Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

putusan

Mendapatkan pertanyaan seperti itu, Syaila diam beberapa saat. Namun saat ia tidak sengaja saling adu pandang dengan Maya, yang rupanya turut hadir menyaksikan persidangan, ia langsung menjawab tanpa berpikir lebih panjang.

"Saya yakin! Saya juga menolak untuk mediasi. Sebab saya pikir, diantara kami tidak perlu ada lagi yang harus diperbaiki."

Semua orang yang ada di sana bereaksi terkejut, termasuk Ferdi yang duduk mendampingi nya langsung menoleh.

"Bukan hanya perihal tentang ketidak cocokkan lagi. Masalahnya ada pada dia." Syaila menoleh ke arah Azka. "Saya tidak mau hidup bersama orang yang telah mengkhianati pernikahannya sendiri."

Suasana persidangan mendadak menegang. Wajah Azka merah padam. Bahkan keluarga Azka tidak terima dengan pernyataan yang Syaila lontarkan barusan. Mereka saling berbisik jika Syaila hanya berbicara omong kosong mencari pembelaan.

Tiga hakim saling berbisik, tidak kalah menegangkan saat menunggu putusannya.

"Baik jika begitu, sepertinya upaya mediasi tidak akan berjalan dengan baik. Maka setelah kami berdiskusi sejenak, sebaiknya kita langsung keputusan sidang selanjutnya."

Siang itu berakhir ditunda sampai Minggu depan untuk jawaban.

Saat Syaila baru saja menginjakkan kaki keluar dari gedung pengadilan, banyak media yang mengrubuninya. Meminta penjelasan atas apa yang tadi sudah ia ucapkan di ruang pengadilan. Ferdi menyarankan Syaila untuk tidak angkat bicara agar semuanya berjalan lancar sampai sidang terkahir.

Tapi berbeda dengan Syaila yang tetap diam walaupun ucapannya benar, Azka sibuk klarifikasi. Omong kosongnya sangat memuakkan. Lidahnya seolah hanya diciptakan untuk berkilah sampai Syaila yang mendengar dari kejauhan merasa mual.

"Cih! Gila validasi!" Nadira berdecih.

"Tidak usah hiraukan mereka. Kita fokus untuk sidang selanjutnya dan untuk mengajukan harta gono gini juga hak asuh anak," Ferdi menengahi.

Kemudian mereka beranjak dari sana, berjalan melewati reporter yang terus menghadang, menodongkan banyak pertanyaan. Masuk ke dalam mobil tanpa mengatakan sepatah kata apapun.

****

"Azka Prabakesa, pengusaha kaya raya itu digugat cerai oleh istrinya. Sidang digelar siang ini. Dan rupanya alasan perceraian mereka adalah orang ketiga."

Di tempatnya duduk, di sofa embuk Syaila menyaksikan berita televisi yang hampir semua channel membahas tentang perceraiannya. Ia tidak menduga hal itu.

"Tapi ada perbedaan pendapat antara istrinya yang menggugat, dengan Azka. Beginilah klarifikasi dari Azka."

Benda datar itu menampilkan wajah Azka saat selesai persidangan tadi.

"Pernyataan Syaila tidak benar. Saya akan membuktikannya nanti di persidangan selanjutnya." Begitu kata Azka.

"Tck! Lo yakin, Sya pernah bucin sama dia? Manipulatif banget jadi cowok. Jijik gue liatnya." Nadira orang yang paling gemas dengan Azka sejak dulu melempar komentar, langsung mematikan televisi.

"Gue enggak peduli dia mau kaya gimana sekarang. Yang gue pikirin sekarang itu Geino. Kira-kira sekarang dia lagi apa, ya?" Syaila memangku dagu.

"Lo sama Geino itu sama-sama punya gengsi gede. Padahal ibu sama anak. Makanya dia tuh selalu sungkan sama lo. Tapi jangan overthinking! Jangan nangis kaya orang gila lagi. Kita usahain biar Geino bisa tinggal sama lo. Dengan resmi biar Azka enggak semena-mena lagi," kata Nadira. Lantas ia menyuapkan kacang yang toplesnya itu sedang ia peluk.

"Ferdi kemarin bilang sama gue, sidang mungkin akan berjalan dengan sedikit rumit. Lo liat, kemarin cuma buat sidang pertama aja Azka bawa pengacara lima. Dia pasti enggak akan biarin reputasinya tenggelam bahkan karena kesalahannya sendiri," imbuh Nadira. "Emang gila validasi gue bilang juga!" Perempuan itu makin sinis.

"Minggu depan putusan perceraian gue. Gue harap berjalan lancar." Syaila menghela napas. Sementara Nadira menyahut dengan doa yang sama.

****

Pukul sembilan pagi, Syaila sudah duduk menghadap hakim untuk mengetahui putusan terakhir atas perceraiannya. Tidak seperti Minggu sebelumnya, hari ini Azka tidak hadir dalam persidangan hanya diwakilkan oleh pengacaranya. Itu tidak masalah bagi Syaila, justru jika pihak terkait tidak hadir akan memudahkan jalannya persidangan.

"Demikian sidang pembacaan putusan hari ini, tujuh Desember 2022. Sidang saya tutup." Hakim ketua mengetuk palu tiga kali.

Hari ini Syaila resmi menjadi janda. Ia bukan lagi istri dari Azka Prabakesa, laki-laki yang selama ini ia cintai.

Putusan sidang perceraiannya membuat dada Syaila sedikit lenggang. Ia menghirup udara dalam dalam seraya terpejam.

"Gue harus percaya sama diri gue sendiri," ucapnya.

Di depan gedung pengadilan itu, Syaila tersenyum simpul. Ia menatap tulisan yang diukir besar di atas gedung. Ia harap setelah ini ia tidak akan kembali lagi kemari.

"Saya sudah mengajukan untuk harta gono-gini. Siapkan dan sertakan dukumen yang akan mendukung argumen kamu." Ferdi berdiri di sampingnya. Juga Nadira yang mengekor di belakang pengacara muda itu.

"Udah, semuanya udah saya siapkan," jawab Syaila.

"Nanti kamu dipersidangan jangan takut untuk berkata jujur. Tidak usah takut, saya akan membantu kamu." Mereka berjalan beriringan menuju mobil.

"Saya tidak pernah takut. Apalagi ucapan saya adalah kebenaran." Syaila duduk di kursi belakang. Sementara Nadira dan Ferdi duduk di depan denhan Ferdi yang menyetir.

Menjelang siang Syaila berencana untuk pergi ke rumah Azka, bukan untuk menangisi keputusan atas perceraiannya. Ia hanya ingin bertemu putranya yang sudah seminggu ini ia rindukan. Syaila berdalih kepada Nadira ingin pergi mencari angin atau jika ia tidak berbohong, Nadira akan mengintil dan mencari keributan di rumah Azka. Secara kesabaran Nadira setipis tisu.

Syaila memesan ojek online setelah turun dari mobil Ferdi. Ia mengambil jalan berbeda agar Nadira tidak curiga. Setelah beberapa menit tibalah ia di rumah yang pernah ia tinggali beberapa tahun lalu. Rumah orang tua Azka.

"Ketuk, gak ya?" gumam Syaila. Jika situasinya semenyeramkan ini, ia lebih baik mengajak Nadira tadi. "Ah! Tapi mau ketemu Geino!"

Wanita itu kemudian mengetuk pintu yang menjulang tinggi di hadapannya itu beberapa kali. Lalu di dalam terdengar suara sendal yang bergesekan dengan lantai menimbulkan suara yang memuat Syaila tegang.

"Ada ap—Ngapain kamu ke sini?" Mama Azka bertanya sinis. Wanita yang selau terlihat glamor itu menatap Syaila tidak suka.

Andai saja mama Azka tahu apa yang sebenarnya terjadi. Mama Azka mungkin tidak akan membenci Syaila seperti ini. Dia juga tidak akan mengeluarkan statement yang tidak mengenakan di media, menyudutkan Syaila.

"Ma, aku ke sini mau ketemu Geino. Geino ada?"

Tiba-tiba mama Azka tertawa hambar. "Masih inget sama anak kamu? Setelah kamu menceraikan suami kamu dan menyelingkuhi anak saya?"

Kening Syaila mengenyit. Tidak mengerti, "Apa maksud mama bicara kaya gitu?"

"Halah! Setelah semua yang Azka lakukan sama kamu, kamu malah memilih meninggalkan Azka. Jangan harap kamu bisa ketemu sama Geino lagi. Geino cucu saya!"

Belum Syaila membuka mulutnya, pintu rumah keluarga Prabakesa itu sudah di tutup dengan tidak sabaran.

"Ma! Dengerin aku dulu. Aku cuma mau ketemu sama anak aku! Buka pintunya." Namun sepertinya teriakan Syaila tidak akan mereka hiraukan.

Syaila akhirnya memutuskan pulang walaupun tujuannya ke mari tidak terpenuhi. Ia membawa pulang kesedihannya lagi, kerinduan pada sang putra yang belum terpenuhi.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel