Bab 2 Ponsel Reno
Dalam perjalanan pulang.
Emosiku berangsur-angsur kembali tenang.
Melihat Reno yang tertidur di samping karena mabuk.
Aku teringat adegan ketika dia melamarku.
Tiga bulan yang lalu, terjadi kebakaran di tempat tinggal kami.
Kebetulan saat itu dia terkilir saat bermain sepak bola, jadi dia kesulitan untuk bergerak.
Demi menyelamatkannya, aku mengalami luka bakar yang parah di kakiku dan hampir saja mati dalam lautan api itu. Untungnya, tetanggaku menelepon pemadam kebakaran dan ambulan tepat waktu sehingga nyawaku terselamatkan.
Kemudian, ketika aku keluar dari rumah sakit, meskipun luka-lukaku sudah sembuh, tapi aku masih memiliki bekas luka yang tidak elok untuk dipandang di kakiku.
Reno mengambil bunga dan cincin lalu mencium bekas luka di kakiku.
Dia berlutut dengan satu lutut dan ekspresi tulus tampak di wajahnya,
"Lulu, tanpamu, maka tidak akan ada aku. Aku akan menghabiskan seluruh hidupku untuk menjagamu dan menebusnya." Aku terkejut dan terharu hingga meneteskan air mata, lalu menganggukkan kepala menyetujui lamarannya. Kami telah bersama selama lima tahun, bisa melangkah sampai pada tahap pernikahan juga merupakan hal yang sudah kami harapkan dan rencanakan. Namun, secara tidak sengaja, kebakaran itu mempercepat pembicaraan kami tentang pernikahan.
Dia penuh perhatian dan bijaksana, romantis dan penuh kasih sayang.
Jika bukan karena aku melihatnya dengan mata kepalaku sendiri hari ini, aku tidak akan percaya bahwa ternyata bukan aku orang yang dia cintai setelah sekian lama kami bersama.
Aku menahan air mata, tidak membiarkan diriku menangis.
Yang aku pikirkan di benakku hanya satu.
Putus, aku ingin putus dengan Reno.
Meskipun kita telah bersama selama bertahun-tahun, tapi kita tidak bisa terus-terusan menipu diri sendiri hanya karena waktu.
Selingkuh adalah batas toleransiku, aku tidak akan pernah bisa memaafkannya.
Saat ini, ponsel Reno tiba-tiba berdering.
Aku terdiam sejenak, melihat ke layarnya yang menyala, ternyata Luvena yang menelepon.
Setelah ragu-ragu untuk beberapa saat, aku masih tetap tidak mengangkatnya.
Itu adalah ponsel Reno, aku tidak pernah memeriksa ponselnya, aku memberikan kepercayaan terbesar padanya.
Sekarang, karena aku telah memutuskan untuk putus, maka aku makin tidak akan menyentuhnya.
Tetapi setelah telepon secara otomatis menutup, Luvena masih bertahan dan menelepon lagi tanpa henti.
Telepon terus berdering dan berdering.
Saat itu aku masih sedang mengemudi, ponsel yang terus menerus berdering itu sungguh sangat menggangguku dan akan membuat konsentrasiku mudah teralihkan.
Jadi demi keselamatan, aku pun mengangkat telepon Luvena.
Namun, sebelum aku sempat berbicara, suara sombong Luvena sudah terdengar.
"Lambung Reno lemah, dia akan sakit perut setelah minum alkohol, jadi siapkan susu dan obat sakit perut untuknya."
"Ingat, susunya harus panas, kalau tidak, dia tidak akan terbiasa meminumnya."
"Dan juga bantu dia untuk cuci kaus kaki dan pakaian dalamnya, pastikan harus dicuci dengan tangan ya, dia sangat pemilih."
Mendengar hal ini, aku menyadari bahwa panggilan teleponnya ini memang sengaja ditujukan padaku.
Sungguh ironis sekali.
Reno dan aku akan segera melangsungkan pernikahan, tapi wanita lain malah yang mengajariku cara merawatnya.
Aku mengabaikan Luvena dan langsung menutup telepon.
Dengan cepat, aku mengemudikan mobil ke tempat parkir.
Setelah memarkir mobil, aku mengambil ponsel Reno dan membukanya dengan sidik jarinya.
Aku menarik napas dalam-dalam dan berusaha menyiapkan cukup mental sebelum aku berani mengklik riwayat obrolannya dengan Luvena.
Dikatakan bahwa tidak ada seorang wanita pun yang bisa berjalan keluar dari ponsel pacarnya dengan senyum di wajahnya.
Setelah aku melihat ponsel Reno, aku sudah menangis tersedu-sedu dari awal.
[Lulu, kapan kamu kembali, aku sangat merindukanmu.]
[Lulu ... Aku memimpikanmu lagi hari ini.]
[Aku sudah akan menikah, Lulu, tapi kamu tahu itu.]
[Orang yang ingin kunikahi selalu adalah kamu.]
[Aku tidak mencintainya dan tidak ingin menikahinya.]
[Tapi dia menyelamatkanku dan bahkan terluka gegara aku. Karena tanggung jawab, aku mau tidak mau harus melakukannya.]
[Jika bukan karena namanya sama dengan namamu, aku sama sekali tidak akan bersamanya.]
[Jika aku melamarmu, maukah kamu menikah denganku?]
Riwayat obrolan itu hampir semuanya adalah Reno yang sedang berbicara sendiri tentang isi hatinya.
Luvena jarang membalasnya.
Hingga seminggu sebelum Reno menghilang, dia mengirimi Luvena undangan pernikahan elektronik.
Barulah Luvena membalasnya, [Datang dan temui aku.]
Di bawah pesan itu terdapat pesan lokasi.
Aku seperti terbangun dari mimpi buruk.
Ternyata selama seminggu Reno menghilang ini, dia selalu bersama Luvena.
Kemarahan dan kebencian meledak di dalam lubuk hatiku.
Aku tidak ingin menundanya sedetik pun. Aku ingin mengakhiri hubunganku dengannya sepenuhnya.
Pria brengsek seperti ini, aku tidak menginginkannya lagi.