Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 9. Amel dan pak Asep ditahan.

Pagi yang cerah.

Amelia memilih untuk berjalan-jalan mengelilingi desa yang sudah lama dirindukannya. Menikmati udara pagi yang masih segar tak terkontaminasi oleh polusi seperti saat dia tinggal di Jakarta.

Tiba-tiba Amel mendengar sebuah caci maki yang sangat tidak pantas. "Sungguh tidak sopan. Bagaimana kamu bisa memukul orang begitu saja?"

Amel mengarahkan langkahnya menuju tempat keributan. Kebetulan ketika Amel hampir dekat, dia melihat seorang gadis kecil di depannya tengah didorong oleh seorang wanita dengan rambut awut-awutan. Gadis kecil itu termundur beberapa langkah karena dorongan itu. Dan gadis kecil itu adalah Kirana.

Wanita yang mendorongnya kemudian berteriak lagi, "Kami menghabiskan uang puluhan juta rupiah untuk menyelamatkan cucuku ketika dia hendak dilahirkan. Bisakah keluarga memberikan kompensasi kepada kami jika kamu menyakitinya?"

Amel tidak bisa menahan diri untuk tidak mendekat. "Apa yang sedang terjadi?" Dia melangkah ke belakang Kirana dan memegang bahunya. Baru kemudian dia melihat wajah wanita itu. Ketika Amel mengenali wanita itu, dia terkejut karena ternyata adalah bude Yanti, orang yang sudah menempati rumahnya tanpa mau membayar sewa.

Ketika Yanti melihat Amel dia mencemooh. "Bagus kamu ada di sini. Putrimu memukul cucuku. Apa yang akan kamu lakukan tentang ini?"

Amel menatap anak laki-laki besar dan gemuk dipelukan Yanti. Anak itu air menangis sesenggukan dan terlihat cemberut. Di sisi lain, Kirana sangat marah. Dia memelototi mereka dengan matanya yang belo dan merasa telah melakukan hal yang benar.

"Apa kamu memukulnya, Kirana?" tanya Amel.

"Dia menyebutku anak haram," teriak Kirana geram.

"Anak-anak tanpa ayah semuanya haram," teriak anak laki-laki yang dipelukan Yanti membalas perkataan Kirana.

Perdebatan terjadi di antara empat orang itu. Yanti berubah sikap setelah mengetahui kalau Amel bercerai tanpa mendapat harta gono-gini.

Saat itulah, Agung, anak dari Yanti, datang. Melihat ibunya bertengkar dengan Amel dan dia sudah mengetahui cerita tentang Amel, dengan sombong menantang Amel. Bahkan menantang untuk melaporkan ke pihak kepolisian atas apa yang dilakukan Kirana terhadap anaknya.

"Agung, Amel sudah mendorongku," teriak Yanti.

"Kapan aku yang melakukannya? Budhe jangan memfitnah," bantah Amel.

Tiba-tiba seseorang menarik lengan baju Amel dan mengatakan kepadanya, "Keluarga mereka mendengar bahwa kau bercerai tanpa mendapatkan harta gono-gini apapun dari mantan suamimu dan mengetahui bahwa ayahmu menjual teknik pembuatan sepatunya. Jadi mereka berpikir kalian pasti tidak punya uang untuk pindah kembali ke rumah kalian yang mereka tempati selama ini. Mereka mencoba mengusir keluargamu dan mengambil rumah itu karena merasa sudah lama menempati rumah kalian."

Orang yang berbicara adalah seorang wanita bernama Nina dia memberitahu hal ini kepada Amel demi persahabatan mereka sejak kecil namun ketika dia mendapat tatapan ganas dari Agung dia takut dan memilih pergi dari situs dalam memperingatkan Amel.

Mendengar apa yang dikatakan ibunya, tiba-tiba Agung mengambil sebuah balok kayu dari balik punggungnya. Bersiap untuk diayunkan ke arah Amelia. Amel hanya menanggapi dengan senyum mengejek. "Apa kamu yakin akan memukulku? Ada kantor polisi di dekat sini. Siap-siap untuk menginap di hotel prodeo kalau kamu berani memukulku."

Sebenarnya Agung hanya hendak menakut-nakuti Amel, sesuai rencana dia bersama Yanti. Karena mereka berpikir Amel tidak memiliki apapun untuk bisa melawan mereka. Dan juga pak Asep adalah orang yang baik dan sabar, jadi hal ini mereka manfaatkan untuk menakut-nakuti Amel untuk bisa mengambil alih rumah yang mereka tempati sekarang.

Amel tetap bersikap tenang, tidak takut sama sekali.

