Bab 3 : Permintaan Sang Ibu
Neira berdiri termenung di dekat wastafel. Dia sudah membuang pecahan gelas tadi dan sedang membasuh tangannya yang kotor. Beruntung, tangannya tidak terluka.
Suara langkah kaki yang mendekat terdengar oleh Neira. Langkahnya yang bergema membuat Neira tahu siapa yang datang ke dapur. Siapa lagi kalau bukan Fathan, suaminya.
"Kamu baik-baik saja?" Pertanyaan dengan nada datar dan Neira tak mendengar kekhawatiran dalam nada suaranya. Neira tersenyum miris dengan pikirannya sendiri. Memangnya apa yang dia harapkan? Fathan peduli padanya begitu? Tak mungkin.
"Aku baik." Neira menjawab singkat tanpa menoleh sedikit pun. Dia kembali membasuh tangannya dan langsung mengeringkannya. Neira lalu berbalik, dan ternyata Fathan masih ada di sana, berdiri di dekat pintu.
"Aku sudah menyuruh Nenek untuk pulang." Fathan berucap. Neira tak tahu harus merespon seperti apa, yang jelas dia merasa lega mendengarnya.
"Terima kasih." Setelah lama diam, akhirnya Neira hanya bisa mengatakan itu. Dia lalu berjalan melewati Fathan begitu saja dan masuk ke dalam kamar. Sungguh, Neira tak pernah berharap ada dalam situasi seperti ini. Dibenci oleh nenek suaminya sendiri, padahal dia tak melakukan kesalahan apapun. Kesalahannya di mata Wina adalah karena dia lahir dari keluarga miskin yang dianggap Wina tak pantas bersanding dengan Fathan.
Neira sadar itu. Dia sangat sadar. Ingin sekali dia menegaskan dan mengingatkan pada Wina kalau dia juga tak menginginkan pernikahan ini. Dia pun terpaksa menerima pernikahan dengan Fathan. Sebenarnya Wina juga tahu itu. Namun, tetap saja kesalahan selalu ditimpakan pada Neira.
Neira hanya bisa merenung di kamarnya. Ya, kamarnya. Selama menikah dengan Fathan, mereka selalu tidur terpisah. Mereka pernah tidur satu ranjang bersama di hari pernikahan mereka setahun yang lalu. Hanya sekali, dan tak pernah terjadi lagi.
Neira berbaring di atas ranjang dengan tangan memeluk guling. Matanya menatap kosong ke arah depan, dan secara tak sadar air mata mengalir membasahi pipinya. Perkataan kasar dan menyakiti hati yang Wina ucapkan masih teringat jelas dalam benak, dan Neira akan sulit melupakannya.
Memang Fathan selalu membelanya di depan Wina. Namun Neira tak bisa tersentuh dengan itu. Harusnya Fathan sadar kalau pernikahan mereka memang seharusnya cepat berakhir. Neira siap jika saja Fathan akan menceraikannya kapan saja. Tapi apa yang dikatakan pria itu tadi? Mereka tak akan pernah bercerai? Neira tak habis pikir dengan apa yang Fathan inginkan sebenarnya.
Saat sedang sibuk bergelut dengan pemikirannya sendiri, ponsel Neira berbunyi menandakan sebuah pesan masuk. Dengan malas-malasan Neira mengambil ponselnya dan membaca pesan yang masuk barusan.
"Aku membeli makanan untuk makan malam. Ada di atas meja makan."
Neira mengucek matanya beberapa kali, memastikan kalau dia tak salah membaca. Benarkah Fathan mengiriminya pesan? Dan, apa isi pesannya? Pria itu membeli makanan? Untuknya juga?
Neira memicingkan mata, lalu menjatuhkan ponselnya begitu saja di atas ranjang tanpa berniat membalas pesan dari Fathan yang mungkin sedang berada di kamarnya. Apakah dia harus merasa tersentuh? Sepertinya itu belum cukup.
***
Fathan duduk di sofa panjang yang tersedia di kamarnya. Tangannya memegang ponsel, dan menatap layarnya cukup lama. Dia baru saja mengirimkan pesan pada orang yang sebenarnya satu rumah dengannya dan hanya berbeda kamar saja.
Tak ada balasan, dan Fathan juga tak mengharap pesannya akan dibalas. Itu bukan pertanyaan yang butuh jawaban, hanya sebagai pemberitahuan saja untuk Neira.
Saat Fathan hendak menyimpan ponselnya, sebuah telepon masuk. Fathan menatap layar ponselnya lagi dan ternyata ibunya lah yang menghubungi. Tanpa menunggu lama, Fathan pun segera mengangkatnya.
"Halo, Ma."
"Halo, Fathan. Kamu di mana sekarang?" Fathan diam, tak langsung menjawab. Dia jadi curiga mendengar nada suara ibunya yang terdengar khawatir.
"Aku di rumah. Ada apa?"
"Baguslah. Mama senang mendengarnya. Neira bagaimana? Dia baik-baik saja kan?" Kecurigaan Fathan bertambah saat sang ibu langsung menanyakan Neira.
"Dia baik. Dia sedang beristirahat."
"Mama senang mendengarnya. Kamu jaga Neira dengan baik ya."
"Ada apa, Ma?" Akhirnya Fathan bertanya karena dia merasa curiga. Terdengar helaan nafas dari seberang telepon, membuat Fathan yakin ada sesuatu yang terjadi.
"Tadi nenekmu datang ke sini. Katanya beliau baru saja datang ke rumahmu." Liana, ibu Fathan menjawab dengan suara sendu.
"Fathan, Mama hanya minta kamu jaga Neira dengan baik. Mama minta, apapun masalah yang akan terjadi nanti, jangan pernah kamu punya pikiran untuk melepaskan Neira. Mama tahu betul kalau dia adalah istri yang baik untukmu." Suara Liana bergetar, dan itu terdengar jelas oleh Fathan.
"Nenek mengatakan sesuatu pada Mama?" Fathan bertanya lagi. Ya, bukan hanya Neira saja yang tidak disukai oleh Wina, tapi Liana juga. Selama ini Fathan juga tahu kalau ibunya selalu diperlakukan tak baik oleh Wina.
"Maafkan Mama, Fathan. Mama bukan ingin menjelekkan nenekmu. Tapi, Mama minta jangan pernah kamu sampai terhasut oleh nenekmu. Neira wanita yang baik. Mama jamin itu." Fathan memejamkan mata dan menghela nafas pelan. Selalu saja ada masalah saat neneknya muncul secara tiba-tiba begini.
"Baik, Ma. Aku mengerti." Fathan berusaha membuat ibunya untuk merasa tenang dan tidak khawatir.
"Baiklah. Terima kasih. Selamat malam anakku. Jaga istrimu dengan baik."
"Selamat malam, Ma." Sambungan telepon terputus, dan kini Fathan merasakan kepalanya yang berdenyut hebat. Pekerjaan di kantor menumpuk, dan saat pulang dia malah dihadapkan dengan neneknya. Belum lagi ibunya yang seperti mewanti-wanti dirinya. Apakah neneknya akan melakukan sesuatu pada Neira? Tapi apa?
Lalu jika itu terjadi, apa yang harus dia lakukan?