Ringkasan
"Hiyaaaaaaaaa!" Pukulan keras tak bisa terhindarkan lagi. Reyhan tak bisa menghindari pukulan yang diberikan oleh Betari. Namun semua itu di luar dugaan Betari, walaupun ia memukul Reyhan dengan segenap tenaga yang ia punya Reyhan tak merasakan sakit. "Loh kok, o nggak ngerasa sakit sih? Padahal kan karate gue udah sabuk hitam. Emang lo nggak ngerasa sakit gitu, padahal pipi lo gue yakin itu udah memar?" Betari pun mulai panik. Pasalnya yang ia hadapi saat ini adalah anak geng motor yang dikenal dengan reputasinya yang sangat buruk, dan terkenal dengan kekejamannya. Tapi anehnya ketua geng motor itu tidak merasa kan sakit akibat pukulan Betari. "Hh ... sakit, gue udah nggak kenal rasa sakit. Dan tentang karate lo itu nggak ada apa-apanya buat gue, karena gue udah nguasain semua jenis ilmu bela diri," ucap Reyhan. "Tangkap dia!" perintah Reyhan dingin dengan tatapan matanya yang tajam. Reyhan menunjuk ke arah Betari, Betari yang ditunjuk pun merasa panik, maka itu ia langsung berlari tak tentu arah.
Latar Belakang Seorang Betari
Lima tahun yang lalu.
"Prangggg!"
Lagi dan lagi bunyi pecahan barang terdengar. Apa mungkin orang yang melempar benda itu tidak memikirkan bagaimana perasaan seorang gadis yang berumur sepuluh tahun.
Ia hanya bisa mengurung dirinya di kamar karena ia terlalu takut untuk keluar, ia tahu pasti bagaimana keadaan ibunya di luar kamar ini.
Pasti setelah ini ia menemukan ibunya dalam keadaan lebam yang cukup banyak di seluruh tubuhnya terutama di wajahnya.
Kini tangisnya pecah tak bisa ia tahan lagi, ia tak bisa melihat ibunya dengan lebam yang semakin banyak setiap harinya.
Ia tak mau ibunya tersakiti lagi oleh ayahnya. Cukup sudah lebih baik ia keluar dan mengakhiri semua ini.
"Cukup mas cukup!" Teriakan ibunya kini kembali terdengar.
"Cepat tanda tangani dokumen itu sekarang!" teriak Arka ayah—Betari tak kalah keras dari suara teriakkan ibunya yang tampak kesakitan.
"Lalu bagaimana dengan aku dan Betari mas?" tanya Raina kemudian.
"Itu bukan urusan ku. Cepat tanda tangani!" bentaknya lagi.
Dalam saat saat seperti ini banyak sekali pertanyaan yang menghantui benaknya. Mengapa ibunya tak tandatangani saja dokumen itu, memangnya dokumen apa yang harus ibunya tandatangani, lalu apa yang akan dilakukan ayahnya saat ibunya sudah menandatangani dokumen itu, memangnya sebegitu pentingnya dokumen itu bagi mereka berdua, memangnya mereka tak memikirkan kondisinya saat ini, karena Betari amat sangat ketakutan pada saat ini.
Betari yang sudah tak tahan dengan semuanya segera keluar dari kamarnya, ia menuju pintu dan membukanya.
Dengan sekuat tenaga ia menarik knop pintu itu dengan keras, namun hasilnya nihil pintu itu tak terbuka sedikit pun.
Ia tau pasti ayahnya yang telah menguncinya sebelum insiden ayahnya dan ibunya terjadi.
Tapi ia tak kehilangan akal, ia segera keluar melalui jendela kamarnya dan berjalan menuju pintu depan di rumahnya ini yang megah.
Beruntung pintu depan rumahnya tidak terkunci.
Dengan gusar ia menariknya dengan keras, namun alangkah terkejutnya saat ia menemukan rumahnya yang sudah seperti kapal pecah.
Dan tanpa ia sadari ada sebuah piring yang terbang seperti bumerang yang mengarah kearahnya.
Dan tepat piring itu mengenai kaca jendela yang berada di sampingnya.
Tangisnya kian bertambah, ia tak bisa selamanya selalu membekap mulutnya sendiri saat ia melihat kondisi ibunya disakiti oleh ayahnya sendiri.
Tapi alangkah tak berdayanya ia saat sampai di dapur, tempat di mana saat ia melihat ibunya sudah terkapar tak berdaya.
Ia segera berlari menghampiri ibunya, ia tak menghiraukan ayahnya yang berada tak jauh darinya.
Lalu sesaat kemudian Arka meninggalkan Betari dan Ibunya begitu saja.
Arka pun pergi dan membawa salah satu mobil milik istrinya itu.
"Ibu bangun Ibu!" Betari pun mulai menjerit, ia tak bisa melihat ibunya dalam keadaan seperti ini.
"Dasar laki-laki brengsek!" pekiknya. Betari tak bisa menahan emosinya, ia tak bisa melihat ibunya terluka seperti ini.
Apalagi saat ia tau bahwa yang melukai ibunya sendiri adalah ayahnya sendiri.
"Dasar lelaki bermuka dua!"
Ia merasa aneh kenapa ayah yang selama ini ia kenal berbeda dengan ayah yang sekarang yang dengan tega melukai ibunya sendiri.
"Awas kau kalau pulang akan ku habisi!" Emosinya seperti sudah naik keatas ubun ubunnya.
Tapi tanpa ia sadari ada sebuah tangan yang membelai rambutnya lembut.
"Ibu!" Mata Betari berbinar saat ia melihat ibunya sudah sadar dari pingsannya.
"Kamu jangan ngelakuin apa apa ya nak, ibu nggak mau kamu terluka sama seperti ibu." Tak kuasa air mata Raina turun tanpa bisa ia tahan.
Malam minggu yang seharusnya bisa membuat keluarga kecil itu bahagia, tapi malah menjadi mala petaka.
Hati kecil Betari merasa pilu, ia tak bisa melupakan hal yang membuat ibunya tersakiti.
"Nggak Bu, dia harus menderita, sama seperti ibu, dia udah kasar sama Ibu. Dia harus dapet balesan yang setimpal Bu. "
Betari bingung pada ibunya, padahal ibunya sudah disakiti oleh ayahnya begitu sering, tapi kenapa hati ibunya ini seperti malaikat dan tidak membiarkan ia membalas itu semua kepada ayahnya.
Dua jam berlalu.
Kini suara mobil terdengar dari arah depan rumah Raina. Tak lama muncullah sesosok lelaki bertubuh tinggi tegap, yang tak lain adalah Arka ayah Betari.
"Brengsek!" geram Betari marah. Ia langsung menyerang Arka dengan membabi buta.
Ia tak memikirkan bagaimana risiko yang akan ia terima nanti.
"Betari jangan Nak!" teriak Raina.
Raina tak mau Betari terluka karena ulah suaminya.
"Betari, kamu kenapa sayang?" Arka bingung dengan sikap putrinya ini.
"Jangan pernah anda sok baik di depan saya!" Tatapan Betari berubah menggelap. Gadis yang tak pernah memandang tajam, kini menatap Arka dengan ganas.
"Loh sayang kok kamu ngomong ke Ayah seperti itu Nak?" tanya Arka heran.
Arka memang baik terhadap Betari, ia sangat sayang terhadap anak semata wayangnya. Ia jahat kepada Raina memang tujuan awal ia menikah dengan Raina, hanya karena satu alasan yaitu, karena Raina adalah anak dari salah satu konglomerat terkaya no 7 di Indonesia.
Dan Arka hanya ingin harta dari Raina, ia tidak cinta kepada Raina, tapi ia sayang kepada Betari.
"Betari, hey kamu kenapa? " Arka semakin panik, pasalnya Betari melihat nya dengan tatapan tajam, ia berbeda dengan Betari yang biasanya.
Arka pun yang mulai panik, mengelus rambut Betari, namun sebelum sampai di pucuk kepala Betari, Betari menampik tangan Arka kasar.
Tanpa basa-basi ia segera menaiki sofa yang ada di ruangan itu dan melayangkan pukulannya kepada Arka.
Tepat pukulan itu mengenai ujung bibir Arka. Akibat pukulannya itu bibir Arka terlihat sedikit robek dan mengeluarkan sedikit cairan berwarna merah.
Setelah itu Betari langsung menyerang nya bertubi-tubi, tanpa memberikan kesempatan lawannya untuk menyerang.
Namun walaupun Betari sudah memiliki sabuk hijau di karate lawannya tetap tak seimbang, baik dari segi usia, tenaga, dan kelihaian dalam berkelahi.
Arka selalu menghindar serangan Betari, ia masih tetap sabar, namun beberapa saat kemudian kesabarannya benar-benar habis.
Ia tak bisa hanya diam seperti ini, sementara Betari melawan ayahnya sendiri dengan emosi yang meluap-luap.
Lalu dengan murka Arka menendang Betari kasar. Hingga Betari jatuh tersungkur.
"Cukup Mas, cukup!" teriak Raina. Ia tak bisa menolong Betari dari amukkan suaminya, jangankan menolong untuk berdiri saja ia tak mampu.
"Anak tak tahu diuntung!" teriak Arka di sela-sela perkelahiannya dengan Betari.
Arka menarik tangan Betari secara paksa dan mendorongnya hingga kepala Betari mengenai ujung meja makan.
Betari merasakan sakit sekaligus pusing yang sangat hebat. Pandangan matanya mulai mengabur. Dan Arka tanpa segan mengambil vas bunga yang ada di atas meja makan dan melemparnya secara keras keatas kepala Betari.
"Prangg!"
Bunyi pecahan vas bunga itu terdengar sangat keras.
"Betari!" pekik Raina keras.
Tak lama setelah itu yang dirasakan Betari hanya sakit yang kian bertambah, dan ia rasa ada cairan kental yang mengalir dari dahinya.
Dan setelah itu gelap, gelap dan suara yang terakhir ia dengar hanyalah suara ibunya yang sangat ia sayang.