"Jika paman berani memukul bunda, bunda pasti akan mengirimmu ke penjara," teriak Kirana dengan mata belonya menatap tajam ke arah Agung.

"Agung, apa yang kamu takutkan? Ada keluarga kita di kepolisian," teriak Yanti. "Mereka memukul kita, jadi kita membalasnya. Itu hanya untuk membela diri. Jadi polisi tidak akan menangkap kita, melainkan mereka yang akan ditangkap."

Mendengar apa yang dikatakan oleh Yanti, Agung segera memberanikan diri untuk memukulkan balok yang dibawanya ke arah Amel.

Prang! Ketika balok itu diayunkan dan hanya berjarak beberapa centimeter dari kaki Amel, tiba-tiba Agung berhenti.

Di bawah tongkat itu ada pisau. Melihat itu, Agung yang kaget pun berdiri. "Siapa yang berani mengganggu? Enyahlah!"

Agung mengangkat kepalanya. Dia melihat dengan jelas kalau orang yang membawa parang itu adalah Pak Asep.

Dan Amel juga melihat Pak Asep, dia pun terkejut, "Ayah!"

Namun Pak Asep tidak membalasnya karena pandangannya tertuju pada Agung. "Kamu berani menyentuh putri dan cucu?" Pak Asep kemudian mengangkat pisau di tangannya dan menebaskannya ke arah Agung.

Pak Asep tidak pernah marah dan selalu sopan kepada semua orang. Bahkan jika orang lain memanfaatkannya, dia tidak akan keberatan dan selalu memaafkan. Jadi Ini pertama kalinya Agung melihat Pak Asep sangat marah. Agung menjadi ketakutan. Terlebih ketika melihat balok yang dibawanya sudah terbelah dua oleh parang yang dibawa pak Asep.

Yanti dan cucunya pun ketakutan. Terlebih melihat pak Asep hendak mengayunkan lagi parangnya ke arah mereka bertiga. "Amy, ayahmu sudah gila! Cepat hentikan dia. Bagaimana aku bisa hidup jika dia benar-benar membunuh Agung?"

Karena dalam keluarga Yanti, Agung adalah tulang punggung.

Salah seorang yang berada di keributan itu, segera menelpon kantor polisi. Tak lama kemudian, dua orang aparat datang ke tempat itu. Kemudian membawa Agung dan pak Asep.

Amel dan Kirana mengikuti polisi yang membawa ayahnya. Setelah tiba di kantor polisi, mereka dimintai keterangan. Para aparat yang sedang bertugas tahu siapa Agung, orang yang sering membuat onar di kampung tersebut. Kali ini tampaknya keluarga itu bertemu batunya.

Dan mereka juga mengenal pak Asep dengan baik. Orang yang tidak pernah membuat masalah kepada siapapun. Reputasi pak Asep sangat baik.

Jadi, pihak aparat kemudian menyuruh mereka untuk saling memaafkan dan membuat surat perjanjian untuk tak mengulang lagi apa yang terjadi hari ini.

Pak Asep menandatangani surat perjanjian itu. Kemudian berkata, "Pergi kalian dari rumahku setelah ini. Aku selama ini cukup bersabar terhadap kelakuan kalian. Tapi tidak ketika anak dan cucuku kalian sakiti. Pergi sekarang juga dari rumahku!" Usir pak Asep.

Setelah semua selesai, mereka pun hendak pergi.

"Kenapa mereka hendak pergi? Apa kamu sudah memeriksa semuanya?" Tanya Iptu Pratama, seorang aparat yang baru tiba.

"Siap sudah, Dan!" Sahut salah satu anak buahnya. Kemudian menceritakan kejadian perkara yang sebenarnya sesuai dengan perkataan para saksi. "Keduanya tidak kenapa-kenapa, jadi saya bebaskan mereka dengan perjanjian. Saya menutup kasus mereka, Dan. Ijin!"

Ketika Yanti melihat wajah polisi yang baru datang itu, wajah yang semula kusam berubah cerah. "Agung tidak memulai perkelahian. Pada awalnya putri bapak ini menyerangku, jadi putraku datang untuk memperingatkannya. Siapa yang sangka kalau pak Asep itu tiba-tiba datang dan mengeluarkan parang dan kemudian mulai menyerang orang? Pak polisi, tolong bantu kami mendapatkan keadilan kami."

Yanti memutar balikkan fakta. Memfitnah Amel dengan keji. "Aku tidak mendorong Budhe Yanti lho. Dan Agung memang hendak memukulku dengan balok, sebelum ayahku datang."

"Balok apa? Agung memegang balok karena ayahmu ingin membunuhnya. Putraku hanya membela diri," Yanti kembali memutar balikkan fakta.

Amel ingin membantah lagi, tetapi Iptu Pratama kemudian bertanya, "Parang siapa ini? Bukankah orang yang memegang parang itu menyiratkan bahwa dia ada niat untuk membunuh? Dan membunuh adalah sebuah kejahatan. Tidakkah kalian paham dengan hal sederhana ini?" Iptu Pratama mengambil parang yang terletak di atas meja dan memberikannya kepada anak buahnya. "Ini adalah kejahatan serius, tapi kalian membiarkan mereka pergi setelah menandatangani surat-surat itu?"

"Tapi … saudara Agung selalu-" polisi bernama Rudi, mencoba membela pak Asep.

"Tidak peduli apapun alasannya, senjata ini adalah barang bukti. Dan kamu tidak bisa melepaskannya begitu saja. Tangkap dia sekarang! Juga tangkap wanita ini," iptu Pratama menunjuk ke arah Amel.

"Apa alasan anda menangkap saya, pak?" Tanya Amel dengan nada dingin.

"Wanita itu mengatakan bahwa kamu mendorongnya, yang artinya kamu melakukan kejahatan. Jadi, bagaimana mungkin kami tidak menahanmu?" Jawab Iptu Pratama.

Yanti yang mendengar ucapan Iptu Pratama, mengedipkan mata ke arah polisi itu.

"Serius? Apa anda akan melakukan ini, pak polisi?" Kembali Amel bertanya.

"Pertanyaan macam apa ini?" Yanti mengeluarkan suara. "Kalian berdua menyakiti anak dan cucuku, oleh karena itu kalian pantas untuk dipenjara dan membayar denda satu milyar. Tidak kurang serupiah pun."

Amel tertawa sambil mencibir. Kemudian mengabaikan Yanti. "Iptu Pratama, saya bertanya kepada anda, pak. Bukan kepada wanita tak tahu diri ini."

"Ya! Apa yang dikatakan ibu ini benar. Kalian akan dipenjara dan wajib membayar denda sebesar satu milyar rupiah!" Tegas Iptu Pratama.

Tentu saja itu adalah hal yang sangat tidak masuk akal. Kembali Amel menanggapi dengan tergelak.

"Saudari Amelia, anda sudah lama tidak tinggal di daerah ini, jadi sampai lupa aturan di sekitar sini. Tempat ini tidak sama dengan kota tempat anda tinggal. Hukum tidak benar-benar berlaku di sini. Sebaliknya, koneksi dan kolusi lah yang berlaku. Jadi, jangan mengandalkan hukum untuk melawan kami. Anda tidak akan berhasil. Aku adalah hukum di wilayah sini, kata-kataku adalah final." Kemudian iptu Pratama mendekati pak Asep. "Saya bisa memahami akan ketidak tahuan putri anda. Tapi anda? Bagaimana anda bisa sebodoh dia?"

"Ya, kami memang bodoh," jawab Amel sebelum ayahnya menjawab ucapan Iptu Pratama.

Kata-kata yang seperti orang menyerah.

"Kalau urusan ini sudah selesai, datang lah ke rumahku untuk makan malam. Agung tadi berburu Trenggiling dan rusa di area kawah putih Ciwidey," ajak Yanti.

"Wah, pasti lezat, ibu Yanti."

Amel yang mendengar itu dan mengetahui kalau dua hewan itu adalah termasuk yang dilindungi oleh undang-undang, segera mengambil ponselnya.

"Safitri, Iptu Pratama dari kotaku telah menyalahgunakan wewenang dan kekuasaannya tanpa menghormati hukum. Selain itu, dia juga melanggar Undang-undang nomor lima tahun 1990 untuk perlindungan hewan trenggiling dan rusa. Tolong tanyakan kepada pamanmu, apakah boleh Iptu Pratama melakukan hal tersebut?"

"Ada apa? Apa ada yang mengusikmu? Tunggu sebentar ya. Aku akan telfon pamanku," jawab Safitri.

Amelia kemudian menutup selulernya.

Agung tampak mengejek. "Jangan khawatir. Dia tidak memiliki koneksi dengan siapapun. Aku yakin dia hanya menggertak. Hahaha."

"Agung benar. Jadi, jangan takut. Siapa sih dia? Hanya wanita miskin tanpa koneksi dengan siapapun," sambung Yanti.

"Cepat masuk ke dalam sel. Dan segera bayar denda!" Ujar Iptu Pratama dengan galak.

Sementara petugas yang lain berpihak kepada Amel dan pak Asep, namun sebagai bawahan, mereka tak berdaya.

Ponsel Iptu Pratama berdering, kemudian menjawab dengan asal. "Halo!"

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel