Bab 1 Menculik Peran Utama
Seorang gadis belia berjalan cepat setelah keluar dari sebuah toko buku. Dia baru saja selesai dari toilet dan segera mencari temannya yang entah menunggu di mana. Dia berusaha menghubungi mereka dan tak kunjung diangkat. Hal itu membuatnya harus keluar dan menuju parkiran sambil mencari keberadaan mereka. Namun, nyatanya tetap saja tak ditemukan.
"Haish, pada kemana, sih!? Masa iya aku ditinggal?" ucapnya menduga demikian, meski tak percaya. Matanya terus mencari dan menunggu di dekat pintu keluar. Sayangnya, sudah setengah jam tak ada tanda-tanda keberadaan mereka. Menyadari waktu sudah mulai gelap, dia pun menghubungi seseorang dan menempelkan handphone ke telinga sebelah kanan. Tak berapa lama ada suara di seberang sana yang membuatnya lega serta menyampaikan tujuan menelpon.
"Iya, Dek!"
"Kakak di mana? Masih di kantor tidak?"
"Masih, tapi mau pulang. Ada apa?"
"Jemput sekalian. Aku ada di toko buku yang biasa kita datangi sekarang."
"Loh, kemana Anwar?"
"Mungkin di rumah karena aku ke sini bersama Luna dan Amel."
"Oh, jadi kau bersama mereka?"
"Sudah tidak dan sepertinya mereka meninggalkanku."
"Apa? Ya sudah, Kakak jemput sekarang!"
"Cepatlah!"
Sambungan itu berakhir di mana matanya masih menatap sekeliling dan tak ada satupun orang yang dikenal. Dia berjalan keluar parkiran dan memilih berdiri di pinggir jalan sambil mencari keberadaan temannya. Namun, hasilnya tetap nihil karena tak ada mereka di manapun. Upaya menghubungi mereka sudah dilakukan dan tak ada yang mengangkat panggilannya. Dengan rasa jengkel, dia menunggu kedatangan kakaknya dengan tak sabaran. Adapun keadaan langit telah gelap pertanda sudah malam diikuti semilir angin malam yang menusuk kulit. Kendaraan berlalu-lalang sibuk dengan tujuan masing-masing. Di bahu jalan tak jauh dari posisinya berdiri, ada sebuah mobil hitam yang sejak tadi memperhatikan. Setelah yakin keadaan cukup aman, terdengar suara yang memutuskan sebuah tindakan.
"Sekarang!" Maka, mobil itu bergerak perlahan dan tetap pada posisi semula yang mengambil jalur di pinggir jalan. Namun, mobil itu segera terhenti disusul pintu penumpang yang terbuka dengan seorang pria menghampiri gadis itu. Tanpa buang waktu, pria tersebut menarik tangannya dan mendorong masuk ke mobil diikuti pintu yang kembali tertutup, lalu melesat meninggalkan lokasi. Kejadian tersebut sempat dilihat beberapa orang yang berada di sekitar, tapi tak mampu berbuat banyak.
Sedangkan di dalam mobil, gadis itu terpaksa dibius karena terus meronta. Mereka cukup kewalahan menghadapinya yang coba melepaskan diri. Namun, bius harus dilakukan agar perjalanan menjadi lebih tenang tanpa harus mendengar teriakan darinya yang kini tak sadarkan diri.
"Benar-benar merepotkan!" ucap seorang pria yang memasukkan sapu tangan berwarna Metha ke saku dan digunakan untuk membekap hadis itu. Dia terlihat kesal karena sempat terkena pukulan darinya yang berusaha melepaskan diri.
"Sabarlah, Ton! Namanya juga upaya membela diri. Nikmati saja!" seru rekan lainnya yang sedang mengemudi. Ucapannya tak membuat rasa kesal di hati dan justru menyambung kalimatnya.
"Lihat sana nanti. Akan kugarap dia sampai mampus!" Ancaman dilayangkan dengan emosi sambil mengelus pipi yang terkena pukulan. Tak berbekas memang, tapi terasa panas dirasakan.
"Jangan macam-macam! Gadis ini adalah tambang emas kita dan sudah masuk kriteria untuk peran utama," balas lainnya yang memperingatkan betapa berarti gadis itu dan tak boleh disakiti.
"Tapi aku harus beri dia pelajaran karena sudah memukulku!"
"Haduh, susah sekali bicara denganmu, Day! Baru dipukul anak remaja saja sudah dendam kesumat. Bikin malu sindikat saja!" pungkas pria dengan alis dan bewok tebal yang jengkel dengan ocehan tak berarti sejak tadi.
Tak terasa, mobil itu tiba di pinggiran kota dan menuju sebuah bangunan yang dikelilingi tembok tinggi. Keadaan di sana cukup mencekam di mana ada dua orang penjaga di depan pintu gerbang. Namun, pintu sangat mudah dibuka bagi mereka yang segera masuk ke pelataran bersama kendaraan lain. Setelah mobil terhenti, semua turun di mana pria terakhir membawa gadis tadi seperti karung beras. Semua menuju pintu masuk kecuali satu orang yang menghampiri penjaga tadi.
"Siapa lagi itu?" kata penjaga itu menatap jelas seorang gadis dengan seragam SMA.
"Oh, barang baru," sahutnya santai sambil mengeluarkan rokok di balik jaket dan menyalakan korek api. Perlahan rokok itu terbakar dan mengeluarkan asap dan segera duduk di sebuah kursi kayu yang ada di pos jaga.
"Kau yakin berburu anak SMA, Day?" tanya pria itu yang tak percaya dengan kepulangan mereka bersama anak SMA. Namun, dia tak segera menjawab dan amat fokus dengan rokok yang dihisap. Alhasil, penjaga berkepala botak tersebut menghampiri dan ikut duduk di sampingnya.
"Bos yang minta cari anak SMA dan tertarik dengannya," sahutnya jujur dan menatap ke arah rumah di mana tak ada siapapun di depan pintu untuk berjaga.
"Jadi gadis itu memang sudah diincar sejak lama?" sambungnya yang penasaran dan dibalas anggukan. Namun, dia segera memberi tatapan menyelidik karena rekannya terus bertanya.
"Kenapa memangnya? Tumben sekali kau banyak tanya?" Pertanyaan balik terdengar dengan tatapan curiga. Namun, hal tersebut tak membuatnya sungkan dan menimpali.
"Dengar, ya, Odayku sayang. Aku hanya tak habis pikir kenapa Bos menyasar pada anak SMA? Bukankah selama ini menargetkan pada anak kuliah atau sebaya. Kenapa mendadak ABG?" pungkasnya tenang dan memperjelas apa yang menjadi keanehan di hati. Adapun pria bernama Oday yang turut serta menculik barusan terlihat santai menanggapi kebingungan rekannya.
"Entahlah karena Bos perintahkan menculik gadis itu. Katanya untuk peran utama!" sahutnya cepat dan kian mengejutkan.
"Apa? Peran utama?" Betapa terkejutnya dia saat mengetahui alasan di balik penculikan gadis berseragam SMA tersebut. Dia menatap ke arah rumah di mana gadis tak sadarkan diri telah dibawa dan disekap.
"Kau yakin, Day?" Raut tak percaya begitu jelas dan menatap lurus ke arah Oday yang berkerut kening. Dia tak menyangka reaksi rekannya yang demikian terkejut dan segera dibalas.
"Tentu saja aku yakin, Cok! Bos sendiri yang bilang. Dia akan jadi pemeran utama dan pasti akan laris manis di pasaran! Ladang uang, Cok, uang!" Penegasan diberikan Oday dengan wajah jengkel karena Ucok seakan tak percaya dengan apa yang dikatakan barusan. Ucok tak membalas lagi di mana dia merasa keberatan dengan tindakan pemimpinnya kali ini. Dia menggeleng beberapa kali karena tak habis pikir dengan keputusan tersebut yang entah mengapa berubah haluan. Reaksi Ucok barusan dilihat jelas oleh Oday yang menghisap rokok, lalu mengoceh.
"Aneh sekali kau, Cok! Jangan bawa pakai hati tentang pekerjaan kita. Ingat, kita sudah jadi penjahat sejak 10 tahun lalu dan keahlian kita menculik wanita untuk dijual. Tak usah kau memasang wajah seperti itu. Tampak sekali munafiknya!" cicit Oday panjang lebar mengingatkan siapa mereka sebenarnya dan harus menyampingkan urusan hati. Namun, kalimay itu tak membuat Ucok sadar dan justru menggelengkan kepala berulang kali disertai komentar cukup mengejutkan.
"Kita memang penjahat, Day, tapi pada orang dewasa dan bukan pada anak remaja!"