Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 1 Kalimat Penolakan

Bab 1 Kalimat Penolakan

Udara sangat cerah di kota West siang ini, namun riuh lalu lalang kendaraan menandakan penduduknya tidak terganggu dengan teriknya sinar matahari.

Eva sedang berada di ruang kerja rekan konselornya, menanti pria itu mengucapkan perkataan selanjutnya. Eva terus saja melihat pergelangan tangannya karena tiga puluh menit lagi ia punya janji dengan teman kuliahnya.

“Saya sudah pikirkan ini lama, sejak mulai mengenal kamu. Saya ingin bertemu dengan orang tuamu dan melamar kamu,” ucap Tommy setelah ia diam sejenak. Ia menatap lekat wajah Eva, menanti jawaban dari konselor muda yang selama ini adalah rekan seprofesinya, dengan perasaan cemas.

‘Sinting! Dia pikir aku punya agenda untuk menikah dalam lima tahun ke depan. Tidak akan. Aku hanya ingin menikmati masa mudaku. Pekerjaanku sudah berat dan pahit. Aku tidak ingin merasakan kepahitan yang sama secara pribadi,’ batin Eva berusaha memutar otaknya untuk segera keluar dari ruang kerja Tommy.

“Dengar Tommy, kita sudah berteman lama. Kamu itu sangat sempurna dan aku tidak mampu mengimbangi semua itu. Aku akan selalu merasa tak berarti jika bersamamu. Aku sangat berterima kasih untuk semua waktu dan perhatian yang kamu berikan. Tetapi, aku masih tidak pantas untuk menjadi pasangan hidup siapa pun juga, karena aku masih sangat egois. Aku tidak ingin menyakiti kamu nantinya. Kamu akan menemukan wanita yang jauh lebih baik dari aku. Maafkan aku.” Eva menyampaikannya dengan sangat pelan namun tidak terkesan memelas. Ia ingin menunjukkan sisi terlembutnya agar tidak menambah sakit hati dari pria di hadapannya. Eva tahu betul kalau setiap orang tidak ingin ditolak.

“Jadi kamu menolakku?” balas Tommy lirih.

“Kamu salah satu teman terbaikku. Aku tidak menolakmu. Aku hanya tidak bisa memenuhi keinginanmu.”

“Aku mengerti. Kamu bisa pergi sekarang.” Tommy membalikkan tubuhnya karena tidak ingin menatap Eva lebih lama lagi.

“Sampai ketemu besok. Kita makan siang bersama seperti biasa.”

Eva menanti beberapa detik untuk mendapatkan tanggapan dari rekannya itu tapi tidak ada reaksi.

“Selamat siang.”

Eva melangkah keluar dari ruangan, meninggalkan Tommy, yang hanya bisa meresapi penolakan yang baru ia terima. Sedangkan Eva melangkah dengan sejumput rasa bersalah telah menolak Tommy. Tetapi ia memang tidak berniat untuk membina hubungan serius dengan siapa pun, entah sampai kapan. Perlu diingat kalau Eva memiliki perasaan suka pada lawan jenis dan bukan sesama jenis.

Gadis itu sampai di bawah karena kantornya di lantai delapan belas. Ia langsung mencegat taksi yang kosong di depan gedung perkantoran dua puluh tujuh lantai itu. Taksi yang Eva kendarai akhirnya sampai juga di depan restoran di mana temannya, Ricky sudah menanti.

Eva sudah telat sepuluh menit dari waktu yang disepakati. Mereka sudah janjian untuk makan siang bersama sejak satu minggu yang lalu. Keduanya berteman sejak kuliah walaupun beda fakultas. Eva mendalami ilmu Psikologi sedangkan Ricky di bidang Hukum.

Eva langsung membayar taksi tanpa menunggu kembaliannya, walaupun supir sudah berteriak mengingatkannya.

Eva langsung menuju ruang khusus sesuai dengan pesan dari Ricky yang ia terima tiga puluh menit yang lalu. Untunglah restoran yang dipilih untuk pertemuan mereka siang ini sudah pernah Eva kunjungi. Jadinya ia tidak perlu kebingungan mencari tempat, sehingga semakin memperlambat gerakannya dan membuatnya terlihat tidak menghargai waktu. Selama ia bekerja, ini baru pertama kalinya Eva terlambat dalam menghadiri janji pertemuan dengan seseorang.

“Aku minta maaf karena terlambat. Sekali lagi maaf,” ucap Eva begitu membuka pintu kaca di depannya sekalian menutupnya, lalu berdiri terpaku menundukkan kepalanya tanda ia serius dengan perkataannya.

“Maaf, Anda ingin bertemu dengan siapa?” balas suara pria di depannya yang terlihat bingung menatap Eva.

“Oh! Anda bukan Ricky. Maaf, saya salah meja!” sahut Eva mengangkat kepalanya, terbelalak lalu buru-buru keluar dari ruangan tersebut.

Eva menatap tanda di pintu yang tertera 21 padahal ia mencari ruang 12. Dengan menggelengkan kepala berulang kali, gadis berusia dua puluh lima tahun itu kembali mempercepat langkahnya menuju meja yang sebenarnya. Kali ini ia tidak salah lagi dan dari luar ia bisa melihat temannya sedang menatap jam tangannya tanda sudah tak sabar menanti.

“Aku tahu penjelasan apa pun tidak akan menghilangkan kekesalan di hatimu. Aku minta maaf, karena sudah membuatmu menunggu!” ucap Eva sambil setengah membungkukkan badannya begitu sudah ada di dalam ruangan.

“Duduklah, setidaknya kamu sudah tiba dengan selamat,” balas Ricky dengan nada suara biasa saja. Tidak ada tanda-tanda kalau ia kesal dari apa yang Eva dengar.

Pria itu menatap kagum pada Eva saat mengamati gadis itu duduk. Baginya, gadis di hadapannya ini tidak pernah bisa membuatnya marah. Mereka sudah kenal sejak lama dan Ricky menaruh hati pada Eva. Sebaliknya, Eva tidak pernah berpikir bahwa cinta itu penting bagi dirinya sendiri, saking banyaknya teori dan kasus keretakan hubungan yang ia pelajari selama delapan tahun berkecimpung dalam bidang psikologi.

“Ayo, dimakan. Aku sudah memesan beberapa menu untuk kita. Kalau masih kurang sesuai dengan seleramu, kita pesan lagi.”

“Ini sudah lebih dari cukup, Rick!” seru Eva mulai terdengar antusias.

“Bagaimana pekerjaan kamu?” tanya Ricky begitu mereka sudah mulai menyantap makan siang yang tersaji.

“Seperti biasa. Nanti jam tiga ada janji dengan klien lagi. Pak pengacara sendiri kabarnya seperti apa?”

“Samalah. Kebetulan hari ini juga tidak ada sidang. Minggu depan jadwalku padat. Tapi sebentar lagi aku juga harus pergi karena mau menjemput teman di bandara.”

“Aku tahu. Lebih baik punya teman daripada tidak sama sekali.”

“Teman lama yang baru pulang dari studi.”

“Sebaiknya kita tidak membuang-buang waktu. Jadi, kabar apa yang kamu ingin sampaikan?” tanya Eva menyelesaikan suapan terakhirnya dan menyangga sikunya di atas meja, menatap lekat pada manik hitam milik Ricky.

“Aku ingin sampaikan sesuatu,” sahut Ricky terlihat mengambil sesuatu di dalam saku jasnya. Eva menatap gerakan pria itu sambil berpikir kalau temannya itu pasti akan mengambil sapu tangan untuk menyeka wajahnya seperti yang biasa dilakukan para pria setelah mereka makan atau minum. Beda dengan wanita yang cenderung mencari tisu.

Ricky mengeluarkan sebuah kotak berwarna perak dan dia letakkan di atas meja lalu mulai berbicara, “Aku ingin sampaikan kalau -”

“Jangan! Tolong jangan lanjutkan apa pun yang akan kamu katakan,” seru Eva memotong perkataan Ricky sambil mengangkat telapak tangan kanannya menghadap Ricky. Eva menggelengkan kepalanya beberapa kali dengan mata yang tidak berkedip.

Ricky balas menatap Eva agak melongo karena perkataannya disela. Tiba-tiba saja Eva merasa mual dan semua makanan yang baru ia masukkan rasanya sudah menumpuk di saluran tenggorokannya.

Bayangan wajah Tommy yang baru ia tolak perasaannya ratusan menit yang lalu, membuatnya tidak ingin berada di posisi yang sama lagi, kalau memang dugaannya benar.

Eva memang terlalu percaya diri. Ia bahkan belum mendengar apa sebenarnya yang ingin Ricky sampaikan tapi ia sudah membuat asumsi sendiri.

Eva hanya tidak ingin laki-laki di depannya mengeluarkan apa pun isi kepalanya karena Eva tidak ingin menyakiti siapa pun lagi hari ini. Cukup Tommy saja yang dia tolak. Dia tidak ingin mengeluarkan kalimat penolakan yang sama pada Ricky saat ini.

Bersambung

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel