Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Masih Belum Percaya

Gadis bersurai gelombang itu hanya bisa memandangi jalan yang tidak dikenalnya. Hingga mobil tadi memasuki sebuah gerbang dengan pagar yang menjulang tinggi. Perlahan mobil tadi mulai memasuki sebuah pekarangan yang sangat luas.

Deru nafasnya mungkin saja terdengar jelas di telinga wanita disampingnya. Selama perjalanan wanita itu tidak mengatakan apapun. Seperti robot yang tetap fokus dengan perjalannya.

“Bagaimana ini? Belum apa-apa aku sudah merindukan ibu dan Erika, tanpa mereka di sisiku, apa aku akan sanggup bertahan?”

Gadis itu mulai berdiskusi dengan hatinya. Netranya mulai memindai setiap sudut saat mobil itu berhenti. Dari awal mobil itu memasuki gerbang, pertama kali yang gadis itu melihat adalah rimbunan bunga yang seolah disusun dengan sangat cantik dan rapi menyerupai taman kecil di tengahnya mengalir dengan indah air jernih mengalir bergelombang seirama. Semakin menambah indah halaman depan kediaman mereka.

Ketika mobil berhenti, netra gadis bersurai gelombang itu kembali disuguhi dengan pemandangan yang membuatnya makin gugup. Ini bukan pertama kalinya, dia disuguhi hal semacam itu, tapi saat ini berbeda dari biasanya dirinya yang menghadiri satu undangan.

Beberapa orang berbadan tegap dan berjas hitam menyambut kedatangan mereka. Tidak ada senyuman dari mereka. Membuat kesan seram dan muram semakin terasa. Beberapa kali Marla menelan salivanya sendiri. Ini kali pertama dia keluar secara paksa. Biasanya dia hanya akan diizinkan keluar untuk acara undangan, sekedarnya berjalan—jalan atau menemani Erika berbelanja ke pasar saat kebutuhan dapur mereka berkurang.

“Rumah sebesar ini? Bagaimana aku membersihkannya? Lalu, untuk apa mereka mencari pelayan tambahan? Toh aku lihat, mereka nggak kekurangan pelayan sama sekali. Ya ampun, aku nggak habis pikir. Belum apa—apa, aku sudah nggak betah. Aku nggak mau disini.”

Ingin sekali gadis itu melarikan diri. Ketika hatinya terus bergemuruh tanpa henti. Tapi, saat melihat ke sekeliling, dia hanya ditinggalkan dengan beberapa pengawal yang kaku tadi, itu saja sudah membuat nyali gadis itu menciut. Marla diminta menunggu oleh wanita tadi. Gadis itu berdiri di tengah ruangan. Sekelilingnya terlihat beberapa lukisan mewah, guci, lampu kristal yang menggantung dengan indah dan lantai yang diinjaknya terbuat dari marmer.

Meski hidup Marla bersama ibunya tidak semewah itu. Keadaan seperti itu, gadis itu hanya bisa mengagumi saja tanpa banyak berbicara. Terdengar suara langkah kaki dari tangga. Marla memberanikan diri mengangkat wajahnya. Menoleh ke arah suara. Wanita yang bersamanya tadi, kini sedang menggandeng turun seorang wanita tua. Rambutnya bahkan sudah hampir memutih.

Saat gadis itu bersitatap, desiran aneh merasuk sukmanya. Wanita tua itu memicing tajam kearah Marla tanpa berkedip. Dari ujung rambut hingga kaki gadis itu ditatapnya tanpa berkata. Tubuh Marla meremang. Seperti melihat wanita tua dalam film bergenre horror. Menakutkan dan mencekam.

Tak mampu berkata, sudah terintimidasi dan membuat gadis itu menundukkan kepalanya.

“Ya ampun, seram banget sih. wajahnya saja sudah membuatku takut. Seperti akan menelanku hidup—hidup.” Lagi batinnya berteriak.

“Kapan semua suratnya kuterima?”

“Paling lambat, lusa, Nyonya Margaret,” jawab Ester.

“Owh, ternyata dia yang akan menjadi majikanku. Tampangnya benar—benar menyeramkan.” Kata Marla lagi berbisik kembali telinganya memindai diam-diam pembicaraan mereka.

“Jika bisa, aku menginginkannya lebih cepat. Semua aku serahkan padamu. Kau beritahu aturan di keluarga ini dan jangan sampai aku tahu, dia tidak mengerti!”

“Baik, Nyonya Margareth. Akan saya laksanakan!” Setelah mendengarkan perintah yang membuat Marla semakin bingung. Wanita tua tadi yang dipanggil nyonya Margaret oleh Ester meninggalkan mereka dengan bantuan pelayan lain.

“Ayo, ikuti aku!” gadis itu masih tertegun sesaat.

“Kau tidak tuli kan? Aku paling tidak suka mengulangi perkataan,” ucap Madam Ester ketus.

“Ma—maaf!” Gadis itu segera berlari mengekor dari belakang saat Ester menaiki tangga yang sama dengan nyonya Margareth tadi. Marla melewati beberapa kamar. Terasa sunyi dan senyap seperti rumah tidak berpenghuni saat gadis itu melewati kamar—kamar tersebut.

Rumah besar, bergaya eropa kuno, persis seperti gadis itu sedang berada dalam rumah hantu. Gadis itu merasa seperti terjebak di dalamnya dan kemungkinan terbesar gadis itu akan mati di dalamnya. Begitulah perkiraan yang gadis itu bayangkan.

Tepat setelah melewati dua kamar berukuran besar. Ester berhenti dan membukakan pintu.

“Ini adalah kamarmu. Maaf, aku belum memperkenalkan secara resmi padamu. Namaku, Ester. Semua pelayan dan pengawal disini memanggilku dengan sebutan Madam Ester, kau juga bisa memanggilku dengan sebutan yang sama!”

“Ba—baik, Madam Ester. Lalu apa yang harus aku lakukan selanjutnya? Apa aku langsung bekerja?” Marla berkata membuat tatapan Ester memicing tajam padanya.

“Aku akan menyuruh seseorang mengantarkan makanan untukmu karena jam makan siang sudah lewat. Setelah itu, kau bisa beristirahat terlebih dahulu sebelum jam makan malam. Makan malam akan dimulai setiap pukul tujuh. Aku berharap kau sudah mempersiapkan diri dan tidak membuat kesalahan. Aku akan kembali sebelum pukul tujuh nanti. Silahkan beristirahat lebih dulu.” Meski perkataannya jelas terdengar di telinga gadis itu, tetap saja Marla bingung. Belum sempat gadis itu menjawab, Ester sudah menghilang dari pandangannya.

“Haiss, Madam Ester benar—benar kaku. Persis seperti robot. Aku belum menjawab, dia sudah pergi. Orang yang aneh.” Gadis itu bergerutu kembali. Marla melangkahkan kakinya memasuki kamar yang sudah dibukakan oleh madam Ester.

“Astaga … i—ini? Serius kamarku? Apa mereka, ah madam Ester nggak salah memberikanku kamar?” Gadis bersurai gelombang itu membekap mulutnya. Takjub dengan apa yang dilihatnya.

Kamar bernuansa lembut dan didominasi dengan warna serba putih. Kamar itu lebih mirip seperti kamar seorang putri. Marla berjalan mendekat, namun saat beberapa langkah dan ingin menyentuh, suara ketukan pintu membuatnya menoleh.

“Maaf Nona, madam Ester menyuruhku mengantarkan ini. Jika, Nona sudah selesai dengan semua ini, Nona bisa meletakan kereta ini diluar kamar. Saya pergi dulu!” seorang pelayan masuk setelah dia mengetuk pintu.

Setelah memberitahu dan meletakan kereta dorong. Pandangannya jelas langsung tertuju pada kereta itu. Tanpa gadis itu sadari, perutnya makin bergenderang dengan kencang.

“Aku lupa, sarapan tadi aku hanya makan sedikit. Makan siang pun terlewatkan begitu saja. Semua karena masalah ini yang datang tiba—tiba. Baiklah, Marla, isi perutmu dulu, setelah ini baru dipikirkan lagi.” Sesaat semuanya teralihkan. Marla cukup kelaparan. Energinya tadi lumayan terkuras karena menangis dan ada drama seperti dalam televisi yang main tarik paksa.

“Hah, aku masih berharap ini bukan nyata, hanya mimpiku saja. Aku berharap, aku masih bisa kembali ke tempat dimana ibuku berada. Semangat, Marla. Kumpulkan energi lalu pikirkan lagi nanti caranya!” Marla menutup pintu kamarnya. Mendorong kereta makan ke sudut ruangan dengan mini sofa yang tak berjauhan dari ranjang putrinya.

Gadis bersurai gelombang itu menghabiskan dengan cepat semua makanannya. Marla menyentuh bantal dan guling berenda dengan ranjangnya yang berkelambu putih. Memang masih sangat sulit dipercaya semua kejadian yang menimpanya hari ini. Pikirannya mendadak kosong. Tak sabar gadis itu setelah menyentuhnya, dia perlahan duduk dan tanpa sadar, tubuhnya yang terasa sangat lelah membuatnya terbaring. Terlelap dalam buaian mimpi.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel