Bab 2 Gadis Buta
Bab 2 Gadis Buta
“SUSAN… SUSAN.” Mama Lidya berteriak girang dengan wajah yang sudah berseri-seri. Kakinya berjalan cepat naik ke lantai dua rumahnya, membuka pintu kamar berwarna biru muda dan mendapatkan anak gadisnya yang sedang duduk di dekat jendela kamarnya.
“Susan,” panggilnya lagi dengan nada yang tidak sekeras tadi. Tetapi tetap saja wajah bahagianya sangat terlihat jelas di sana.
Gadis berambut sepunggung itu menoleh. “Iya Ma. Ada apa? Apa terjadi sesuatu?” tanya gadis itu sedikit khawatir. Pasalnya suara teriakan wanita yang sudah melahirkannya itu cukup mengagetkannya, takut jika terjadi sesuatu pada mamanya.
Wanita yang masih terlihat cantik di usianya yang sudah kepala empat itu terkekeh pelan. “Tidak Nak. Justru ini berita menggembirakan untukmu.”
Alis Susan mengernyit. Tetapi, sedetik kemudian berubah menjadi pias. “Ma, jangan bilang…”
Mama Lidya mendengus dan lantas menarik tangan Susan untuk berdiri dan mengikuti langkahnya yang berjalan ke arah kamar mandi. “Sudahlah, apa salahnya sih kamu membantu mama. Akhir-akhir ini pemasukan kita berkurang. Belum lagi untuk keperluan kamu setiap hari. Dan mama kira ini pekerjaan yang cocok untukmu di saat keadaan kamu sudah begini. Memangnya kamu tidak bosan di kamar terus?”
Susan menggeleng dengan keras, matanya sudah berkaca-kaca menahan tangis. “Ma, Susan tidak mau.” Gadis bertubuh mungil itu mencoba melepas pegangan erat mamanya di pergelangan tangannya. Sungguh, dia juga tidak ingin berada di situasi seperti ini dan membuat mamanya semakin merasa terbebani. Tetapi, dia juga tidak bisa terus menyalahi takdirnya, dia hanya bisa menerimanya.
Beberapa saat kemudian isakan kecil terdengar dari bibir tipis Susan. Mama Lidya lantas menoleh, menatap marah ke arah Susan yang saat ini tertunduk sambil menangis.
“Apa maksudmu dengan tidak mau?” tanyanya dengan suara tajam. “Kamu pikir Mama akan membiarkanmu terkurung tidak berguna selamanya? Justru mama akan mengambil keuntungan yang sangat besar dari keadaan kamu ini.”
“Tapi Ma—“
“Diam Susan!!” teriak Mama Lidya marah. “Mama sudah cukup sabar membiarkanmu mengurung diri. Dan ini saatnya kamu melakukan kewajibanmu sebagai anak mama!” Mama Lidya kemudian menarik paksa tangan Susan hingga masuk ke dalam kamar mandi. Dia membuka seluruh pakaian anaknya, hingga semua pakaian yang menempel pada badan Susan sudah terlepas dari tempatnya.
“Ma, please…” isakan Susan semakin menjadi-jadi ketika Mama Lidya mulai mengguyurnya dengan shower.
Mama Lidya bergeming, dia seakan sengaja menulikan pendengarannya dengan isakan pilu dari bibir mungil Susan.
Saat Mama Lidya mulai menyabuni tubuh mungil Susan, gadis itu kembali mencoba memberontak dengan menghempaskan tangan mamanya yang mencoba menyentuhnya.
“Jangan melawan mama Susan!” ancam Mama Lidya yang berusaha sabar.
Susan menggeleng keras, “TIDAK MA ... TIDAK. SUSAN TIDAK MA—”
“KAMU BERANI BERTERIAK DI DEPAN MAMA HAH!” Mama Lidya memegang kedua bahu Susan dengan keras, dia bahkan mencekramnya sehingga membuat Susan sedikit meringis ketika kuku mamanya terasa menggores kulitnya.
“Please Ma. Susan janji, Susan tidak akan membebani mam—”
PLAK
“DIAM!!” teriak Mama Lidya yang sudah tidak bisa menahan kemarahannya lagi.
Panas. Pipinya sangat terasa panas ketika tangan mamanya menamparnya keras. Hal ini bukanlah yang pertama baginya, tetapi rasanya selalu berbeda. Semakin terasa sakit ketika dia sadar bahwa mama kandungnyalah yang melakukannya.
“Justru dengan kamu hidup dan hanya bisa berdiam diri di kamar, beban mama semakin besar. Jadi, diam dan jangan membantah mama lagi!” Mama Lidya berucap dengan satu tarikan napas. Tangannya kemudian kembali terulur mengoleskan busa sabun ke seluruh bagian tubuh Susan. Tidak peduli lagi dengan penolakan gadis itu.
Wanita itu kemudian menggerutu pelan, “tidak bisakah kamu berguna sekali saja selama hidupmu.”
Air mata Susan tidak berhenti setelah dia selesai dimandikan paksa, bahkan saat mamanya mengoleskan make up tipis di wajahnya air matanya tetap mengalir dengan deras. Hal itu justru membuat mamanya semakin geram.
“Cukup!” ucap Mama Lidya yang membuat Susan terdiam dari isakan kecilnya. “Kamu benar-benar sudah menguji kesabaran mama hari ini. Berhenti menangis atau mama akan benar-benar menjualmu Susan!”
Gadis yang kini sudah terlihat cantik dengan dress merah menyala di atas pahanya itu tercenung. Sering kali dia selalu berpikir, apakah wanita yang saat ini ada di dekatnya benar-benar wanita yang pernah mengandung dan melahirkannya. Jika memang mamanya tidak ingin dia ada di dunia ini, kenapa dia mempertahankan dirinya sampai saat ini. Jika bisa memilih, dia akan lebih tenang jika tidak dilahirkan dan jadi beban mamanya. Sungguh dia tidak ingin berada di sini, bahkan jika dia kehilangan nyawa saat ini, dia sangat rela.
Melihat anak gadisnya terdiam, tangan Mama Lidya kembali cekatan mengoleskan eyeliner di mata Susan. Wanita itu tersenyum ketika Susan tidak lagi membantah. “Kalau sejak tadi kamu tidak membantah seperti ini, kamu pasti tidak akan mendapatkan tamparan dari mama dan riasanmu pun pasti sudah selesai,” komentar Mama Lidya yang di abaikan Susan.
Lagi pula percuma, untuk apa lagi dia bersikeras untuk menolak. Dia selalu menjadi pihak yang lemah dan tidak bisa berbuat apa-apa.
Bibir Mama Lidya tiba-tiba tertarik lebar membentuk senyum puas, membuatnya semakin cantik dengan kerutan yang tercetak di wajahnya walau selalu melakukan perawatan.
“Oh my god. You should be able to see who you are right now. Kamu benar-benar sangat cantik sayang. Sangat cantik.” Mama Lidya menatap anak gadisnya kagum. Rambut terurai yang dibiarkan curly di ujungnya, make up tipis yang membuat wajah oval Susan terlihat sangat manis. Ditambah dengan dress merah menyalanya yang memberinya sedikit kesan seksi.
“Tell me, how i will see it, Ma.”
Seketika Mama Lidya bungkam, tidak tau harus menjawab bagaimana. Lebih tepatnya tidak ingin.
“Sudahlah, ayo supir sudah menunggumu,” ucap Mama Lidya mengalihkan.
“Ma…” Suara Susan terdengar sangat memelas.
Mama Lidya menghela napasnya panjang, mencoba mengontrol amarah yang kapan saja bisa meluap karena sikap keras kepala anaknya. “Susan, tidak ada waktu untuk berdebat lagi. C’mon, jangan membuat seseorang menunggu terlalu lama.”
Lagi-lagi Susan di paksa untuk berdiri, dan dia hanya bisa mengikuti apa yang dilakukan mamanya. Dia berjalan pelan ketika menuruni anak tangga, mengikuti arahan mamanya ketika memijak anak tangga dengan hati-hati karena heels yang dipakainya.
Saat berada di pintu depan rumahnya, Mama Lidya memegang kedua bahunya, mengusapnya. “Listen, lakukan yang terbaik untuk mama,” ucapnya dengan pelan dan sedikit lembut.
Susan menelan salivanya dengan sulit, tetapi tak urung dia menganggukkan kepalanya. Tiba-tiba ada tangan lain yang memegang tangan mungilnya, terasa sangat besar dengan kulit yang sedikit kasar. Susan menebak dia adalah seorang laki-laki.
“Mari.” Suara maskulin masuk ke dalam gendang telinga Susan. Dan tebakannya tidak meleset sama sekali.
Sebelum melangkahkan kakinya, Susan mengeluarkan kata-kata yang membuat mamanya bungkam seketika.
“Ma, memangnya berapa harga gadis buta sepertiku?”