cerita tentang nenek suaminya itu sekitar enam bulan yang lalu. Ya, karena sebenarnya Wina tidak tinggal di Jakarta. Sekalinya datang, selalu saja membuat masalah pada anak, menantu, bahkan cucunya.

Dan Neira belum tahu, masalah apa yang akan ditimbulkan Wina kali ini.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel